Liputan6.com, Jakarta Isu kenaikan PPN 12% mendapatkan beragam respon dari masyarakat. Tak sedikit yang beranggapan jika kenaikan PPN 12% benar-benar diberlakukan pada 2025 mendatang, maka bisa memicu terjadinya inflasi yang tinggi. Menanggapi hal ini, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Kacaribu mengungkapkan, “Inflasi saat ini rendah di 1,6%. Dampak kenaikan PPN ke 12% adalah 0,2%. Inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2025 di 1,5%-3,5%.”
Febrio menambahkan, “Pertumbuhan ekonomi 2024 diperkirakan tetap tumbuh di atas 5,0%, sehingga dampak kenaikan PPN ke 12% terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan. ”Tambahan paket stimulus seperti bantuan pangan; diskon listrik; buruh pabrik tekstil, pakaian, alas kaki, dan furniture tidak bayar pajak penghasilan setahun, pembebasan PPN rumah, dan lain-lain akan juga menjadi bantalan bagi masyarakat. Yang pasti, pertumbuhan ekonomi 2025 akan tetap dijaga sesuai target APBN sebesar 5,2%.”
Advertisement
Berdasarkan keterangan tertulis dari DJP Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Sesuai kesepakatan Pemerintah dengan DPR, kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan kemudian dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Kenaikan secara bertahap ini dimaksudkan agar tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Adapun kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11%, kecuali beberapa jenis barang yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak, yaitu minyak goreng curah “Kita”, tepung terigu dan gula industri. Untuk ketiga jenis barang tersebut, tambahan PPN sebesar 1% akan ditanggung oleh pemerintah (DTP), sehingga penyesuaian tarif PPN ini tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut.
Sebagian Besar Kenaikan PPN Diterapkan Pada Barang Mewah
Sementara itu Chief Economist Bank Permata, Josua Pardede mengungkapkan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% dianggap tinggi oleh sebagian masyarakat, meskipun dampaknya terhadap harga barang secara keseluruhan hanya diperkirakan sekitar 0,9%. Hal ini relatif kecil karena barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, sayur, dan susu tetap dibebaskan dari PPN.
“Sebagian besar kenaikan PPN diterapkan pada barang mewah, seperti daging wagyu, pendidikan internasional, dan layanan kesehatan VIP. Kenaikan harga akibat PPN cenderung tidak signifikan terhadap daya beli mayoritas masyarakat karena insentif pemerintah seperti subsidi bahan pokok, bantuan sosial (bansos), dan pengurangan pajak bagi UMKM tetap diberikan,” jelasnya.
Josua melanjutkan, “Inflasi inti diproyeksikan tetap rendah karena pengendalian harga bahan pangan dan barang strategis, serta kebijakan fiskal yang mendukung daya beli. Pemerintah juga sudah menyiapkan paket kebijakan untuk mengkompensasi kelompok rentan seperti insentif untuk UMKM, penghapusan pajak bagi usaha kecil, dan keringanan pajak lainnya. Diskon listrik untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, serta bantuan pangan bagi rumah tangga miskin.”
“Jadi, kenaikan PPN menjadi 12% kemungkinan besar tidak akan berdampak signifikan pada daya beli masyarakat secara keseluruhan, karena pertama, skema tarif progresif yang menargetkan barang dan jasa mewah. Kedua, upaya pemerintah dalam memberikan insentif dan subsidi yang mengimbangi dampak kenaikan PPN. Ketiga, tren inflasi yang tetap rendah berkat pengendalian harga dan langkah-langkah kebijakan lainnya,” imbuh Josua.
Advertisement
Faktor-Faktor yang Membuat Inflasi Indonesia Tetap Rendah
Menurut Josua, kondisi inflasi Indonesia tetap rendah meskipun terdapat kenaikan tarif PPN menjadi 12% disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kenaikan tarif PPN sebagian besar difokuskan pada barang dan jasa yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat menengah ke atas, termasuk barang mewah seperti beras premium, daging wagyu, dan layanan pendidikan premium. Sementara itu, barang kebutuhan pokok seperti beras biasa, gula, dan susu segar tetap dibebaskan dari PPN, sehingga dampak terhadap inflasi konsumsi rumah tangga yang lebih luas tetap minimal.
Kedua, pemerintah memberikan insentif signifikan dalam bentuk pembebasan PPN pada beberapa sektor penting seperti kesehatan, pendidikan, transportasi umum, dan UMKM. Total insentif perpajakan PPN diproyeksikan mencapai Rp265,6 triliun pada 2025. Kebijakan ini membantu mempertahankan daya beli masyarakat secara keseluruhan, meskipun terjadi kenaikan tarif PPN. Ketiga, inflasi volatile food mengalami penurunan akibat stabilisasi harga pangan, yang juga didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah untuk menjaga suplai dan subsidi pangan. Hal ini mengimbangi potensi tekanan inflasi akibat kenaikan PPN.
Keempat, struktur PPN yang baru, termasuk pembebasan dan insentif yang selektif, dirancang untuk mengurangi beban langsung pada kelompok masyarakat rentan. Sebagai contoh, barang-barang yang sangat diperlukan seperti air bersih dan listrik dengan daya tertentu tetap bebas PPN, memastikan bahwa dampak kenaikan tarif PPN pada inflasi inti tetap terkendali. Terakhir, indikator ekonomi menunjukkan konsumsi rumah tangga yang stabil dan bahkan meningkat, diperkirakan tumbuh 4,9% YoY pada 2024. Ini menunjukkan bahwa daya beli tetap kuat meskipun ada penyesuaian tarif pajak.
Tingkatkan Pendapatan Negara dan Perluas Ruang Fiskal
Lebih lanjut, Josua menyebutkan jika kenaikan PPN bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan memperluas ruang fiskal (fiscal space) demi mendukung pembangunan berkelanjutan, seperti yang tercantum dalam tujuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dibandingkan dengan negara lain, tarif PPN Indonesia masih relatif rendah. Mayoritas negara maju memiliki tarif PPN antara 15-25%, sehingga langkah ini juga sejalan dengan tren internasional.
“Kedua, data menunjukkan bahwa kenaikan PPN menjadi 11% pada 2022 tidak menyebabkan lonjakan inflasi yang signifikan, bahkan daya beli masyarakat tetap terjaga. Inflasi yang terkendali di angka 1,6% menunjukkan kemampuan kebijakan fiskal dan moneter dalam menjaga stabilitas ekonomi. Pemerintah juga memberikan insentif PPN untuk barang kebutuhan pokok dan sektor vital (pendidikan, kesehatan, transportasi) senilai Rp265,6 triliun pada 2025, sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tidak terkena dampak langsung kenaikan PPN,” jelasnya.
“Ketiga, Kebijakan ini mencerminkan prinsip ‘keadilan dan gotong royong’, di mana barang/jasa mewah (seperti makanan premium, layanan VIP, dan pendidikan internasional mahal) dikenakan tarif PPN penuh, sementara kebutuhan dasar tetap bebas PPN. Keempat, pemerintah telah mengimbangi kenaikan PPN dengan paket stimulus ekonomi yang mencakup bantuan pangan, subsidi listrik, dan insentif bagi UMKM serta sektor padat karya. Langkah ini dirancang untuk menjaga daya beli rumah tangga dan mendorong pemulihan ekonomi,” sambung Josua.
Advertisement
Langkah-Langkah yang Perlu Diambil Pemerintah untuk Menjaga Inflasi Tetap Rendah
Sebagai ekonom, Josua Pardede juga tak lupa menjelaskan beberapa langkah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga nilai inflasi tetap rendah. Menurutnya, pemerintah harus memastikan pasokan bahan pangan strategis tetap stabil melalui impor jika diperlukan atau subsidi untuk sektor pertanian lokal. Inflasi yang rendah selama 2024 didukung oleh penurunan inflasi volatile food. Lebih lanjut, menjaga stok pangan dalam jumlah yang memadai di Bulog atau lembaga serupa agar volatilitas harga dapat diminimalisir, terutama selama periode permintaan tinggi seperti hari raya.
“Kedua, subsidi energi dan pangan harus diarahkan kepada kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Misalnya, subsidi listrik untuk pelanggan daya rendah (2,200 VA ke bawah) dapat diperpanjang. Bantuan seperti distribusi beras untuk kelompok masyarakat miskin sangat penting. Ini akan memastikan daya beli kelompok bawah tetap terjaga,” sambung Josua.
Josue melanjutkan, “Ketiga, kebijakan penyesuaian harga administrasi (administered prices) seperti BBM, LPG, dan tarif listrik harus dilakukan secara hati-hati, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi inti dan daya beli masyarakat. Perpanjangan diskon listrik untuk pelanggan rumah tangga kecil dapat membantu meringankan tekanan inflasi dari kenaikan PPN. Terakhir, pemerintah dapat mengadopsi teknologi digital untuk meningkatkan efisiensi distribusi bahan pangan dan barang kebutuhan pokok. Langkah ini akan membantu menekan biaya logistik yang berkontribusi pada inflasi.”