Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah menyatakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagai bagian dari reformasi fiskal dengan tujuan memperkuat stabilitas ekonomi. Namun kebijakan tersebut banyak mendapatkan kritik dan penolakan dari berbagai kalangan.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum PP KAMMI, Ammar Multazim menilai kebijakan tersebut adalah cara instan pemerintah untuk menambah pendapatan Negara. Bahkan dia merasa, kebijakan tersebut bak pemerasan terhadap rakyat.
Advertisement
“Sebelum menaikkan pajak seharusnya pemerintah juga serius bagaimana cara meningkatkan pendapatan masyarakat. Yang terjadi hari ini rakyat terus diperas dengan pajak, sedangkan manfaatnya tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat mulai dari infrastruktur tidak merata, akses pendidikan dan kesehatan yang sulit, dan lainnya,” kata Ammar dalam keterangan diterima, Sabtu (21/12/2024).
Ammar meminta, Pemerintah Prabowo-Gibran mendengarkan masukan dari berbagai kalangan terhadap potensi yang dapat ditimbulkan dari kenaikan PPN 12%. Sebab kenaikan tersebut akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
“Padahal pemerintah memiliki target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 8%. Kenaikan PPN 12% akan berdampak terhadap daya beli masyarakat dan menghambat laju pertumbuhan ekonomi,” jelas dia.
“Dengan kenaikan tersebut hanya akan menambah beban hidup rakyat,” imbuh Ammar.
Tarif PPN Tertinggi
Senada dengan itu, Arsandi selaku ketua bidang kebijakan publik PP KAMMI, menyoroti kenaikan PPN 12% yang menjadikan Indonesia sebagai Negara dengan tarif PPN tertinggi di kawasan ASEAN, sejajar dengan Filipina. Dia menyayangkan hal itu karena kondisi perekonomian Indonesia belum stabil, bahkan upah tergolong rendah dibandingkan dengan Negara tetangga Malaysia, Singapura, Thailand dan lainnya.
“Meski Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengatakan penerapan PPN 12% hanya untuk dikenakan pada barang dan jasa dalam kategori mewah. Namun batasan kategori barang mewah tidaklah jelas. Jika memang targetnya kategori barang mewah seharusnya memaksimalkan penerimaan dari Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM),” kritik dia.
Arsandi meyakini, dampak kenaikan PPN 12% bakal memperburuk keadaan kelas ekonomi menengah dan pelaku usaha kecil. Padahal kelas menengah berkontribusi banyak terhadap tingkat konsumsi rumah tangga yang merupakan penyumbang terbesar terhadap perekonomian Indonesia.
“Dengan kenaikan tarif PPN 12%, akan memperburuk kondisi perekonomian kelas menengah. Sulit bagi mereka untuk naik kelas atau bahkan bisa bergeser kepada kelompok rentan miskin. Terlebih bantuan yang disiapkan pemerintah seringkali tidak menyasar kelompok kelas menengah,” dia menandasi.
Advertisement