Liputan6.com, Tel Aviv - Israel untuk pertama kalinya mengakui bahwa mereka membunuh pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, di ibu kota Iran pada bulan Juli.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menyampaikan pernyataan ini dalam pidatonya yang juga berisi ancaman untuk menargetkan para pemimpin Houthi di Yaman, yang telah meluncurkan roket dan drone ke Israel.
Advertisement
Haniyeh dibunuh melalui serangan udara saat berada di sebuah bangunan tempat dia menginap di Teheran. Dia mengunjungi negara itu dalam rangka menghadiri pelantikan Presiden Masoud Pezeshkian.
Dalam pidatonya pada Senin (23/12/2024), Katz mengatakan bahwa Israel akan "menyerang dengan keras" kelompok Houthi dan "menghancurkan" kepemimpinannya.
"Seperti yang kami lakukan dengan Haniyeh, (Yahya) Sinwar, dan (Hassan) Nasrallah di Teheran, Jalur Gaza, dan Lebanon, kami akan melakukan hal yang sama di Hodeidah dan Sanaa," kata Katz, merujuk pada pemimpin Hizbullah dan Hamas yang juga dibunuh tahun ini, seperti dikutip dari BBC, Selasa (24/12).
Haniyeh, yang berusia 62 tahun, memainkan peran penting dalam upaya mencapai gencatan senjata di Jalur Gaza.
Setelah pembunuhannya, Hamas menunjuk Yahya Sinwar, salah satu perancang utama serangan 7 Oktober 2023, sebagai pemimpin kelompok tersebut. Namun, Sinwar pun tewas ditembak oleh militer Israel pada Oktober dan hingga saat ini Hamas disebut masih dalam proses memilih pemimpin baru.
Sementara itu, Hassan Nasrallah adalah pemimpin Hizbullah yang didukung Iran di Lebanon, yang dibunuh di Beirut pada September ketika Israel memperburuk serangan militernya terhadap Hizbullah, yang telah terlibat dalam tembak-menembak hampir setiap hari sejak serangan 7 Oktober tahun lalu.
Adapun kelompok Houthi, yang didukung Iran dan menguasai barat laut Yaman, mulai menyerang kapal-kapal Israel dan internasional di Laut Merah setelah Israel mulai menargetkan Hamas di Jalur Gaza pada Oktober tahun lalu.
Kelompok ini berjanji akan terus menyerang Israel sampai perang di Jalur Gaza berakhir.
Peringatan Berulang
Hamas menyerang Israel pada Oktober tahun lalu, yang menurut klaim Israel menyebabkan sekitar 1.200 orang tewas dan 251 orang disandera.
Sebagai balasan, Israel melancarkan serangan ke Jalur Gaza yang masih berlanjut hingga saat ini, mengakibatkan lebih dari 45.000 orang tewas.
Kelompok kemanusiaan dan hak asasi manusia telah berulang kali memperingatkan bencana yang dialami warga sipil di Jalur Gaza.
Pada hari Minggu, Oxfam melaporkan bahwa hanya 12 truk yang berhasil mendistribusikan makanan dan air ke Gaza Utara dalam dua setengah bulan terakhir. Oxfam menyalahkan militer Israel atas "penundaan dan hambatan sistematis".
"Setelah makanan dan air diserahkan ke sekolah tempat orang berlindung, barang-barang tersebut kemudian dihancurkan dan dibombardir dalam beberapa jam," kata Oxfam.
Pihak berwenang Israel membantah laporan tersebut, menyebutnya "sengaja tidak akurat" dan mengabaikan "upaya kemanusiaan besar yang dilakukan Israel di Gaza Utara."
Israel mengklaim bahwa pengiriman "makanan, air, dan pasokan medis" telah dilakukan ke wilayah Gaza Utara, termasuk Beit Hanoun, Beit Lahia, dan Jabalia, yang merupakan lokasi operasi militer Israel untuk menargetkan pejuang Hamas yang berkumpul di sana.
Laporan Oxfam ini muncul setelah Amnesty International menuduh Israel melakukan genosida di Jalur Gaza dan Human Rights Watch (HRW) menyatakan bahwa Israel melakukan "tindakan genosida" dengan sengaja menghalangi akses warga Palestina di Jalur Gaza terhadap air yang cukup.
Kementerian Luar Negeri Israel membantah laporan Amnesty International sebagai "sepenuhnya salah dan berdasarkan kebohongan", sementara juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel menuduh HRW "sekali lagi menyebarkan fitnah ... kenyataannya adalah kebalikan dari kebohongan HRW".
Advertisement