Imbal Hasil Obligasi Berpotensi Turun pada 2025

Pelaku pasar perkirakan hanya akan ada dua kali lagi pemangkasan suku bunga pada 2025. Hal ini sejalan dengan proyeksi ekonomi terbaru the Fed.

oleh Agustina Melani diperbarui 23 Des 2024, 07:00 WIB
Pelaku pasar yakin pemangkasan suku bunga akan terus berlanjut pada 2025. (Brandon Mowinkel/Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Pelaku pasar yakin pemangkasan suku bunga akan terus berlanjut pada 2025. Akan tetapi, nada terbaru baru dari Ketua Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) Jerome Powell lebih agresif dan indikasi pemangkasan suku bunga dalam jangka panjang telah dikurangi.

“Pasar masih memperkirakan suku bunga akan turun pada 2025, tetapi suku bunga terendah diperkirakan lebih tinggi sekitar 4 persen berdasarkan estimasi terbaru dibandingkan dengan estimasi pada akhir November sekitar 3,75 persen,” demikian mengutip dari riset Ashmore Asset Management Indonesia, Senin (23/12/2024).

Ashmore melihat pasar perkirakan hanya akan ada dua kali lagi pemangkasan suku bunga pada 2025. Hal ini sejalan dengan proyeksi ekonomi terbaru the Fed. "Proyeksi ekonomi terbaru ini 50 basis poin, dibandingkan prediksi September untuk 2025 dan 2026, yang telah berdampak negatif pada saham global dalam jangka pendek,” demikian seperti dikutip.

Selain itu, berita terbaru di Amerika Serikat mengenai tenggat waktu debt ceiling yang semakin dekat (yang ditangguhkan pada pertengahan 2023-Januari 2025) telah menimbulkan kekhawatiran karena ada rencana sementara yang diusulkan oleh Presiden Terpilih Donald Trump telah ditolak oleh DPR.

"Meskipun masih ada waktu sebelum batas waktu yang sebenarnya, hal itu tetap menjadi peristiwa risiko untuk penutupan sementara sebagian pemerintah di AS,” demikian seperti dikutip.

Pasar AS telah melihat arus masuk yang besar, terutama sejak Red Sweep seiring Partai Republik mendapatkan suara mayoritas di DPR sehingga membawa kepercayaan lebih tinggi dalam euforia yang berlanjut dan pasar telah memperkirakan penerapan kebijakan yang diusulkan Presiden Terpilih AS Donald Trump.

“Hal ini semakin memperlebar valuasi antara AS dan negara lainnya. Namun, hal ini berikan peluang besar karena mayoritas saham negara berkembang diperdagangkan dengan diskon besar,”

 

 


Ekonomi Indonesia Bakal Tumbuh 5 Persen

Pernyataan tersebut menanggapi pandangan fraksi terhadap asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen hingga 5,7 persen dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) RAPBN Tahun 2024. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ashmore mencatat dengan melihat situasi saat ini, bursa saham AS diperdagangkan dengan premi yang sangat tinggi sedangkan mayoritas negara berkembang memiliki diskon besar kecuali Taiwan, India dan Thailand.

"Hal ini sangat berbeda dibandingkan dengan awal masa jabatan pertama Trump di mana situasi terbalik, dan negara-negara berkembang sebagian besar diperdagangkan sesuai atau di atas penilaian jangka panjangnya,”

Di sisi lain, dari makro ekonomi, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia diprediksi sekitar 5 persen pada 2025. Hal ini seiring Presiden Prabowo menerapkan kebijakan yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan dengan kerangka investasi yang efisien dan menargetkan untuk meningkatkan sisi permintaan.

 

 


Defisit Fiskal Bakal Terkendali

Kendati perekonomian Indonesia relatif masih resilien, Menkeu tetap menyampaikan bahwa pemerintah tetap mewaspadai adanya turbulensi global yang terjadi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Selain itu, inflasi masih dalam kisaran target Bank Indonesia meski berada di batas bawah berdasarkan data terbaruk. Bank sentral pun masih memiliki ruang untuk pemangkasan suku bunga lebih lanjut tetapi lebih hati-hati untuk menjaga stabilitas rupiah.

"Defisit fiskal kemungkinan akan tetap terkendali dengan kelanjutan Menteri Keuangan Sri Mulyani,”

Sedangkan imbal hasil obligasi Indonesia telah kembali naik di atas 7 persen untuk tenor 10 tahun, tetapi ini sekitar 65 basis poin lebih tinggi sejak titik terendah pada September dibandingkan obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun yang berada pada 4,54 persen atau 95 basis poin di atas titik terendahnya pada September.

“Kami memperkirakan imbal hasil akan mulai turun karena penerbitan obligasi pada 2025 kemungkinan akan tetap ketat,” demikian seperti dikutip.

Sementara itu, pasar saham alami guncangan dari sentimen global yang tidak stabil, Ashmore melihat secara valuasi murah dengan price earning ratio saat ini 11,17 kali untuk saham kapitalisasi besar dibandingkan rata-rata tiga tahun sekitar 14,45 kali.

Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya