Cerita Warga Vietnam Jadi Korban Penyelundupan Manusia ke Eropa

Banyak korban memilih diam ketika menjadi korban perdagangan manusia.

Oleh DW.com diperbarui 23 Des 2024, 14:01 WIB
Ilustrasi Human Trafficking (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

, Hanoi - Perdagangan manusia dari Vietnam ke Eropa terus meningkat. Pihak berwenang berusaha membongkar jaringannya, tetapi para korban lebih memilih diam.

Nam (nama disamarkan) harus menunggu 12 tahun sebelum ia kembali ke orang tuanya di Vietnam. Sebelumnya, ia tinggal secara ilegal di Jerman dan tidak memiliki dokumen yang diperlukan untuk dapat bepergian dengan bebas, dikutip dari DW Indonesia, Senin (23/12/2024).

Demi mencari kehidupan yang lebih baik, ia memutuskan untuk mencoba peruntungannya di Eropa pada 2012 silam. Saat itu, Nam yang berusia 20 tahun bersama keluarganya meminjam uang untuk membayar pelaku penyelundupan manusia.

Nam diselundupkan ke Jerman melalui Rusia dan menjalani kehidupan sebagai "orang tanpa identitas," istilah yang digunakan dalam grup obrolan Facebook Vietnam seperti Luật Pháp Đức (Hukum Jerman) untuk menggambarkan para migran ilegal yang tidak berdokumen.

Di grup itu, orang juga bisa mengajukan pertanyaan secara anonim, termasuk pertanyaan terkait akses ke layanan kesehatan, jasa perjalanan keluar dari Jerman, pernikahan, dan juga perceraian.

Perjuangan Migran Tanpa Status Hukum di Eropa

Kisah Nam menjadi salah satu kasus dari fenomena yang makin marak, karena perdagangan manusia dari Vietnam ke Eropa telah menjadi masalah yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun masih belum terlalu jelas sudah separah apa masalah ini sebenarnya.

Pihak berwenang Eropa sedang berusaha memberantas jaringan penyelundupan manusia tersebut, tetapi belum sepenuhnya berhasil.

Isu perdagangan manusia dari Vietnam ini menjadi sorotan pada Oktober 2019, ketika 39 warga Vietnam ditemukan tewas kehabisan udara di dalam sebuah truk berpendingin yang diparkir di luar kawasan industri di Essex, Inggris.

Sejumlah korban diperkirakan telah diselundupkan ke Eropa untuk bekerja sebagai pekerja paksa.

Sebagai tanggapan, Uni Eropa bekerja sama dengan Europol dan Interpol, memutuskan pada 2021 untuk lebih fokus pada pemberantasan perdagangan manusia. Di Jerman, Jawatan Polisi Kriminal Federal (BKA) memulai proyek penelitian selama empat tahun, untuk lebih memahami jaringan penyelundupan manusia dan metode yang melibatkan warga Vietnam.

BKA dalam analisisnya menemukan, pelecehan dan penderitaan yang dialami oleh para korban laki-laki dan perempuan cukup bervariasi. Laki-laki umumnya menghadapi eksploitasi tenaga kerja, sementara perempuan lebih sering dieksploitasi secara seksual.

 


Bungkamnya Para Korban adalah Tantangannya

Ilustrasi human trafficking atau perdagangan manusia. (Freepik/macrovector)

Ironisnya, para korban lebih memilih untuk tetap diam. Hal itu adalah salah satu alasan mengapa hanya sedikit yang dapat diketahui tentang kejahatan ini, kata badan penegak hukum tersebut. Bahkan, tidak ada satupun korban perdagangan manusia dari Vietnam yang mengajukan tuntutan.

"Para Korban mengalami pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius. Namun, korban seringkali tidak menganggap diri mereka sebagai korban," kata Tanja Cornelius, seorang periset di Unit Penelitian Kejahatan Terorganisir, Kejahatan Ekonomi, dan Kejahatan Siber di BKA, kepada DW.

Kepala Pengawas BKA Nicole Baumann, yang telah mendalami persoalan perdagangan manusia selama lebih dari 20 tahun itu, mengatakan,bungkamnya para korban ini menjadi tantangannya. "Proses hukum hampir tidak mungkin tanpa pernyataan dari korban," katanya.

Akibatnya, banyak tindak kejahatan yang tetap tidak terdeteksi dan tidak dapat dihukum.

Kepentingan dan Tujuan yang Sama

Cornelius menyebutkan betapa "liciknya" para korban, yang memiliki tujuan sama dan beriringan dengan tujuan para pelaku.

Penelitian dalam psikologi kriminal mengungkapkan, bukan pelaku penyelundupan, tetapi justru para korban yang lebih takut jika tertangkap, karena khawatir akan kehilangan seluruh uang dan usaha mereka.

"Orang-orang itu mungkin berasumsi akan ada beberapa tahun yang sangat berat dan penuh dengan pengorbanan di awal," kata Baumann, menambahkan bahwa para korban tetap berada di bawah radar sambil bekerja keras dengan harapan dapat melunasi utang dan mendapatkan "dokumen" yang diperlukan dengan cepat. Ini juga membantu para pelaku, yang memiliki kepentingan untuk tetap tidak terungkap kejahatannya, jelasnya.

Bahkan, banyak korban melihat ini sebagai sebuah kesempatan, di mana mereka rela meminjam uang dalam jumlah besar dan mengambil risiko besar untuk memulai perjalanan menuju Jerman.

Diperkirakan, para penyelundup manusia memungut biaya antara €10.000 (sekitar Rp169 juta) hingga €23.000 (sekitar Rp388 juta) per migran, jumlah yang sangat besar mengingat pendapatan per kapita bulanan Vietnam hanya sekitar €190 (sekitar Rp3,2 juta), menurut data pemerintah.

Jumlah dana yang besar dan risiko yang cukup tinggi ini tampaknya tidak menghalangi tekad para warga Vietnam itu, karena mereka tetap bersedia membayar demi mengejar impian untuk memiliki kehidupan yang lebih baik.

 


Peran Faktor Sosial di Masyarakat

Ilustrasi Human Trafficking (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Tekanan dari teman sebaya juga ikut berperan.

Vietnam saat ini memiliki banyak kota dengan gedung-gedung bertingkat dan vila-vila dari orang kaya baru yang meniru gaya arsitektur Eropa dengan pilar dan "tympanum” atau lengkungan khas di atas pintu.

Ada sejumlah tempat yang dijuluki "desa miliarder VND", di mana banyak penduduk yang kaya raya berkat ekspor tenaga kerja dan remitansi atau uang kiriman dari para pekerja migran. Bahkan, beberapa dinamai "Seoul" atau "Eropa", karena sejumlah besar orang di daerah ini bekerja di luar negeri.

Pemuda Vietnam dari "desa para taipan" ini, layaknya Nam, mereka menghadapi tekanan besar dari pihak keluarga dan masyarakat luas untuk bisa berhasil, seperti kebanyakan lainnya yang bermigrasi ke Eropa.

Beberapa penyelundup manusia dan organisasi yang memfasilitasi visa kerja di Vietnam juga menggunakan media sosial untuk menyebarkan foto-foto mobil mahal, perjalanan mewah, atau pakaian bermerek, untuk menarik minat orang-orang bermigrasi.

"Kekayaan dikomunikasikan di media sosial, dan ini juga menciptakan gambaran yang salah. Hampir tidak ada informasi tentang kegagalannya," kata Baumann.

Faktor sosial juga berperan untuk memastikan para korban tetap bungkam. Tekanan untuk sukses itu membuat para korban enggan berbagi kegagalan atau perjuangan berat mereka, termasuk kondisi kerja yang sangat keras atau eksploitasi seksual.

Sejumlah imigran ielgal juga rela berkorban dan menanggung segala kesulitan demi mendukung keluarga mereka di Vietnam.

Tragedia Essex 2019 itu membuktikan titik baliknya, di mana beberapa korban akhirnya berbagi kisah mereka. Meskipun bencana itu awalnya mendapat banyak perhatian media, tetapi fokus permasalahannya perlahan memudar.

Melihat semua faktor dalam kasus perdagangan manusia yang melibatkan warga Vietnam itu, tindak kekerasan diduga hanya memainkan peran kecil, di mana pelaku biasanya lebih mengandalkan tekanan sosial dan harapan keluarga, bukan bentuk ancaman dan intimidasi.

 


Kebutuhan akan Migrasi Secara Legal

Ilustrasi human trafficking atau perdagangan manusia. (Freepik/macrovector)

Cornelius dan Baumann menekankan, proyek dan hasil penelitian BKA ini bukan untuk mengkriminalisasi suatu komunitas.

Sebagian besar migrasi dari Vietnam adalah legal dan diterima dengan baik, karena demografi Jerman yang semakin menua membutuhkan pekerja terampil asing berusia muda

Menyadari adanya kebutuhan tenaga kerja dari Vietnam, pemerintah dari kedua negara baru-baru ini menandatangani kesepakatan untuk meningkatkan jumlah imigrasi legal.

Nam mengatakan, akan selalu ada sejumlah kecil orang yang siap mencoba jalur ilegal. Dalam beberapa kasus, dan terutama dalam konteks ilegal, ada hal yang lebih menarik perhatian mereka.

"Orang tidak perlu susah payah belajar bahasa Jerman, dan yang lebih penting, mereka bisa menghasilkan lebih banyak uang dengan segera. Bagi sebagian warga Vietnam yang kurang berpendidikan dari desa dengan prospek ekonomi yang kecil, keputusan ini lebih masuk akal," tambah Nam.

Apa yang Perlu Dilakukan?

Memerangi kegiatan kriminal dan perdagangan manusia, memerlukan upaya dari seluruh masyarakat. Para pejabat dari Vietnam dan Jerman juga harus kerap mempererat kerja sama bilateral kedua negara.

Vietnam baru saja merilis laporan Profil Migrasi 2023 negaranya. Bekerja sama dengan agen internasional seperti Interpol dan mempertimbangkan untuk bergabung dengan Protokol Anti-Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara, yang melengkapi Konvensi PBB tentang Kejahatan Terorganisir Transnasional, Vietnam mendukung penuh kerjasama pengelolaan perbatasan demi memerangi serta mencegah kejahatan transnasional.

Baumann menekankan bahwa pendidikan dan peningkatan kesadaran tetap menjadi kunci solusi, terutama dengan menargetkan mereka yang berpotensi menjadi korban perdagangan manusia. "Individu dan keluarga hanya bisa membuat keputusan yang tepat jika mereka mengetahui seperti apa situasi di Jerman bagi migran ilegal," ungkapnya.

Namun, ada cara-cara yang lebih legal untuk bermigrasi, yang dapat ditemukan oleh setiap warga Vietnam di Kedutaan Besar Jerman di negara itu. Meskipun cara ini lebih memakan waktu, tetapi opsi ini yang lebih aman.

Infografis Aturan di Pusat Perbelanjaan, Mal, Pusat Perdagangan PPKM Level 1 Jawa-Bali (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya