Liputan6.com, Jakarta Penyakit misterius yang disebut Dinga-Dinga sedang melanda distrik Bundibugyo, Uganda, sejak awal Desember 2024. Lebih dari 300 orang, mayoritas wanita dan anak perempuan, dilaporkan mengalami gejala aneh seperti gemetar tubuh, demam tinggi, dan kelumpuhan.
Penyakit Dinga-Dinga, yang berarti “bergetar seperti menari” dalam bahasa setempat, telah menjadi momok bagi warga Bundibugyo. Gejala awalnya berupa tremor tubuh, yang kemudian berkembang menjadi demam dan kelemahan ekstrem. Penyakit menari ini bahkan membuat aktivitas sederhana seperti berjalan atau duduk menjadi mustahil bagi penderitanya.
Baca Juga
Advertisement
Meski belum ada korban jiwa, penyakit baru ini telah memicu keresahan di kalangan masyarakat. Pejabat kesehatan setempat melaporkan bahwa beberapa pasien sudah menunjukkan tanda pemulihan setelah perawatan dengan antibiotik. Namun, misteri penyebab Dinga-Dinga Uganda tetap menjadi misteri besar bagi otoritas kesehatan.
Dr. Kiyita Christopher, seorang pejabat kesehatan distrik, menyatakan bahwa sampel pasien telah dikirim untuk analisis laboratorium. Hingga saat ini, penelitian intensif masih berlangsung untuk memahami penyakit Dinga-Dinga.
“Pasien biasanya pulih dalam seminggu,” kata Dr. Christopher, dikutip Liputan6.com dari laman Onlymyhealth, Selasa (24/12/2024).
Gejala dan Dampak Penyakit Menari Dinga-Dinga
Gejala awal penyakit Dinga-Dinga mencakup tremor tubuh yang menyerupai tarian tak terkendali. Keluhan ini sering disertai demam tinggi dan kelumpuhan sementara.
Banyak pasien mengaku kesulitan melakukan aktivitas harian seperti makan atau berjalan. Kondisi ini membuat penderitanya merasa lelah dan tak berdaya.
Seorang pasien wanita berkata kepada media lokal, “Tubuh saya gemetar tanpa henti, saya tidak bisa melakukan apa pun sendiri.” Pernyataan ini menyoroti betapa melemahkannya penyakit tersebut.
Advertisement
Respons Pejabat Kesehatan Uganda
Dr. Kiyita Christopher menyebutkan bahwa sampel dari pasien telah dikirim untuk analisis lebih lanjut. Para ahli masih berusaha menemukan sumber dan mekanisme penyebaran penyakit.
“Pasien biasanya pulih dalam seminggu,” ujar Dr. Christopher, memberikan sedikit harapan bagi warga. Namun, ia mengingatkan bahwa penyakit ini masih memerlukan penanganan medis yang tepat.
Pejabat juga menyarankan masyarakat untuk menghindari pengobatan alternatif yang tidak teruji. Mereka khawatir metode tersebut dapat menimbulkan komplikasi baru.
Penyakit ini telah dibandingkan dengan wabah bersejarah, seperti "Penyakit Menari" atau "Dancing Plague" pada tahun 1518 di Strasbourg, Prancis, di mana orang-orang menari tidak terkendali selama berhari-hari, yang kadang-kadang menyebabkan kematian akibat kelelahan.
Ketakutan dan Pengobatan Tradisional di Kalangan Warga
Ketidakpastian tentang penyakit ini memicu ketakutan di kalangan masyarakat Bundibugyo. Banyak yang mencari perlindungan melalui ramuan herbal lokal.
Pejabat kesehatan telah menyuarakan kekhawatiran mereka tentang pengobatan tradisional ini. “Tidak ada bukti ilmiah bahwa pengobatan herbal dapat mengobati penyakit ini,” kata Dr. Christopher.
Meskipun demikian, banyak warga tetap menggunakan pengobatan tradisional karena kurangnya akses ke fasilitas kesehatan modern. Situasi ini menjadi tantangan tambahan dalam upaya pengendalian penyakit.
Advertisement