Kejagung Sebut Denda Damai Tak Bisa Diterapkan ke Pidana Korupsi

Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan perihal denda damai yang merupakan langkah hukum pelaku tindak pidana, yang dapat dilakukan untuk terbebas dari jerat hukum.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 24 Des 2024, 16:30 WIB
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar. (Merdeka.com)

Liputan6.com, Jakarta Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan perihal denda damai yang merupakan langkah hukum pelaku tindak pidana, yang dapat dilakukan untuk terbebas dari jerat hukum.

Adapun pemberlakuannya tidak dapat diterapkan terhadap pelanggar tindak pidana korupsi.

"Benar dalam Pasal 35 (1) huruf k UU Nomor 11 tahun 2021 tentang Kejaksaan RI menyatakan Jaksa Agung mempunyai tugas dan kewenangan menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara dan dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan peraturan perundang-undangan," tutur Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar kepada wartawan, Selasa (24/12/2024).

Menurut dia, penyelesaian secara denda damai yang dimaksud dalam Pasal tersebut adalah untuk Undang-Undang sektoral yang merugikan perekonomian negara dan termasuk dalam tindak pidana ekonomi, misalnya tindak pidana kepabeanan, cukai, dan sejenisnya.

"Sedangkan penyelesaian Tipikor mengacu pada UU Tipikor, Pasal 2, 3 dan seterusnya," jelas Harli.

"Kalau dari aspek teknis yuridis, Tipikor tidak termasuk yang dapat diterapkan denda damai yang dimaksud Pasal 35 (1) huruf k, kecuali ada definisi yabg memasukkan korupsi sebagai tindak pidana ekonomi," sambungnya.

Harli mengulas, denda damai adalah penghentian perkara di luar pengadilan, dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung terhadap perkara tindak pidana ekonomi.

"Pengertian Tindak Pidana Ekonomi sebagaimana tersurat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Darurat Tahun 1955," dia menandaskan.

 

 


Menteri Hukum Singgung soal Denda Damai

Sebelumnya, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas mengulas adanya denda damai di Kejaksaan Agung (Kejagung) bagi pelaku tindak pidana, yang dampaknya mirip dengan niatan Presiden Prabowo Subiantomemaafkan koruptor, lewat pengembalian seluruh hasil korupsi ke negara.

"Saya beritahu bahwa apakah memungkinkan? Memungkinkan. Apakah lewat Presiden? Tanpa lewat Presiden pun sekarang memungkinkan. Karena Undang-Undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai terhadap perkara seperti itu," tutur Andi di Kantor Kementerian Hukum, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (23/12/2024).

Denda damai sendiri merupakan pembayaran sejumlah uang kepada negara sebagai penggantian kerugian, yang timbul akibat perbuatan pelaku, yang juga dapat diartikan sebagai penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda.

Andi mengatakan, langkah hukum tersebut dapat diterapkan ke tindak pidana apapun, termasuk korupsi.

"Seluruh tindak pidana. Denda damai itu yang kita berikan karena saya dulu kan menyusun itu di badan legislasi. Denda damai itu untuk seluruh tindak pidana," jelas dia.

 


Ada Kesepakatan

"Namun demikian, peraturan turunannya yang belum. Dulu kami minta disepakati antara pemerintah dan DPR itu cukup peraturan Jaksa Agung. Ya kan? Peraturan Jaksa Agung. Tetapi sampai sekarang saya tidak tahu apakah peraturan Jaksa Agung itu sudah diselesaikan atau belum," sambungnya.

Kembali Andi menegaskan, pada dasarnya Presiden memiliki hak prerogatif untuk menerapkan grasi, amnesti, ataupun abolisi untuk pelaku tindak pidana. Hal itu pun tidak bertentangan dengan Undang-Undang.

"Nah karena itu saya hanya sampaikan bahwa apakah Presiden memiliki dasar untuk itu? Saya katakan iya. Apakah Presiden mau menggunakan itu? Tergantung Presiden. Tapi Undang-Undang Dasar, jangan benturkan antara Undang-Undang dengan Undang-Undang Dasar," Andi menandaskan.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya