Viral Tolak PPN 12%, Ajakan Demo di Istana hingga Peringatan Darurat Kembali Muncul

Bahkan sejak November 2024 kemarin sudah ada petisi di change.org yang mengajak masyarakat untuk menandatangani permintaan agar pemerintah segera membatalkan kenaikan PPN. Sejauh ini sudah ada 108.107 orang menandatanganinya.

oleh Arthur Gideon diperbarui 19 Des 2024, 13:00 WIB
Gambar petisi "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" di change.org.

Liputan6.com, Jakarta - Penolakan masyarakat terhadap kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di 1 Januari 2025 dari yang saat ini sebesar 11% terus bergulir.

Di media sosial, penolakan kenaikan PPN tersebut kembali viral. Ada dua tagar yang didengungkan dalam penolakan ini yaitu #tolakPPN12Persen dan #PAJAKMENCEKIK.

Berbagai gerakan pun dilakukan mulai dari ajakan demo di depan istana Negara hari ini hingga berserikat.

Akun X @B********a mengajak masyarakat untuk ikut bersama mengawal penyerahan petisi bareng warga "#TolakPPN12Persen! " pada hari ini.

Penyerahan tersebut dilakukan pada Kamis 19 Desember 2024 pukul 13.30 WIB.

Akun @P****a juga mengungkapkan keluhannya terkait PPN12% ini dengan mengkaitkan dengan upah minimum.

"UMR PALING RENDAH TAPI PAJAK DI NAIKKIN?! KITA NUNTUT SEGALA FASILITAS DI INDONESIA DIPERBAIKIN ELU PADA MALAH NYROCOS KALO KITA NGELUHYA GIMANA NGGA NGELUH YAK😭 MIKIR DOOONG BAPAK IBUK PEMERINTAH PEJABAT DLL🤏😭."

Bahkan sejak November 2024 kemarin sudah ada petisi di change.org yang mengajak masyarakat untuk menandatangani permintaan agar pemerintah segera membatalkan kenaikan PPN. Sejauh ini sudah ada 108.107 orang menandatanganinya.

Berikut ini lengkap petisi tersebut:

#PajakMencekik #TolakKenaikanPPN

Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (PPN), mulai 1 Januari 2025 Pemerintah akan menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Sebelumnya, atau kira-kira dua tahun lalu Pemerintah sudah pernah menaikan PPN. Dari yang tadinya 10% naik ke angka 11%.

Rencana menaikan kembali PPN merupakan kebijakan yang akan memperdalam kesulitan masyarakat. Sebab harga berbagai jenis barang kebutuhan, seperti sabun mandi hingga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan naik. Padahal keadaan ekonomi masyarakat belum juga hinggap di posisi yang baik.

Di soal pengangguran terbuka misalnya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024, angkanya masih sekitar 4,91 juta orang. Kemudian dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebagian besar atau 57,94% bekerja di sektor informal. Jumlahnya mencapai 83,83 juta orang.

Urusan pendapatan atau upah kita juga masih terdapat masalah. Masih dari data BPS per Bulan Agustus, sejak tahun 2020 rata-rata upah pekerja semakin mepet dengan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP). Trennya sempat naik di tahun 2022, namun kembali menurun di tahun 2023. Tahun ini selisihnya hanya 154 ribu rupiah.

Masalahnya UMP sebagi acuan pendapatan yang layak pun patut diragukan. Contohnya di Jakarta. Untuk hidup di kota metropolitan tersebut, catatan BPS tahun 2022 menunjukan dibutuhkan uang sekitar 14 juta rupiah setiap bulannya. Sedangkan UMP Jakarta di tahun 2024 saja hanya 5,06 juta rupiah. Apalagi dari fakta yang ada masih banyak pekerja yang diberi upah lebih kecil dari UMP.

Naiknya PPN yang juga akan membuat harga barang ikut naik sangat mempengaruhi daya beli. Kita tentu sudah pasti ingat, sejak bulan Mei 2024 daya beli masyarakat terus merosot. Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas.

Atas dasar itu, rasa-rasanya Pemerintah perlu membatalkan kenaikan PPN yang tercantum dalam UU HPP. Sebelum luka masyarakat kian menganga. Sebelum tunggakan pinjaman online membesar dan menyebar ke mana-mana.


PPN Indonesia Tertinggi di ASEAN, tapi Masih Rendah dari Anggota OECD

Presiden Prabowo Subianto sudah mengumumkan kebijakan terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, efektif mulai 1 Januari 2025. Langkah ini diambil untuk meningkatkan pendapatan negara guna mendukung berbagai program pembangunan yang sedang berjalan.

Dikutip dari ANTARA, Rabu (18/12/2024), dengan kebijakan ini, Indonesia akan menyamai Filipina sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi di Asia Tenggara (ASEAN).

Sementara negara-negara lain di kawasan ini menerapkan tarif yang lebih rendah, Indonesia dan Filipina akan berbagi posisi puncak dalam hal tarif PPN.

Perbandingan Tarif PPN

Meskipun tarif PPN Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga di ASEAN, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa secara global, tarif tersebut masih tergolong moderat.

Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Brasil, Afrika Selatan, dan India memiliki tarif PPN masing-masing sebesar 17 persen, 15 persen, dan 18 persen.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa dibandingkan dengan beberapa negara di dunia, tarif PPN Indonesia tidak termasuk yang tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tarif tersebut lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN, Indonesia masih memiliki tarif yang relatif rendah dalam konteks global.

Di Indonesia, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah kontributor utama bagi pendapatan negara.

PPN dikenakan pada transaksi barang dan jasa, sementara PPnBM diterapkan pada barang mewah seperti kendaraan, perhiasan, dan properti. Kedua pajak ini berperan penting dalam mengatur konsumsi dan mendukung pemerataan ekonomi, serta mencerminkan kebijakan fiskal yang progresif.


Data Tarif PPN Negara ASEAN

Berikut adalah daftar tarif PPN di negara-negara ASEAN:

  1. Filipina: 12 persen
  2. Indonesia: 11 persen, akan naik menjadi 12 persen pada 2025
  3. Kamboja: 10 persen
  4. Laos: 10 persen
  5. Malaysia: 10 persen untuk pajak penjualan, 8 persen untuk pajak layanan
  6. Vietnam: 10 persen, turun menjadi 8 persen hingga Juni 2025
  7. Singapura: 9 persen
  8. Thailand: 7 persen
  9. Myanmar: 5 persen
  10. Brunei: 0 persen
  11. Timor Leste: 0 persen untuk PPN dalam negeri, 2,5 persen untuk PPN barang/jasa impor

Dengan demikian, pada 2025, tarif PPN di Indonesia akan mencapai 12 persen, menjadikannya yang tertinggi di ASEAN bersama Filipina.

Meskipun demikian, tarif PPN 12 persen Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara-negara anggota OECD. Oleh karena itu, penting untuk membandingkan posisi Indonesia dalam konteks ekonomi regional dan global.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya