Benarkah PPN Naik ke 12% Menurunkan Tabungan Masyarakat? Ahli Ungkapkan Pandangan dan Faktanya

Indonesia selama ini diketahui memiliki tarif PPN yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara lain, seperti rata-rata OECD (sekitar 19%). Bahkan dampak kenaikan dari PPN ini tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap inflasi, hanya naik sekitar 0,2% dari nilai inflasi sebelumnya.

oleh Gloria Trivena May Ary pada 24 Des 2024, 09:56 WIB
Ilustrasi ekonomi masyarakat. (c) AndreyPopov/Depositphotos.com

Liputan6.com, Jakarta Kenaikan PPN ke 12% kini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Khawatir pengeluaran akan bertambah secara signifikan, banyak masyarakat yang mulai kontra akan hadirnya kebijakan tersebut. Belum lagi, banyak yang berspekulasi bahwa naiknya PPN ke 12% ini bisa berpengaruh terhadap pemasukan dan tabungan pribadi.

Perlu diketahui bahwa PPN ke 12% yang mulai diberlakukan pada awal tahun depan sebetulnya sudah masuk ke dalam komponen APBN 2025. Tentu, kebijakan ini juga sudah dipikirkan betul-betul untuk mendongkrak ekonomi nasional dan sekaligus menghindari kerugian besar terhadap masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah. 

Indonesia selama ini diketahui memiliki tarif PPN yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara lain, seperti rata-rata OECD (sekitar 19%). Bahkan dampak kenaikan dari PPN ini tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap inflasi, hanya naik sekitar 0,2% dari nilai inflasi sebelumnya. 

“Kenaikan PPN bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan memperluas ruang fiskal (fiscal space) demi mendukung pembangunan berkelanjutan, seperti yang tercantum dalam tujuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dibandingkan dengan negara lain, tarif PPN Indonesia masih relatif rendah. Mayoritas negara maju sendiri memiliki tarif PPN antara 15-25%, sehingga langkah ini juga sejalan dengan tren internasional,” ujar Josua Pardede, seorang ekonom bank senior.


Pemerintah Berikan Stimulus untuk Membantu Masyarakat

Meskipun PPN naik, tetapi pemerintah tetap memberikan stimulus dalam berbagai bentuk bantuan dan subsidi. Hal ini bahkan dibenarkan langsung oleh Yustinus Prastowo, seorang Pengamat Perpajakan.

“Sekarang sudah diberikan beberapa stimulus kan, seperti PPH 21 ditanggung pemerintah untuk gajinya sampai dengan Rp10 juta, lalu bantuan pangan 10 kg beras untuk 16 juta rumah tangga, bantuan listrik, lalu jaminan kehilangan pekerjaan dan sebagainya, dan berbagai program lainnya, itu kan cara pemerintah memberikan kompensasi,” jelasnya.

“Lalu ada faktor kedua, uang pajak yang dikumpulkan tadi dibelanjakan kembali dalam bentuk belanja APBN. Belanjanya macam-macam, ada yang makan bergizi gratis, pembangunan perumahan 3 juta, dan lain-lain. Ini juga akan menggeliatkan ekonomi sekaligus membuka lapangan pekerjaan baru. Kalau uang pajak yang dibayarkan tadi dipakai untuk belanja publik, otomatis ini akan menambah income rumah tangga karena rumah tangga akan menambah tambahan pekerjaan,” lanjut Yustinus.

Lebih lanjut, Yustinus pun menjelaskan bahwa dampak dari naiknya PPN ke 12% akan otomatis ada untuk pendapatan masyarakat. Meski begitu, bantuan pemerintah lewat subsidi dan lainnya dinilai menjadi salah satu langkah untuk meminimalisir dampak tersebut.

Kenaikan PPN 12% Tidak Berpengaruh Signifikan ke Tabungan Masyarakat

Menyambung isu tersebut, Josua juga meluruskan bahwa tidak semua produk nantinya akan dikenakan PPN ke 12%. Kenaikan tarif PPN sebagian besar justru difokuskan pada barang dan jasa yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat kelas atas, termasuk barang mewah seperti beras premium dan/atau impor, daging wagyu, serta layanan pendidikan premium. Sementara itu, barang kebutuhan pokok seperti beras biasa, gula, dan susu segar tetap dibebaskan dari PPN, sehingga dampak terhadap inflasi konsumsi rumah tangga yang lebih luas tetap minimal. 

Dirinya pun kembali menjelaskan bahwa kenaikan harga barang-barang ketika diberlakukannya PPN 12% ini juga tidak begitu signifikan, hanya sekitar 0,9% saja. 

“Dampaknya terhadap harga barang secara keseluruhan hanya diperkirakan sekitar 0,9%. Hal ini relatif kecil karena barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, sayur, dan susu tetap dibebaskan dari PPN. Selain itu, indikator ekonomi juga menunjukkan konsumsi rumah tangga yang stabil dan bahkan meningkat, diperkirakan tumbuh 4,9% YoY pada 2024. Ini menunjukkan bahwa daya beli tetap kuat meskipun ada penyesuaian tarif pajak,” ungkap Josua.

Naiknya PPN ke 12% memang membawa tantangan tersendiri untuk Indonesia. Namun, dampak buruknya tak semengerikan yang dipikirkan oleh masyarakat secara luas. Terlebih lagi, kenaikan pajak ini juga tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap nilai inflasi dan harga barang-barang lokal di dalam negeri. Apabila dua aspek ini tetap terjaga, otomatis tabungan masyarakat pun juga tak akan terpengaruh secara signifikan. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya