Liputan6.com, Jakarta - Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali menemukan diri kita menghakimi atau mengecam orang lain karena perbuatan maksiat yang mereka lakukan. Namun, bagaimana jika kita diposisikan dalam situasi yang sama, yaitu menjadi orang yang terdekat dengan mereka yang berbuat maksiat? Apakah kita akan tetap seteguh itu dalam sikap kita?
Gus Baha, dalam ceramah yang dikutip dari tayangan video di kanal YouTube @suudbulak2713, memberikan perspektif baru mengenai fenomena ini. Menurutnya, mengharamkan maksiat itu memang mudah, tetapi kadang kita merasa lebih keras menghakimi orang lain karena itu bukan orang yang kita cintai atau keluarga kita.
Dalam ceramahnya, Gus Baha membagikan analogi yang menarik untuk memahami perasaan ini. "Bayangkan kalau kamu jadi dia, misalnya kita mentang-mentang atasan otoriter sama bawahan. Bayangkan kalau kamu di posisi dia," kata Gus Baha.
Ia mengajak audiens untuk mencoba melihat dari sudut pandang orang yang melakukan kesalahan atau maksiat.
Gus Baha menjelaskan bahwa sering kali kita mudah untuk mengharamkan maksiat pada orang lain karena mereka bukanlah orang yang kita sayangi. Dalam konteks ini, ia memberikan contoh sederhana yang banyak dikenal orang.
"Makanya guyonannya orang Indonesia itu kan orang ngaramkan judi, tetapi kalau yang menang anak jenengan, alhamdulillah," tambahnya disertrai tawa.
Gus Baha mengaitkan hal ini dengan sikap kita yang kadang berbeda ketika yang terlibat adalah orang terdekat kita.
Baca Juga
Advertisement
Simak Video Pilihan Ini:
Poin Penting dari Gus Baha
Menurut Gus Baha, kita harus menyadari bahwa perasaan marah atau kesal terhadap orang yang berbuat maksiat bisa jadi lebih kuat karena mereka bukanlah bagian dari keluarga kita. Ia mengingatkan bahwa meskipun kita sering bersemangat menuntut hukuman bagi mereka yang salah, kita harus berhati-hati dengan niat dan motivasi di balik perasaan itu.
Salah satu poin yang sangat penting menurut Gus Baha adalah bahwa dalam Kitab Hikam, yang dijelaskan oleh Ibn Ata'illah, ada sebuah ajaran yang relevan dengan hal ini. "Coba lihat di Hikam nomor 15 di kitab saya di situ dijelaskan," ujarnya.
Gus Baha mengutip ajaran dari Hikam yang mengajak kita untuk memahami bahwa sikap kita terhadap orang yang berbuat maksiat bisa dipengaruhi oleh seberapa dekat mereka dengan kita.
Gus Baha lebih lanjut mengungkapkan bahwa kadang kita marah dan bersemangat agar orang lain dihukum, namun perasaan itu muncul karena orang yang berbuat maksiat tersebut bukan anak atau keluarga kita. "Bayangkan kalau itu keluarga kamu," tambahnya.
Dengan cara ini, Gus Baha mengajak umat untuk memikirkan lebih dalam tentang motivasi di balik emosi kita terhadap orang lain.
Menurut Gus Baha, semangat kita dalam menginginkan hukuman bagi orang lain bisa jadi tidak setulus yang kita kira. "Karena kalau itu anak Anda, pasti rasanya berbeda," ujar Gus Baha. Ia menunjukkan bahwa kasih sayang dan ikatan keluarga seharusnya menjadi pertimbangan kita dalam memperlakukan orang lain yang berbuat kesalahan.
Gus Baha menyebutkan bahwa logika yang dibangun oleh Rasulullah SAW sangat luar biasa. Meskipun Nabi tidak ikut terlibat dalam maksiat, namun Rasulullah tetap memberikan kesempatan bagi umatnya yang melakukan kesalahan untuk mendapatkan syafaat. "Itulah hebatnya Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam," tambahnya.
Gus Baha menegaskan bahwa meskipun kita sering bersemangat menginginkan hukuman bagi orang lain, Rasulullah justru menunjukkan semangat untuk mendoakan umatnya agar mereka bertaubat dan mendapatkan ampunan. "Karena kita yang salah, Kadung umatnya nabi tetap ngasih fasilitas syafaat," ujarnya.
Dalam pandangan Gus Baha, Nabi Muhammad SAW mengajarkan kita untuk memiliki rasa belas kasih yang lebih dalam terhadap mereka yang keliru. "Rasulullah ikut memfasilitasi memberikan syafaat, meskipun beliau tidak ikut melakukan kesalahan," ungkap Gus Baha. Ini adalah bukti dari kasih sayang dan rahmat yang dimiliki Nabi kepada umatnya.
Advertisement
Belajar dari Semangat Rasulullah SAW
Gus Baha menjelaskan bahwa logika Rasulullah dalam menghadapi umat yang berbuat maksiat sangat berbeda dengan sikap yang sering kita tunjukkan. "Kita semangat orang lain kena hukuman itu karena kita nggak punya rafah, nggak punya rahmah," tambahnya. Rahmat dan belas kasih seharusnya menjadi dasar sikap kita terhadap orang lain yang berbuat salah.
Gus Baha mengingatkan bahwa jika kita memiliki semangat yang sama dengan Rasulullah SAW, kita seharusnya mendoakan orang yang berbuat maksiat agar mereka mendapatkan petunjuk dan ampunan dari Allah. "Coba kalau itu keluarga kamu, pasti marah bukan karena maksiatnya, tapi karena itu keluarga kamu," lanjutnya.
Bahkan, Gus Baha menegaskan bahwa semangat Rasulullah SAW untuk mendekatkan umat kepada Allah melalui doa adalah hal yang harus kita tiru. "Nabi tidak semata-mata melihat kesalahan, tetapi beliau melihat potensi umat untuk bertobat dan mendapatkan ampunan Allah," ujar Gus Baha.
Menurut Gus Baha, Allah sudah memerintahkan kita untuk memiliki semangat yang sama dalam menginginkan kebaikan bagi umat. "Itu juga yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala," ujarnya. Allah menginginkan kita untuk selalu mendoakan orang lain, terlepas dari kesalahan yang telah mereka lakukan.
Gus Baha juga menegaskan bahwa mengharamkan maksiat tidak seharusnya membuat kita lupa untuk mendoakan orang yang berbuat maksiat. "Yang kita haramkan adalah perbuatan, tetapi kita harus tetap berdoa agar mereka diberi hidayah," jelas Gus Baha. Ini adalah bentuk kasih sayang dan harapan untuk perubahan yang lebih baik.
Di akhir ceramahnya, Gus Baha mengajak umat untuk senantiasa menjaga sikap belas kasih terhadap orang yang melakukan kesalahan. "Semoga kita bisa meniru semangat Nabi dalam memberikan rahmat dan syafaat, bukan justru menuntut hukuman," tutupnya.
Dengan demikian, Gus Baha berharap kita bisa memahami bahwa mengharamkan maksiat harus disertai dengan rasa kasih sayang dan doa agar orang tersebut kembali kepada jalan yang benar.
Dengan wawasan ini, Gus Baha berharap umat bisa lebih bijaksana dalam menyikapi maksiat dan lebih banyak memberikan doa bagi mereka yang terjebak dalam kesalahan.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul