Mengenang 20 Tahun Tsunami Aceh, Mengenal Smong sebagai Mitigasi Bencana dengan Kearifan Lokal

Wilayah tersebut dihantam tsunami dengan magnitude 7,6. Peristiwa tersebut pun menjadi mimpi buruk sekaligus pelajaran berharga bagi masyarakat Simeulue.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 26 Des 2024, 07:00 WIB
Awan menyerupai smong alias gelombang tsunami muncul di langit Meulaboh Aceh Barat, Senin (10/8/2020). (@masawep)

Liputan6.com, Aceh - Tepat 20 tahun lalu, tragedi gempa dan tsunami melanda Aceh. Bencana yang menyisakan duka ini sekaligus menjadi 'tantangan' bagi masyarakat Simeulue untuk mempraktikkan mitigasi bencana dengan kearifan lokal yang disebut smong.

Mengutip dari dishub.acehprov.go.id, saat itu, masyarakat Simeulue berhasil menyelesaikan tantangan tersebut. Gempa hebat yang disusul luapan air laut itu menyapu ribuan rumah penduduk, tetapi masyarakat berhasil selamat.

Hal ini terjadi berkat smong, sebuah teknik mitigasi bencana dengan kearifan lokal dan adat tutur yang telah diwariskan secara turun-temurun. Berkat smong, tidak banyak korban jiwa dalam bencana 20 tahun lalu. Tercatat, sekitar tiga hingga enam orang yang meninggal dunia.

Hal tersebut membuat smong dikagumi seluruh dunia hingga membuat semua orang penasaran. Smong pun mulai banyak didiskusikan, diseminarkan, dan dipelajari.

Masyarakat dunia, khususnya di Indonesia, mulai mempelajari Smong sebagai salah satu cara mitigasi bencana tsunami. Adapun mitigasi bencana ini dilakukan oleh masyarakat Simeulue dengan berteriak, "smong", sambil berlari ke bukit menjauhi pantai.

Teriakan tersebut dimaksudkan sebagai penanda bahwa terdapat smong di lautan. Smong diartikan sebagai hempasan gelombang air laut yang berasal dari bahasa Devayan, bahasa asli Simeulue. Smong menjadi penanda awal atau peringatan dini akan terjadinya tsunami.

Mitigasi bencana smong sebenarnya mulai dikenal pada 1907. Saat itu, terdapat bencana ombak besar yang menghantam pesisir-pesisir pulau Simeulue, terutama di Kecamatan Teupah Barat.

Wilayah tersebut dihantam tsunami dengan magnitude 7,6. Peristiwa tersebut pun menjadi mimpi buruk sekaligus pelajaran berharga bagi masyarakat Simeulue Aceh.

Tak bisa dihindari, bencana tersebut menelan ribuan nyawa, merusak rumah dan surau, hingga merenggut harta tanpa sisa. Jejak bencana itu masih terlihat pada sebuah kuburan yang terletak di pelataran masjid Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat. Sejak peristiwa traumatis tersebut, masyarakat Simeulue mulai mempraktikkan smong.

Secara historis, smong merupakan kearifan lokal dari rangkaian pengalaman masyarakat Simeulue pada masa lalu terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Sejak saat itu, kata smong begitu akrab di kalangan masyarakat Simeulue.

Oleh nafi-nafi, kisah smong diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Masyarakat sekitar mengenal nafi sebagai budaya lokal masyarakat Simeulue berupa adat tutur atau cerita yang berisi nasihat dan petuah kehidupan.

Para tetua dan tokoh adat menyampaikan nafi-nafi kepada kaum muda untuk menjadi pelajaran, tak terkecuali terkait smong. Smong disampaikan dalam berbagai kesempatan, mulai dari saat memanen cengkeh, saat mengaji di surau, hingga menjadi pengantar tidur anak-anak di malam hari.

Kini, media penyampaian smong bertambah. Tak hanya melalui nafi, tetapi juga diceritakan melalui nanga-nanga dan kesenian nandong masyarakat Simeulue.

Smong juga disenandungkan melalui lagu dan puisi, salah satunya melalui syair lagu karya Muhammad Riswan atau Moris. Ia merupakan salah satu tokoh adat dan pemerhati budaya Simeulue.

Perlahan, smong pun berkembang menjadi mitigasi bencana tsunami dengan kearifan lokal masyarakat Simeulue yang terus diwariskan melalui berbagai cara. Para tetua meyakini, suatu saat smong akan datang lagi. Meski dalam hati, mereka sangat berharap agar kejadian traumatis tersebut tidak pernah terulang lagi.

 

Penulis: Resla

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya