Aksi Jual Wall Street Sangat Wajar, Pelaku Pasar Perlu Realistis

Profesor emeritus keuangan dari Wharton School, University of Pennsylvania, Jeremy Siegel menyebutkan bahwa aksi jual saham di Wall Street baru-baru ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

oleh Satrya Bima Pramudatama diperbarui 21 Des 2024, 07:30 WIB
Ilustrasi saham di Bursa Efek London (Foto: Unsplash/Jamie Street)

Liputan6.com, Jakarta - Aksi jual saham di bursa New York atau Wall Street baru-baru ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Hal tersebut diungkap oleh profesor emeritus keuangan dari Wharton School, University of Pennsylvania, Jeremy Siegel.

Siegel menjelaskan bahwa keputusan Federal Reserve (Fed) untuk lebih berhati-hati dalam memangkas suku bunga menjadi “pemeriksaan realitas” bagi investor.

Dikutip dari CNBC pada Sabtu (21/12/2024) Fed baru saja menurunkan suku bunga sebesar 0,25%, sehingga tingkat suku bunga berada di kisaran 4,25%-4,5%.

Mereka memberikan sinyal hanya akan memangkas suku bunga dua kali pada 2025. Angka ini lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang memperkirakan empat kali pemangkasan.

Ketiga indeks utama saham di Wall Street mengalami penurunan tajam karena investor sebelumnya berharap bank sentral akan lebih agresif dalam menurunkan suku bunga.

Pasar Perlu Realistis

“Pasar sudah berada dalam situasi yang terlalu optimis,” ujar Siegel kepada Squawk Box Asia dari CNBC.

“Ini membuat mereka sadar bahwa kita tidak akan kembali ke suku bunga yang sangat rendah seperti yang mereka harapkan ketika Fed memulai siklus pelonggarannya.” kata dia.

Siegel menambahkan bahwa penurunan harga saham ini tidak mengejutkan. Siegel memprediksi Fed mungkin hanya akan memangkas suku bunga satu atau dua kali tahun depan, bahkan ada kemungkinan tidak ada pemangkasan sama sekali.

Faktor lain yang memengaruhi proyeksi Fed adalah ancaman inflasi. Proyeksi terbaru menunjukkan inflasi inti (yang tidak memperhitungkan harga pangan dan energi) diperkirakan tetap tinggi di angka 2,5% hingga 2025. Ini masih jauh dari target Fed sebesar 2%.


Inflansi Dipengaruhi oleh Tarif Baru

Ilustrasi wall street (Photo by Robb Miller on Unsplash)

Siegel juga menyebut bahwa inflasi bisa terpengaruh oleh tarif baru yang dijanjikan Presiden terpilih Donald Trump. Trump berencana menerapkan tarif tambahan pada Tiongkok, Kanada, dan Meksiko.

Namun, Siegel yakin dampaknya tidak terlalu besar.

“Trump mungkin akan menghindari langkah yang bisa memicu tekanan dari pasar saham,” ujarnya.

Pergerakan Suku Bunga di Masa Depan

Investor saat ini memprediksi Fed baru akan memangkas suku bunga pada pertemuan bulan Juni 2024. Perkiraan peluang pemangkasan 0,25% pada bulan tersebut mencapai 43,7%, menurut alat FedWatch dari CME Group.

Di sisi lain, Kepala ekonom AS di Barclays, Marc Giannoni memperkirakan Fed akan menurunkan suku bunga dua kali pada tahun 2024, masing-masing sebesar 0,25% pada bulan Maret dan Juni.

Dia juga memprediksi pemangkasan suku bunga secara bertahap baru akan dilanjutkan sekitar pertengahan 2026 setelah tekanan inflasi akibat tarif mereda.


Pasar yang Makin Bergejolak

Ilustrasi wall street (Photo by Patrick Weissenberger on Unsplash)

Jack McIntyre, manajer portofolio di Brandywine Global mengatakan bahwa Fed kini memasuki fase jeda dalam kebijakan moneternya. “Semakin lama fase ini berlangsung, semakin besar kemungkinan pasar harus menyesuaikan kembali ekspektasi mereka terhadap kenaikan maupun penurunan suku bunga,” katanya.

Menurut McIntyre, ketidakpastian kebijakan ini dapat menyebabkan pasar keuangan lebih bergejolak pada 2025.

Jeremy Siegel menyimpulkan bahwa ini merupakan kejutan bagi semua orang, termasuk Fed, bahwa meskipun suku bunga jangka pendek sangat tinggi, tetapi ekonomi masih tetap kuat seperti sekarang.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya