Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat bahwa pelemahan nilai tukar rupiah memberikan dampak signifikan pada sektor usaha yang bergantung pada impor. Hal ini terutama dirasakan oleh kegiatan bisnis yang memiliki porsi impor besar dalam operasionalnya.
Ketua Komite Kebijakan Ekonomi Apindo, Aviliani, menjelaskan bahwa sektor usaha yang banyak mengandalkan impor akan menghadapi kenaikan biaya operasional akibat tingginya biaya impor.
Advertisement
“Sektor yang paling terdampak adalah bisnis yang bergantung pada impor. Ketika rupiah melemah, biaya impor menjadi mahal, sehingga bisnis tersebut kehilangan daya saing,” ujar Aviliani dalam konferensi pers di Kantor Apindo, Jakarta, Kamis (19/12/2024).
Potensi Efisiensi Operasional
Aviliani menyebut bahwa kenaikan biaya operasional akibat pelemahan rupiah sering kali memaksa perusahaan untuk melakukan efisiensi sebagai langkah bertahan.
“Dalam situasi seperti ini, banyak perusahaan yang mengambil langkah efisiensi agar dapat bertahan,” jelasnya.
Menurutnya, langkah efisiensi yang paling dekat dengan realisasi adalah pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini dianggap sebagai cara bagi perusahaan untuk menjaga stabilitas bisnis di tengah tekanan ekonomi.
“Efisiensi biasanya berdampak pada PHK. Selain itu, perusahaan juga melakukan penyesuaian lain agar tetap bisa bertahan,” tambah Aviliani.
Dampak Pelemahan Rupiah pada Inflasi
Selain efisiensi, Aviliani mencatat bahwa kenaikan harga barang menjadi salah satu dampak lanjutan dari pelemahan nilai tukar rupiah.
Kondisi ini dapat memicu inflasi, terutama jika perusahaan memutuskan untuk menaikkan harga guna menutupi biaya impor yang meningkat.
“Jika perusahaan tidak bisa bertahan dengan efisiensi, langkah berikutnya adalah menaikkan harga barang. Ini yang berkontribusi pada inflasi,” tuturnya.
Advertisement
Rupiah Makin Terpuruk
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencatat pelemahan signifikan pada pembukaan perdagangan Kamis pagi (19/12/2024).
Rupiah melemah 127 poin atau 0,79 persen ke level Rp16.225 per dolar AS, dibandingkan posisi sebelumnya di Rp16.098 per dolar AS.
Faktor Utama: Sikap Hawkish Federal Reserve
Menurut Lukman Leong, analis mata uang Doo Financial Futures, pelemahan ini dipicu oleh pernyataan hawkish dari Ketua Federal Reserve Jerome Powell setelah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC).
The Fed memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps), namun sinyal penurunan suku bunga pada 2025 menjadi lebih terbatas memicu penguatan tajam dolar AS.
“Powell menegaskan hanya akan ada pemangkasan suku bunga sebesar 50 bps tahun depan, turun dari perkiraan sebelumnya di kisaran 75-100 bps,” jelas Lukman dikutip dari Antara, kamis (19/12/2024).
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi AS Lebih Tinggi
Pernyataan hawkish Powell juga didukung oleh revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat.
Pertumbuhan ekonomi diperkirakan naik dari 2 persen menjadi 2,5 persen, sementara inflasi inti Personal Consumption Expenditure (PCE) diprediksi berada di kisaran 2,4-2,8 persen, masih di atas target 2 persen yang ditetapkan The Fed.
“The Fed juga mempertimbangkan dampak potensial dari kebijakan tarif yang mungkin diterapkan kembali oleh pemerintahan Trump tahun depan,” tambah Lukman.