7 Respons Mulai Mahfud Md, MUI, KPK, hingga Menkum Usai Pernyataan Prabowo Bakal Maafkan Koruptor

Belum lama ini, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan memberikan kesempatan kepada para koruptor untuk bertobat dan mengembalikan uang rakyat yang telah dicuri.

oleh Devira PrastiwiHisyam Adyatma diperbarui 24 Des 2024, 17:00 WIB
Belum lama ini, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan memberikan kesempatan kepada para koruptor untuk bertobat dan mengembalikan uang rakyat yang telah dicuri. (Via: huffingtonpost.com)

Liputan6.com, Jakarta - Belum lama ini, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan memberikan kesempatan kepada para koruptor untuk bertobat dan mengembalikan uang rakyat yang telah dicuri.

Presiden Prabowo mengatakan, dirinya akan memaafkan para koruptor apabila mereka mengembalikan uang rakyat. Dia menyampaikan, para koruptor dapat mengembalikan uang rakyat dengan diam-diam agar tak diketahui. Prabowo tak mempersoalkannya, asalkan para koruptor mengembalikan uang rakyat yang sudah dicuri.

Pernyataan Prabowo itu pun menuai beragam tanggapan dari sejumlah pihak. Salah satunya Mantan Menko Polhukam Mahfud Md. Menurut dia, memaafkan tindak pidana korupsi sama saja melanggar pasal 55 KUHP.

"Korupsi itu kan dilarang. Dilarang siapa? menghalangi penegakan hukum, ikut serta atau membiarkan korupsi padahal dia bisa ini (melaporkan), lalu kerja sama," kata Mahfud Md seperti dikutip Minggu 22 Desember 2024.

Kemudian, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) Zainut Tauhid Sa'adi mengaku apresiasi terhadap pernyataan tersebut. Dengan catatan, jika membandel maka penegakan hukum akan diberlakukan dengan tegas.

"Ini menunjukkan kuatnya komitmen Presiden dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Langkah Presiden merupakan terobosan hukum yang cukup berani dan simpatik," kata Zainut dalam keterangan tertulis.

Kemudian, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto pun turut menanggapi pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang akan memaafkan koruptor bila bertobat dengan mengembalikan aset negara.

Setyo menghargai pernyataan Presiden Prabowo Subianto soal akan memaafkan koruptor jika mengembalikan uang rakyat yang telah dicuri. Namun, menurut Setyo, apa yang dimaksud oleh Prabowo tidak semua perkara akan diberlakukan seperti itu.

"Saya yakin hal itu akan diberlakukan untuk semua perkara, dan saya yakin juga tidak diperlakukan sama rata. Mungkin hanya untuk perlakuan perkara tertentu. Misalkan untuk yang kalau memenuhi hajat orang banyak saya yakin mungkin tidak," kata Setyo.

Berikut sederet respons sejumlah pihak usai Presiden Prabowo Subianto nyatakan akan memaafkan koruptor dihimpun Tim News Liputan6.com:

 


1. Mahfud Md Kritisi Ide Prabowo yang Mau Maafkan Koruptor

Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3, Mahfud MD. (Tim News).

Presiden Prabowo Subianto memberikan kesempatan kepada para koruptor untuk bertobat dan mengembalikan uang rakyat yang telah dicuri dengan catatan apabila mereka mengembalikan uang rakyat.

Namun, rencana tersebut dikritisi oleh mantan Menko Polhukam Mahfud Md. Menurut dia, memaafkan tindak pidana korupsi sama saja melanggar pasal 55 KUHP.

"Korupsi itu kan dilarang. Dilarang siapa? menghalangi penegakan hukum, ikut serta atau membiarkan korupsi padahal dia bisa ini (melaporkan), lalu kerja sama," kata Mahfud Md seperti dikutip Minggu 22 Desember 2024.

Permasalahan korupsi di dalam negeri dikatakan dia sudah terlalu kompleks. Belum lagi dengan memberikan maaf kepada koruptor atas perbuatannya semakin membuat penindakan korupsi di dalam negeri tumpul.

"Padahal itu kompleks sekali, komplikasinya akan membuat semakin rusak lah bagi dunia hukum, sebab itu hati-hati lah," jelas Mahfud.

 


2. MUI Peringatkan Soal Aturan Hukum

Gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jalan Proklamasi No 51, Menteng, Jakarta Pusat. (bimasislam.kemenag.go.id)

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan bakal memberi maaf dan kesempatan bertobat untuk koruptor, jika mereka mengembalikan harta yang telah dicurinya. Hal itu disampaikan Prabowo saat bertemu mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar Mesir beberapa waktu lalu.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) Zainut Tauhid Sa'adi mengaku apresiasi terhadap pernyataan tersebut. Dengan catatan, jika membandel maka penegakan hukum akan diberlakukan dengan tegas.

"Ini menunjukkan kuatnya komitmen Presiden dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Langkah Presiden merupakan terobosan hukum yang cukup berani dan simpatik," kata Zainut dalam keterangan tertulis diterima, Sabtu 21 Desember 2024.

Zainut melihat, Presiden Prabowo ingin memulai gerakan bersih-bersih memberantas korupsi dengan membuka ‘pintu taubat’. Hanya saja, dia mewanti hal dilakukan Prabowo harus tetap dengan aturan hukum yang valid.

"Meskipun demikian MUI meminta langkah Presiden tersebut harus tetap didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. Harus ada payung hukum yang bisa dipertanggungjawabkan terhadap langkah Presiden tersebut," wanti Zainut.

"Langkah Presiden sudah sejalan dengan hasil keputusan Mukernas IV MUI 2024, yakni mendorong agar Presiden Republik Indonesia memimpin langsung pemberantasan korupsi mengingat negara kita telah berada dalam status darurat korupsi dan hendaknya memperkuat KPK sebagai lembaga negara yang independen," imbuh dia menandasi.

Sebagai informasi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah mengeluarkan fatwa terkait korupsi, yaitu Fatwa Nomor 4/Munas VI/MUI/2000.

Diketahui, dalam fatwa tersebut, MUI mendefinisikan korupsi atau ghulul sebagai tindakan mengambil sesuatu yang berada di bawah kekuasaan dengan cara yang tidak benar menurut Islam. MUI memfatwakan bahwa korupsi dan suap adalah tindakan yang haram hukumnya.

 


3. Tanggapan Ketua KPK

Kapolda Sulut Irjen Pol Setyo Budiyanto saat menyampaikan rilis akhir tahun 2023, di Hotel Grandwhizz Manado, Jumat (29/12/2023).

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto turut menanggapi pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang akan memaafkan koruptor bila bertobat dengan mengembalikan aset negara.

Setyo menghargai pernyataan Presiden Prabowo soal akan memaafkan koruptor jika mengembalikan uang rakyat yang telah dicuri. Namun, menurut Setyo, apa yang dimaksud oleh Prabowo tidak semua perkara akan diberlakukan seperti itu.

"Saya yakin hal itu akan diberlakukan untuk semua perkara, dan saya yakin juga tidak diperlakukan sama rata. Mungkin hanya untuk perlakuan perkara tertentu. Misalkan untuk yang kalau memenuhi hajat orang banyak saya yakin mungkin tidak," kata Ketua KPK Setyo Budiyanto saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat 20 Desember 2024.

Setyo menilai, pernyataan Prabowo baru gambaran secara umum dan bisa saja nanti akan didetailkan lagi oleh para menterinya. Sehingga, Setyo belum bisa terlalu jauh mengasumsikan maksud pernyataan Presiden Prabowo.

Dia lantas menyinggung pidato Prabowo pada saat dilantik menjadi presiden di Gedung Parlemen yang ingin memberantas korupsi di tanah air.

"Beliau disumpah di Senayan. Kemudian di beberapa event selalu menyampaikan tentang pemberantasan korupsi, tentang masalah pengentasan, jangan melakukan pemborosan, jangan melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya seremonial," ungkap purnawiaran jenderal polisi bintang tiga itu.

KPK, lanjut Setyo, akan merespons lebih lanjut pernyataan Prabowo bila sudah ada penjelasan detail maksud dan tujuan terkait "memaafkan koruptor" itu.

 


4. Respons Partai Golkar dan PKS

Banner Infografis Caleg-Caleg Eks Napi Koruptor. (Liputan6.com/Triyasni)

Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menilai pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang akan memaafkan para koruptor jika mengembalikan uang rakyat adalah sebuah terobosan hukum bagus.

"Saya pikir bahwa semuanya itu kan ada tata kelola yang baik ya, semuanya ada tata kelola yang baik," kata Bahlil Lahadalia kepada wartawan di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Jumat 20 Desember 2024.

"Kalau memang selama ini Bapak Presiden Prabowo mengatakan bahwa akan mempertimbangkan kalau itu dikembalikan kerugian atau kerugian materialnya, saya pikir itu salah satu terobosan hukum, dan itu bagus," sambungnya.

Apalagi, kata Bahlil, uang itu nantinya bisa digunakan untuk membangun bangsa dan memberikan makanan bergizi untuk anak-anak Indonesia.

"Supaya uangnya itu bisa dipakai untuk membangun jalan, sekolah, makanan bergizi, saudara-saudara kita yang ekonominya belum bagus, dipakai untuk subsidi," ujar Bahlil.

"Jadi saya pikir itu terobosan aja kok, selama tidak melanggar aturan kan enggak ada masalah. Yang penting ada terobosan hukum yang baik. Tujuannya satu, kita ingin memperbaiki bangsa ini," pungkasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, M Nasir Djamil menyoroti pernyataan dari Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakat (Menko Kumham Imipas, Yusril Ihza Mahendra soal upaya untuk mengubah penegakan hukum kasus korupsi dari retributif ke restoratif.

Menurut Nasir, sebaiknya Menko Yusril perlu lebih hati-hati bicara soal pendekatan restoratif tersebut terhadap pelaku tindak pidana korupsi (Tipikor). Sebab, hal itu menyangkut dengan sensitivitas publik.

"Karena kita tahu indeks persepsi korupsi kita turun. Kemudian korupsi juga masih menjadi musuh bangsa karena masuk dalam kategori extra ordinary crime karena melibatkan kejahatan kerah putih. Korupsi politik, korupsi yudisial," ujar Nasir dalam keterangannya, Sabtu 21 Desember 2024.

Politikus PKS ini menilai, daripada menimbulkan kegaduhan, lebih baik wacana tersebut dihentikan. Sebaliknya, sebelum melangkah ke sana, Nasir menilai banyak hal yang harus diperbaiki, khususnya terkait moralitas pejabat terkait.

"Sebaiknya memang jangan mengumbar hal-hal yang kontraproduktif dalam hal upaya Pak Presiden terkait (pemberantasan) Tipikor itu. Karena di banyak negara korupsi itu bahkan dihukum mati. China, misalnya. Kita sayang dengan Pak Prabowo," ucap dia.

"Jadi, seolah-olah (dengan adanya wacana) ini Pak Prabowo itu dinilai memandang memandang remeh kejahatan tindak pidana korupsi. Padahal, beliau sangat strict terkait kasus korupsi," kata Nasir memungkasi.

 


5. Menko Kumham Imipas Sebut Bagian Rencana Amnesti dan Abolisi

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra saat puncak peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) ke-76 di Panggung Budaya, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Selasa (10/12/2024).

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra merespon pernyataan Presiden Prabowo Subianto, yang akan memaafkan koruptor jika mengembalikan uang hasil korupsi.

Menurutnya, hal itu merupakan salah satu strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara atau asset recovery, dan sejalan dengan United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi.

"Apa yang dikemukakan Presiden itu sejalan dengan pengaturan UN Convention Againts Corruption yang sudah kita ratifikasi dengan UU No 7 Tahun 2006. Sebenarnya setahun sejak ratifikasi, kita berkewajiban untuk menyesuaikan UU Tipikor kita dengan Konvensi tersebut, Namun kita terlambat melakukan kewajiban itu dan baru sekarang ingin melakukannya,” tutur Yusril dalam keterangannya, Kamis 19 Desember 2024.

"Penekanan upaya pemberantasan korupsi sesuai pengaturan konvensi adalah pencegahan, pemberantasan korupsi secara efektif dan pemulihan kerugian negara," sambungnya.

Prabowo sendiri menyatakan, orang yang diduga dan disangka melakukan korupsi, serta telah divonis karena terbukti melakukan rasuah dapat dimaafkan, jika mereka dengan sadar mengembalikan kerugian negara akibat perbuatannya.

Yusril menilai, pernyataan Prabowo itu menjadi gambaran dari perubahan filosofi penghukuman dalam penerapan KUHP Nasional, yang akan diberlakukan awal tahun 2026 yang akan datang.

"Penghukuman bukan lagi menekankan balas dendam dan efek jera kepada pelaku, tetapi menekankan pada keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif. Penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi haruslah membawa manfaat dan menghasilkan perbaikan ekonomi bangsa dan negara, bukan hanya menekankan pada penghukuman kepada para pelakunya," jelas dia.

 


6. Menkum Tegaskan Bukan Berarti Biarkan Pelaku Bebas

Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas di Kantor Kementerian Hukum, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (23/12/2024). (Foto: Liputan6.com/Nanda Perdana Putra).

Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas meluruskan polemik di masyarakat terkait niat Presiden Prabowo Subianto memaafkan para koruptor, dengan catatan mengembalikan seluruh hasil korupsi ke negara. Menurutnya, hal itu bukan berarti membiarkan para pelaku rasuah bebas dari hukuman.

"Yang penting teman-teman semua dan seluruh masyarakat Indonesia pahami, yang pertama adalah bahwa apa yang diucapkan oleh Bapak Presiden itu adalah merupakan sebuah langkah, upaya, bukan berarti dalam rangka untuk membiarkan pelaku-pelaku tindak pidana korupsi kemudian itu bisa terbebas. Sama sekali nggak," tutur Andi di Kantor Kementerian Hukum, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin 23 Desember 2024.

Menurut Andi, pemberian grasi, amnesti, dan abolisi merupakan hak konstitusional yang diberikan oleh negara. Para pakar atau pun akademisi yang menganggap hal itu bertentangan dengan Undang-Undang mungkin saja lupa menyebut Pasal 55 KUHP tentang penyertaan dan lainnya.

"Tetapi menyangkut soal grasi, amnesti, dan abolisi, itu sebenarnya adalah sesuatu yang sudah berlangsung lama. Dari sisi sejarahnya itu pertama kali muncul di Perancis, kemudian juga akhirnya berkembang dan itu adalah merupakan sebuah upaya bagi kepala negara untuk melakukan proses pengampunan. Nah cuma kan tahapannya berbeda-beda," ucap dia.

Andi menegaskan, pernyataan Prabowo yang ingin memaafkan koruptor masih sesuai dengan aturan Undang-Undang. Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusi tertinggi memberikan ruang, dan seluruh negara pun menurutnya menganut hal yang sama.

"Kekuasaan untuk memberikan grasi, abolisi, maupun amnesti itu adalah kekuasaan Yudisial yang seharusnya hanya dimiliki oleh kekuasaan Yudikatif. Tetapi oleh Undang-Undang Dasar itu memberikan ruang, di mana kepala negara bisa melakukan itu," ungkap Andi.

Menurut Andi, niatan Prabowo Subianto itu dapat terwujud jika Mahkamah Agung (MA) dan DPR turut menyetujui.

"Dulu pemberian grasi, amnesti, abolisi, itu tanpa perlu meminta pertimbangan ke Mahkamah Agung ataupun ke DPR. Tapi setelah ada amandemen, kan sekarang menjadi berubah. Kalau mau lakukan grasi, wajib minta pertimbangan ke Mahkamah Agung. Kalau mau lakukan amnesti, itu ke DPR, dan lain-lain sebagainya," tutur Andi.

"Itu menandakan bahwa kekuasaan Presiden itu tidak absolut banget. Artinya perlu ada, supaya ada yang mengawasi, makanya perlu ada pertimbangan dari kedua institusi," sambungnya.

Dengan begitu, kata Andi, membebaskan koruptor tidak bisa sembarangan dilakukan oleh Prabowo lantaran ada unsur pengawasan, yakni MA dan DPR.

Kondisi tersebut pun pastinya membuat seorang kepala negara mempertimbangkan dengan matang terlebih dulu sebelum memberikan grasi, amnesti, atau pun abolisi terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

"Tidak serta merta Presiden mengeluarkan tanpa pertimbangan dari kedua lembaga tersebut," jelas Andi.

 


7. Sahroni DPR Sebut Perlu Kajian yang Dalam

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni/Istimewa.

Presiden Prabowo Subianto memberikan kesempatan kepada para koruptor untuk bertobat dan mengembalikan uang rakyat yang telah dicuri dengan catatan apabila mereka mengembalikan uang rakyat. Hal ini menuai polemik.

Terkait wacana itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menyebut bahwa disertasi doktoralnya terkait prinsip ultimum remedium dapat dijadikan acuan.

"Terkait langkah ini, Pak Prabowo mungkin bisa menjadikan disertasi doktoral saya sebagai referensi. Saya mengemukakan prinsip ultimum remedium, di mana pidana merupakan langkah terakhir dalam penyelesaian kasus korupsi. Yang paling utama ialah upaya pengembalian kerugian negaranya," ujar Sahroni dalam keterangannya, Senin 23 Desember 2024.

"Kita paksa koruptor bayar berkali-kali lipat. Karena jika sebatas hukuman pidana badan, kerugian negara tidak akan pernah bisa pulih. Justru malah semakin terbebani dengan biaya proses hukumnya," sambungnya.

Politikus NasDem ini menuturkan, angkah Presiden Prabowo ini memang membutuhkan kajian mendalam dari berbagai macam sudut keilmuan. Sehingga disertasi ultimum remedium ini dapat dijadikan referensi karena telah diuji oleh beberapa pakar hukum ternama.

"Pengembalian kerugian negara memang tengah menjadi concern banyak pihak, baik di Komisi III atau pun institusi penegak hukum. Makanya, kemarin disertasi ini telah diuji secara akademis oleh beberapa tokoh hukum, seperti Hakim Agung Prof Surya Jaya, Pak Bamsoet saat menjabat Ketua MPR, Prof Reda Manthovani yang merupakan Jamintel Kejagung, Rektor Univ Borobudur Prof Bambang Bernanthos, Prof Faisal Santiago, dan sebagainya," jelas Sahroni.

Dia pun berharap disertasinya dapat menjadi salah satu kerangka acuan untuk mengimplementasikan langkah Presiden Prabowo.

"Jadi sebagai Pimpinan Komisi III yang membidangi hukum, saya memahami betul substansi langkah Pak Prabowo. Nah harap saya, melalui prinsip ultimum remedium ini, para koruptor justru bakal lebih jera. Gimana enggak? Mereka bakal dipaksa bayar berkali-kali lipat dari kerugian yang ditimbulkannya," tutupnya.

Infografis Prabowo Beri Kesempatan Koruptor Tobat. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya