Puskapol UI Sebut Sirekap Bisa Jadi Solusi Pangkas Biaya Rekapitulasi Suara

Sirekap juga dimungkinan untuk membantu rekapitulasi suara dalam satu hari, jauh lebih cepat dibandingkan proses manual berjenjang.

oleh Tim Cek Fakta diperbarui 19 Des 2024, 15:45 WIB
Sejumlah petugas melakukan pemantauan rekapitulasi penghitungan suara secara nasional pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 melalui aplikasi Sirekap di ruang monitoring tabulasi suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, Jakarta, Jumat (29/11/2024). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Delia Wildianti menyoroti peran Sirekap dalam meningkatkan transparansi dan efisiensi proses Pemilu. Meski sangat bermanfaat untuk mendorong keterbukaan dan membangun kepercayaan publik, pemanfaatan teknologi ini masih menghadapi sejumlah tantangan.

Menurut Delia, masih ada Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang belum memberikan akses kepada publik untuk mendokumentasikan formulir C1 hasil. Padahal, Sirekap memiliki potensi untuk meningkatkan transparansi dan menghemat biaya penyelenggaraan pemilu.

"Jika kualitasnya semakin diperbaiki, Sirekap bisa menjadi solusi untuk memangkas biaya rekapitulasi suara yang berjenjang dan memakan waktu lama," ujar Delia saat konferensi pers hasil pemantauan kritis JagaSuara terkait pelaksanaan Pilkada 2024 di Cikini, Jakarta Pusat, Senin 16 Desember 2024.

Menurut Delia, Sirekap juga dimungkinan untuk membantu rekapitulasi suara dalam satu hari, jauh lebih cepat dibandingkan proses manual berjenjang.

"Kualitas Sirekap sudah cukup membaik secara teknis. Jika ini bisa dioptimalkan, teknologi ini berpotensi mendukung sistem Pemilu yang lebih sederhana dan tidak terlalu kompleks, khususnya untuk pemilihan legislatif," tambahnya.

Namun, Delia juga menekankan perlunya Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan evaluasi terhadap Sirekap, sehingga bisa dimaksimalkan tidak hanya untuk dokumentasi, tetapi juga sebagai alat bantu rekapitulasi suara.

Meski demikian, tantangan lain juga muncul terkait partisipasi pemilih. Delia mencatat tingginya angka suara tidak sah, seperti di DKI Jakarta yang mencapai 7,7 persen. Sementara itu, tingkat partisipasi Pilkada secara nasional tercatat hanya 71%, jauh di bawah target Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebesar 80 persen.

"Persoalan partisipasi pemilu bukan hanya sekadar sosialisasi yang kurang. Ini harus dilihat dari hulunya, termasuk dalam proses pencalonan dan sistem partai politik," ujarnya.

"Penyelenggara pemilu perlu terus berefleksi untuk memperbaiki penggunaan teknologi seperti Sirekap, sambil tetap mendorong reformasi politik agar partisipasi pemilih dapat meningkat secara signifikan," pungkasnya.

Sementara, Ahli Teknologi Jaga Suara 2024, Reza Lesmana mengungkapkan, kekecewaannya terhadap sistem transparansi yang diterapkan KPU pada Pilkada 2024.

Meskipun teknologi Sirekap mampu mempercepat pengumpulan data hasil pemungutan suara, keputusan KPU untuk menutup akses data detail justru dinilai sebagai langkah mundur dalam keterbukaan informasi publik.

"Proses pengumpulan data lebih cepat, lebih dari 90 persen terkumpul dalam 24 jam karena perbaikan teknologi. Tapi anehnya, H+1 API justru diputuskan. Kita tidak bisa melihat data yang seharusnya terbuka," ujar Reza saat konferensi pers hasil pemantauan kritis JagaSuara terkait pelaksanaan Pilkada 2024 di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (16/12/2024).

Ia menambahkan bahwa data rekapitulasi manual dari formulir D hasil baru muncul setelah beberapa minggu, padahal publik berharap sistem Sirekap dapat menampilkan hasil near real time.

"Awalnya data lengkap di tingkat TPS, ada grafik dan angka pemilih. Namun, pada hari H semuanya menghilang, hanya tersisa foto saja," tambahnya.

Lebih lanjut, Reza menilai KPU melewatkan kesempatan untuk membuktikan perbaikan sistem rekapitulasi elektronik. Ia menegaskan, pentingnya keterbukaan data publik, terutama di tingkat TPS. Jika keterbukaan tidak diutamakan, Reza khawatir ruang spekulasi dan konflik di masyarakat akan semakin melebar.

"Kesempatan ini disia-siakan. KPU bisa saja redeem kesalahan lalu, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Ini sangat mengecewakan," ujarnya.

 

Penulis: Aqmarina Aulia Jami

 

Ikuti Kuis Cek Fakta Liputan6.com di Aplikasi Youniverse dan menangkan saldo e-money jutaan rupiah.

Caranya mudah:

* Gabung ke Room Cek Fakta di aplikasi Youniverse

* Scroll tab ke samping, klik tab “Campaign”

* Klik Campaign “Kuis Cek Fakta”

* Klik “Check It Out” untuk mengikuti kuisnya

 


Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.

Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi patner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya