Liputan6.com, Jakarta - KH Raden As’ad Syamsul Arifin adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lahir di Mekah pada tahun 1897, beliau berasal dari keluarga bangsawan. Ayah KH As’ad Syamsul Arifin, Raden Ibrahim, dan ibunya, Siti Maimunah, adalah pasangan asal Pamekasan, Madura.
Kehidupan beliau sejak kecil dipenuhi dengan perjalanan yang mengarah pada kesuksesan dalam menuntut ilmu agama. Pada usia 6 tahun, beliau dibawa oleh orang tuanya kembali ke kampung halaman di Madura, kemudian pindah ke Asembagu, Situbondo yang saat itu masih hutan belantara.
Pada usia 13 tahun, KH Raden As’ad mulai mondok di Pesantren Banyuanyar di bawah asuhan Kiai Abdul Majid dan Kiai Abdul Hamid. Pendidikan di pesantren ini memberikan fondasi yang kuat dalam ilmu agama, yang kelak membentuk beliau menjadi ulama besar.
Dikutip dari kanal Youtube @santri.langgar, di usia 16 tahun, beliau berangkat ke Mekah untuk menimba ilmu lebih dalam lagi. Di sana, beliau berguru kepada tokoh-tokoh terkemuka seperti Sayid Hasan Alyamani dan Sayid Abbas Almaliki. Tidak hanya itu, beliau juga dipercaya oleh Kiai Kholil Bangkalan untuk menyampaikan pesan kepada KH Hasyim Asy’ari, yang berperan besar dalam berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Nama KH Raden As'ad Syamsul Arifin sangat dikenal di kalangan masyarakat Nahdlatul Ulama, terutama bagi mereka yang menghargai perjuangan agama dan bangsa. Di banyak rumah warga, foto beliau terpampang sebagai simbol penghormatan dan kecintaan. Selain dikenal sebagai ulama yang sangat alim dan luas ilmu agamanya, beliau juga dikenal sebagai pahlawan nasional.
Salah satu momen penting dalam sejarah perjuangan beliau terjadi pada September dan awal Oktober 1945, saat Kiai As’ad memimpin pelucutan pasukan Jepang di Garahan, Jember, Jawa Timur. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Jepang menolak menyerahkan senjatanya kepada pasukan yang dipimpin oleh Kiai As’ad.
Baca Juga
Advertisement
Simak Video Pilihan Ini:
Murid Kiai As'ad Kebal Senjata
Kegiatan ini adalah salah satu bukti keseriusan Kiai As'ad dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada 10 November 1945, Kiai As'ad kembali menunjukkan kepemimpinannya dalam membantu pertempuran di Surabaya.
Dengan mengirim pasukan pelopor dan pasukan Sabilillah Bondowoso dan Situbondo ke Tanjung Perak, beliau turut serta dalam pertempuran hebat di Jembatan Merah. Pasukan yang dikirim oleh beliau terlibat langsung dalam pertempuran yang menentukan tersebut, berjuang bersama kiai-kiai lainnya seperti Kiai Gufron, Kiai Ridwan, Kiai Ali, Kiai Muhammad Sedayu, Kiai Maksum, dan Kiai Mahrus.
KH Raden As'ad Syamsul Arifin bukan hanya seorang ulama dan pejuang, tetapi juga memiliki karomah yang luar biasa. Selain menguasai ilmu batin yang mendalam, beliau juga dikenal memiliki kemampuan bela diri.
Banyak dari pasukan Kiai As'ad yang berasal dari kalangan preman, namun setelah dilatih oleh beliau, mereka menjadi pasukan yang tangguh. Beberapa dari mereka bahkan dikatakan kebal terhadap senjata, berkat karomah yang dimiliki Kiai As'ad sebagai waliullah.
Keberanian dan kemampuan beliau tidak hanya terlihat dalam pertempuran fisik, tetapi juga dalam cara beliau menghadapi pasukan penjajah. Konon, pasukan pejuang kemerdekaan yang dilatih oleh Kiai As'ad membawa pasir pemberian beliau, yang kemudian ditaburkan di jalan-jalan yang biasa dilalui oleh pasukan Belanda. Fenomena yang tidak masuk akal terjadi ketika pasukan Belanda yang melewati taburan pasir tersebut langsung lari terbirit-birit tanpa alasan yang jelas.
Selain itu, ada cerita menarik lainnya mengenai Kiai As'ad yang semakin memperkuat keyakinan masyarakat terhadap karomah beliau. Dalam salah satu kisah, Kiai As’ad dikatakan bisa hadir di dua tempat yang berbeda secara bersamaan, meskipun jarak kedua tempat tersebut sangat jauh. Dua orang warga yang berbeda mengklaim bahwa Kiai As’ad hadir di acara mereka pada waktu yang sama, dan masing-masing dari mereka memiliki foto beliau yang sama. Peristiwa ini menimbulkan kontroversi, namun semakin memperkuat legenda tentang keistimewaan yang dimiliki oleh Kiai As'ad.
Karomah yang dimiliki oleh Kiai As'ad tidak hanya terkait dengan kemampuannya dalam ilmu agama dan bela diri, tetapi juga dalam hal kepemimpinan. Ketegasan beliau dalam memimpin pasukan pejuang kemerdekaan membuatnya dihormati tidak hanya oleh kalangan NU, tetapi juga oleh masyarakat luas. Keberanian dan keteguhan hati beliau dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia menjadi teladan bagi generasi-generasi berikutnya.
Advertisement
Perjuangan Kiai As'ad dalam Kemerdekaan
Kehidupan beliau yang penuh dengan pengabdian untuk agama dan bangsa membuat KH Raden As’ad Syamsul Arifin dikenang sebagai sosok yang sangat mulia. Meski sudah wafat pada usia 93 tahun di Situbondo, Jawa Timur, nama beliau tetap hidup dalam sejarah. Tentu saja, perjuangan dan pengorbanannya tidak akan pernah terlupakan.
Banyak orang yang datang untuk belajar dari ilmu yang beliau wariskan. Pesan-pesan perjuangan dan dakwah beliau terus menginspirasi umat Islam dan bangsa Indonesia. Kiai As’ad adalah simbol perjuangan dan kesederhanaan, serta kekuatan iman yang tak tergoyahkan.
Keberadaan Kiai As’ad dalam sejarah Indonesia sangatlah penting. Ia bukan hanya ulama yang mendalami ilmu agama, tetapi juga seorang pahlawan yang turut berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan negara. Kehadiran beliau di tengah-tengah umat adalah berkah yang luar biasa, dan karomah yang dimilikinya menjadi bukti nyata bahwa perjuangan beliau bukanlah sekadar perjuangan fisik, tetapi juga perjuangan spiritual yang sangat mendalam.
Dalam setiap jejak langkahnya, KH Raden As'ad Syamsul Arifin memberikan pelajaran berharga tentang pengorbanan, kekuatan, dan ketulusan hati. Selama hidupnya, beliau tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga membuktikan bahwa seorang pemimpin sejati adalah yang mampu menginspirasi, menjaga amanah, dan memberi contoh dalam setiap aspek kehidupan.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang yang mengenal dan mempelajari kehidupan beliau. Kiai As'ad tetap menjadi panutan bagi umat Islam di seluruh Indonesia, baik dalam aspek agama, perjuangan, maupun kehidupan sehari-hari.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul