Said Abdullah Sebut PDIP Dukung Program Strategis Prabowo dengan Sumber Pendapatan PPN 12 Persen

Said Abdullah mengingatkan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang berlaku sejak 2021 mengamanatkan sejumlah barang dan jasa yang tidak boleh dikenai PPN atau PPN 0 persen.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 24 Des 2024, 12:54 WIB
Ketua Badan Anggaran (Banggar) Said Abdullah dalam Rapat Kerja Banggar DPR RI dengan tujuh Kementerian Koordinator (Kemenko) Kabinet Merah Putih di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (2/12/2025).

Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPP PDI Perjuangan Said Abdullah mengatakan, pembahasan APBN 2025 antara pemerintah dan DPR sudah menyepakati target pendapatan negara dengan asumsi pemberlakuan PPN 12 persen. Tujuannya, demi mendukung program strategis Quick Win dari Presiden Prabowo Subianto. Salah satunya, Makan Bergizi Gratis yang membutuhkan dana sekitar Rp71 triliun.

Said Abdullah melanjutkan, naiknya PPN 12 persen juga akan bermuara pada program-program pemerintah lainnya yang juga membutuhkan dana besar.

Mulai dari Pemeriksaan Kesehatan Gratis yang membutuhkan dana sebesar Rp 3,2 triliun, Pembangunan Rumah Sakit Lengkap di Daerah Rp 1,8 triliun, pemeriksaan penyakit menular (TBC) Rp 8 triliun, Renovasi Sekolah Rp 20 triliun, Sekolah Unggulan Terintegrasi Rp 2 triliun, hingga Lumbung Pangan Nasional, Daerah dan Desa Rp 15 triliun.

"Dalam rapat kerja antara para Menteri Koodirnator (Menko) dengan Banggar DPR pada tanggal 2 Desember 2024 juga disampaikan bahwa pada tahun 2027 pemerintah menargetkan swasembada beras," ungkap Said dalam keterangan tertulis diterima, Selasa (24/12/2024).

Dengan demikian, Said memastikan program quick and win sudah sejalan dengan agenda PDI Perjuangan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), serta mendorong program kesehatan yang inklusif.

"Atas dasar itulah, PDI Perjuangan berkomitmen untuk mengawal dan mengamankan demi suksesnya Program Quick Win melalui dukungan terhadap APBN 2025," kata Said.

Namun demikian, Ketua Badan Anggaran DPR RI ini mengingatkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang berlaku sejak tahun 2021 mengamanatkan sejumlah barang dan jasa yang tidak boleh dikenai PPN atau PPN 0 persen.

"Contoh komoditas terkait adalah ekspor barang dan jasa, pengadaan vaksin, buku pelajaran umum, buku pelajaran agama, kitab suci, pembangunan tempat ibadah, proyek pemerintah yang didanai dari hibah atau pinjaman luar negeri, barang dan jasa untuk penanganan bencana, kebutuhan pokok yang dikonsumsi rakyat banyak, serta pengadaan barang dan jasa untuk pembangunan nasional yang bersifat strategis," Said menandaskan.

 

 


Said PDIP: Energi Kita Diperlukan untuk Hadapi Tantangan Ekonomi 2025

Sejumlah pihak meminta pemerintah merinci secara detail terkait kriteria barang mewah yang dikenakan PPN 12 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Said Abdullah menegaskan, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen merupakan amanat Undang-Undang Nonor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang berlaku sejak tahun 2021. Dia menilai, kenaikan PPN 12 persen bukanlah insiden yang tiba-tiba.

"Kenaikan PPN sesungguhnya bukan peristiwa yang datang seketika. Sebelum 1 April tahun 2022 tarif PPN berlaku 10 persen. Setelah Undang Undang No 7 tahun 2021 berlaku, maka diatur pemberlakuan kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen per 1 April 2022, dan selanjutnya 1 Januari 2025 tarif PPN menjadi 12 persen, dengan demikian terjadi kenaikan bertahap," kata Said melalui keterangan tertulis, Selasa (24/12/2024).

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR ini menjelaskan, pemerintah memiliki ruang diskresi untuk menurunkan PPN pada batas bawah di level 5 persen dan batas atas 15 persen bila dipandang perlu. Dengan catatan, mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional.

"Atas dasar ketentuan ini, maka pemerintah dan DPR sepakat untuk memasukkan asumsi tambahan penerimaan perpajakan dari pemberlakuan PPN 12 ke dalam target pendapatan negara pada APBN 2025," ungkapnya.

Said pun menyatakan, saat ini APBN 2025 telah diundangkan melalui Undang-Undang No 62 tahun 2024. Undang-Undang tersebut disepakati oleh seluruh Fraksi di DPR. Hanya saja, Fraksi PKS DPR RI memberi persetujuan dengan catatan.

"Maka dengan demikian pemberlakukan PPN 12 persen berkekuatan hukum," jelas Said.

Said mengamini, kenaikan PPN 12 persen menuai polemik. Pihak pro dan kontra saling argumen dan narasi.

"PDIP melihat hal itu mengarah pada situasi yang kontraproduktif. Padahal energi bangsa ini kita perlukan untuk bersatu, menghadapi tantangan ekonomi 2025 yang tidak mudah," saran dia.

Said mencatat, situasi diperparah dengan sentimen negatif pasar atas menguatnya Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah, karena ekspektasi investor atas menguatnya ekonomi Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump.

"Bank Indonesia bersama pemerintah menyampaikan ke kami (DPR) telah berupaya melakukan stabilisasi rupiah dengan effort yang maksimal. Kita harapkan membuahkan hasil rupiah kembali stabil," Said menutup.

Infografis Plus Minus Kenaikan PPN 12 Persen. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya