Liputan6.com, Jakarta Di tengah banyaknya PHK yang masih terus berlanjut, kenaikan PPN 12% membuat beberapa pihak khawatir dengan kondisi perekonomian masyarakat, terutama dampaknya bagi kalangan menengah ke bawah. Hal ini pun ditanggapi langsung oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Kacaribu.
“Ketika daya beli terjaga, maka permintaan terhadap barang dan jasa terjaga. PHK saat ini lebih banyak disebabkan oleh permintaan ke penyedia barang lain, bukan karena berkurangnya daya beli. Pertumbuhan ekonomi 2024 diperkirakan tetap tumbuh di atas 5,0%. Dampak kenaikan PPN ke 12% terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan,” ungkap Febrio.
Advertisement
Sementara Josua Pardede selaku Chief Economist Bank Permata menjelaskan, “Kebijakan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% dianggap sebagai langkah yang strategis namun penuh tantangan. Kenaikan PPN ini bertujuan untuk memperkuat fiscal space guna mendukung keberlanjutan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Indonesia selama ini memiliki tarif PPN yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara lain, seperti rata-rata OECD (sekitar 19%).”
Josua melanjutkan, “Langkah tersebut juga diiringi asas keadilan, di mana barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, dan transportasi umum tetap bebas PPN, sehingga beban masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dapat diminimalkan. Sebaliknya, barang dan jasa mewah seperti beras premium, layanan VIP di rumah sakit, dan pendidikan internasional mulai dikenai PPN sesuai asas gotong royong.”
Kenaikan PPN 12% Hanya Menyebabkan Tambahan Harga Sebesar 0,9% Bagi Konsumen
Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Sesuai kesepakatan Pemerintah dengan DPR, kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan kemudian dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025.
Kenaikan secara bertahap ini dimaksudkan agar tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. Adapun berdasarkan pernyataan resmi yang dirilis oleh DJP, kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa. Jadi, kenaikan PPN 11% menjadi 12% hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9% bagi konsumen.
“Kenaikan PPN menjadi 12% dianggap tinggi oleh sebagian masyarakat, meskipun dampaknya terhadap harga barang secara keseluruhan hanya diperkirakan sekitar 0,9%. Hal ini relatif kecil karena barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, sayur, dan susu tetap dibebaskan dari PPN,” jelas Josua.
Josua menambahkan, “Sebagian besar kenaikan PPN diterapkan pada barang mewah, seperti daging wagyu, pendidikan internasional, dan layanan kesehatan VIP. Kenaikan harga akibat PPN cenderung tidak signifikan terhadap daya beli mayoritas masyarakat karena insentif pemerintah seperti subsidi bahan pokok, bantuan sosial (bansos), dan pengurangan pajak bagi UMKM tetap diberikan.”
“Jadi, kenaikan PPN menjadi 12% kemungkinan besar tidak akan berdampak signifikan pada daya beli masyarakat secara keseluruhan, karena pertama, skema tarif progresif yang menargetkan barang dan jasa mewah. Kedua, upaya pemerintah dalam memberikan insentif dan subsidi yang mengimbangi dampak kenaikan PPN. Ketiga, tren inflasi yang tetap rendah berkat pengendalian harga dan langkah-langkah kebijakan lainnya,” pungkasnya.
Advertisement