Natal 2024: Warga Inggris Kenang Kepergian Anggota Keluarga yang Meninggal Akibat COVID-19

Warga Inggris mendatangi tepi sungai Thames untuk mengenang anggota keluarga yang meninggal akibat COVID-19.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 25 Des 2024, 21:31 WIB
Pemandangan pohon Natal Trafalgar Square usai upacara penyalaan tahunan di London, Kamis, 7 Desember 2023. (AP Photo/David Cliff)

Liputan6.com, London - Di hari Natal, banyak keluarga yang tinggal di Inggris menggantungkan lampu dan pesan di sebuah tembok yang dibangun di kota London.

Hal ini mereka lakukan sebagai simbol untuk mengenang orang terkasih yang meninggal dunia karena COVID-19.

Dikutip dari laman Japan Today, Kamis (26/12/2024) ada sekitar 240.000 orang yang meninggal karena COVID-19 di Inggris.

Menjelang peringatan lima tahun pandemi global, emosi masih terasa di seluruh Inggris di tengah tuduhan yang terus berlanjut bahwa pemerintah saat itu menanggapi krisis terlalu lambat.

Tembok ini terletak di tepi Sungai Thames, di seberang gedung parlemen Inggris.

Setiap pesan di sepanjang dinding berukuran panjang 500 meter itu mewakili salah satu korban penyakit di Inggris.

"Kami memasang lampu ini pada perayaan Natal, sebagai cara untuk merenungkan dan mengingat orang-orang yang tidak bersama kami," kata Kirsten Hackman (58) yang ibunya meninggal karena COVID pada Mei 2020.

"Bagi banyak dari kami, ada tempat kosong di meja makan pada Natal ini," tambahnya.

Dinding itu adalah "sesi terapi", kata para relawan.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, sejak 2019 lebih dari tujuh juta orang dilaporkan meninggal karena COVID di seluruh dunia. Namun, jumlah korban sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi.

Ribuan pesan yang ditulis pada hati di dinding itu mengungkap kedalaman beban emosional dan luka yang ditinggalkan oleh pandemi pada kehidupan di Inggris.

"Mamy, love you forever," tulis salah satu pesan, sementara yang lain berkata: "Phil, always in my heart".

Dinding peringatan itu awalnya dimaksudkan untuk sementara, dan dibangun tanpa izin pada Maret 2021 sebagai protes terhadap penanganan pandemi oleh Perdana Menteri Boris Johnson saat itu.

Ia menghadapi tuduhan terlalu lambat mengenali ancaman COVID-19 dan kemudian terlalu lama mengunci negara untuk mencoba mencegah penyebaran penyakit yang sangat menular itu.

Dinding itu adalah "curahan cinta, kemarahan, amarah," kata Lorelei King yang suaminya meninggal karena COVID pada Maret 2020.

 


Keluarga Korban: Rasa Sakit Masih Sama

Seorang wanita melintas di depan asrama mahasiswa Universitas Metropolitan Manchester, Manchester, Inggris, 29 September 2020. Menurut surat kabar The Guardian, wabah COVID-19 telah dilaporkan di sedikitnya 50 kampus di seluruh Inggris. (Xinhua/Jon Super)

Hampir lima tahun setelah dimulainya pandemi, rasa sakitnya tetap sama, kata King, seraya menambahkan bahwa dia adalah salah satu dari banyak orang yang tidak dapat berduka dengan benar.

"Kami tidak dapat mengadakan pemakaman yang sebenarnya," karena aturan karantina wilayah, jelasnya, mengacu pada pembatasan ketat yang diberlakukan untuk mengunjungi orang-orang terkasih di saat-saat terakhir mereka, dan kemudian mengadakan pertemuan besar untuk meratapi kehilangan mereka.

Sebaliknya, dia memfokuskan energinya pada tembok itu. "Itu menghibur saya. Dan saya tidak ingin orang-orang yang kita sayangi dilupakan," kata King.

Infografis Waspada Mutasi Covid-19 Kombinasi Varian Inggris-India. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya