Liputan6.com, Jakarta - Fenomena astronomi yang dikenal sebagai bintang jatuh atau hujan meteor sebenarnya merupakan peristiwa yang terjadi saat batu luar angkasa kecil, yang disebut meteorit, memasuki atmosfer bumi. Ketika meteorit ini memasuki atmosfer, sebagian besar akan terbakar akibat gesekan dengan udara, sehingga tampak menyala terang di langit malam.
Meteor merupakan asteroid kecil dan anggota terkecil dari tata surya, memiliki ukuran yang bervariasi. Beberapa meteorit dapat memiliki lebar hingga 1 meter, sementara yang lain hanya sebesar mikrometer atau bahkan seukuran butiran debu.
Meteorit pada dasarnya merupakan pecahan asteroid atau komet yang terlepas saat benda-benda langit tersebut mengalami tabrakan atau fragmentasi. Namun, ada juga meteorit yang berasal dari puing-puing yang terlempar akibat aktivitas di permukaan planet atau satelit alami, seperti bulan.
Baca Juga
Advertisement
Bahkan, tercatat ada sekitar 300 jenis meteorit yang diketahui berasal dari planet Mars. Hal ini menunjukkan hubungan unik antara planet-planet dalam tata surya.
Ketika meteorit memasuki atmosfer bumi, gesekan yang terjadi menyebabkan peningkatan suhu yang sangat tinggi sehingga meteorit terbakar. Proses ini menciptakan garis-garis cahaya yang bergerak cepat melintasi langit, memberikan pemandangan yang menakjubkan bagi siapa saja yang melihatnya.
Melansir laman Live Science pada Rabu (25/12/2024), seorang astronom bernama Gonzalo Tancredi dari University of the Republic di Montevideo, Uruguay, telah menganalisis data terkait meteorit yang jatuh ke bumi untuk memperkirakan seberapa sering fenomena ini terjadi. Dalam penelitian yang menggunakan data dari Meteoritical Society selama periode 2007 hingga 2018, Gonzalo menemukan 95 laporan meteorit yang berhasil diidentifikasi.
Hal ini menunjukkan rata-rata sekitar 7,9 laporan meteorit jatuh per tahun. Namun, banyak meteorit yang jatuh ke lautan dan tenggelam tanpa terdeteksi, sehingga tidak tercatat dalam statistik.
Untuk memperkirakan jumlah meteorit yang sebenarnya jatuh ke bumi, Gonzalo mengembangkan metode yang mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk luas daratan yang dihuni manusia.
Berdasarkan data populasi global, sekitar 55 persen populasi dunia tinggal di daerah perkotaan, sementara hanya 0,44 persen dari lahan global adalah wilayah perkotaan yang tidak berpenghuni.
Dengan membandingkan jumlah meteorit yang dilaporkan di daerah perkotaan dengan distribusi wilayah permukaan bumi, Gonzalo memperkirakan bahwa sekitar 6.100 meteorit jatuh ke Bumi setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, sekitar 1.800 meteorit jatuh di daratan, sementara sisanya jatuh di lautan atau wilayah yang tidak terjangkau oleh manusia.
Selain itu, Gonzalo juga memberikan pandangan tentang risiko batuan luar angkasa besar yang berpotensi menabrak bumi di masa depan. Meteorit besar memiliki dampak yang jauh lebih signifikan dibandingkan meteorit kecil.
Jika meteorit besar ini mencapai permukaan Bumi, dampaknya bisa berupa ledakan besar, kerusakan struktural, atau bahkan perubahan iklim sementara akibat debu dan partikel yang terlempar ke atmosfer. Oleh karena itu, para ilmuwan terus memantau dan mempelajari objek-objek langit ini untuk mengantisipasi kemungkinan tabrakan dengan bumi.
(Tifani)