Gus Baha Serukan Penguatan Kembali Tradisi Keilmuan di Lingkungan NU

Fenomena pengajian umum yang semakin marak belakangan ini telah menggeser posisi ulama sebagai pemimpin spiritual.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 27 Des 2024, 18:00 WIB
KH. Ahmad Bahauddin / Gus Baha (Instagram)

Liputan6.com, Yogyakarta - Kekhawatiran akan memudarnya tradisi keilmuan mendalam di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) menjadi sorotan KH Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha. Mengutip dari berbagai sumber, pengasuh Pondok Pesantren Narukan Rembang ini mengamati adanya pergeseran fokus dari pengajian kitab mendalam menjadi pengajian umum yang lebih mengutamakan hiburan dan jumlah massa.

Fenomena pengajian umum yang semakin marak belakangan ini telah menggeser posisi ulama sebagai pemimpin spiritual. Para kiai kini kerap dihadapkan pada tuntutan mengikuti keinginan penyandang dana, yang lebih mementingkan kemeriahan acara dibanding substansi keilmuan.

Bahauddin Nursalim menyoroti berkurangnya minat untuk mempelajari dan merawat naskah-naskah peninggalan para pendiri pesantren. Banyak manuskrip berharga karya ulama NU justru tersimpan di luar negeri.

Sementara itu, para pewaris di tanah air malah tidak memilikinya. Kondisi ini mencerminkan melemahnya tradisi penelaahan atas warisan intelektual para pendahulu.

Pergeseran ini juga berdampak pada kualitas dakwah yang disampaikan. Beberapa kiai terjebak dalam rutinitas ceramah yang padat tanpa memiliki waktu untuk memperdalam ilmu.

Akibatnya, materi yang disampaikan cenderung dangkal dan berulang, sekadar mengejar aspek hiburan semata. Sebagai upaya mengembalikan tradisi keilmuan, dia mendorong pesantren untuk kembali mengedepankan pengajian kitab.

Di berbagai kesempatan, seperti saat mengunjungi Pesantren Lirboyo, dia menekankan pentingnya membentuk majelis-majelis kecil. Dengan dibentuknya itu, Bahauddin berharap agar niat serius dalam mengkaji ilmu agama dibanding mengejar kuantitas santri.

Peran NU sebagai lembaga yang melahirkan ulama allamah (sangat alim) terancam memudar jika kondisi ini terus berlanjut. Padahal, di masa lalu, para pendiri NU dikenal memiliki penguasaan bahasa Arab yang sangat baik, terbukti dari korespondensi antar ulama yang sepenuhnya menggunakan bahasa Arab.

Bahauddin juga mengingatkan bahwa permasalahan ini memerlukan perhatian serius mengingat posisi NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia yang selama ini dikenal dengan tradisi keilmuannya. Tanpa upaya sistematis untuk mengembalikan fokus pada pengajian kitab kuning dan penelaahan naskah-naskah klasik, dikhawatirkan akan terjadi kemunduran dalam kualitas keilmuan para ulama NU di masa mendatang.

 

Penuis: Ade Yofi Faidzun

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya