5 Sejarah Dunia yang Masih Jadi Perdebatan

Napoleon Bonaparte pernah berkata bahwa sejarah adalah versi masa lalu yang disepakati orang sekarang. Akan tetapi banyak versi sejarah yang kita terima ternyata tidak akurat. Mengutip dari berbagai sumber, berikut lima sejarah dunia yang masih jadi perdebatan

oleh Switzy Sabandar diperbarui 28 Des 2024, 15:00 WIB
Ilustrasi benua Amerika, peta, globe. (Photo by Isabela Kronemberger on Unsplash)

Liputan6.com, Yogyakarta - Apa yang sebenarnya terjadi ketika bangsa Viking pertama kali menginjakkan kaki di Amerika Utara? Apakah para pekerja piramida benar-benar budak? Mari kita telusuri kebenaran di balik 5 mitos sejarah yang paling populer dan mengubah cara Anda memandang masa lalu.

Napoleon Bonaparte pernah berkata bahwa sejarah adalah versi masa lalu yang disepakati orang sekarang. Akan tetapi banyak versi sejarah yang kita terima ternyata tidak akurat. Mengutip dari berbagai sumber, berikut lima sejarah dunia yang masih jadi perdebatan:

1. Columbus Menemukan Amerika

Penemuan arkeologis di L'Anse aux Meadows, Newfoundland, Kanada, telah mengubah pemahaman kita tentang sejarah penemuan benua Amerika. Situs yang ditemukan pada tahun 1960 ini memberikan bukti konkret bahwa bangsa Viking telah mencapai Amerika Utara hampir 500 tahun sebelum pelayaran Christopher Columbus.

Para arkeolog menemukan bahwa penduduk asli Amerika telah mendiami benua tersebut selama ribuan tahun, jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Peradaban mereka berkembang dengan kompleksitas dan keunikannya sendiri, membangun kota-kota, mengembangkan sistem pertanian, dan menciptakan jejaring perdagangan yang luas.

Bangsa Viking, di bawah kepemimpinan Leif Erikson, tiba di Amerika Utara sekitar tahun 1000 Masehi. Mereka mendirikan pemukiman di L'Anse aux Meadows, yang kini menjadi situs bersejarah di provinsi Newfoundland dan Labrador, Kanada.

2. Bumi Datar

Pemahaman bahwa Bumi berbentuk bulat ternyata memiliki sejarah yang jauh lebih tua dari yang banyak orang ketahui. Para ilmuwan Yunani kuno telah mengemukakan teori ini berabad-abad sebelum era modern, berdasarkan pengamatan ilmiah yang cermat.

Pythagoras, matematikawan Yunani yang hidup pada abad ke-6 SM, adalah salah satu ilmuwan pertama yang menyatakan Bumi berbentuk bulat. Teorinya kemudian diperkuat oleh Aristoteles pada abad ke-4 SM melalui pengamatan sistematis terhadap fenomena gerhana bulan.

Aristoteles mengamati bahwa bayangan Bumi yang jatuh di permukaan Bulan saat gerhana selalu berbentuk lingkaran. Ia menyadari bahwa hanya benda berbentuk bola yang akan selalu menghasilkan bayangan lingkaran, tidak peduli dari sudut mana cahaya menyinarinya.

Pemahaman ini semakin berkembang pada masa Ptolemaeus di abad ke-2 Masehi. Ptolemaeus, seorang astronom, matematikawan, dan ahli geografi dari Alexandria, Mesir, menciptakan peta-peta dunia yang menggambarkan Bumi sebagai bola. Peta-peta ini menjadi rujukan standar selama berabad-abad di era pertengahan.

Karya Ptolemaeus yang paling terkenal, Geographia, tidak hanya menggambarkan Bumi sebagai bola tetapi juga mencakup sistem koordinat dengan garis lintang dan bujur yang mirip dengan yang kita gunakan saat ini. Meskipun perhitungannya tidak seakurat pengukuran modern, prinsip-prinsip dasarnya tetap relevan.

Para ilmuwan Yunani kuno bahkan berhasil menghitung keliling Bumi dengan tingkat akurasi yang mengagumkan. Eratosthenes, pada abad ke-3 SM, menggunakan pengukuran bayangan di dua kota berbeda untuk menghitung keliling Bumi, menghasilkan estimasi yang hanya berbeda sekitar 15% dari nilai yang kita ketahui saat ini.

3. Piramida Dibangun oleh Budak

Penemuan pemakaman pekerja di dekat Piramida Giza telah mengubah pemahaman kita tentang siapa yang membangun monumen ikonik ini. Berbeda dengan gambaran populer tentang budak yang tersiksa, bukti arkeologis menunjukkan bahwa para pembangun piramida adalah pekerja terampil yang mendapat perlakuan baik.

Penemuan arkeologi terbaru mengungkapkan fakta menarik tentang kehidupan para pekerja yang membangun piramida-piramida megah di Mesir Kuno. Berbeda dengan anggapan sebelumnya yang sering menggambarkan mereka sebagai budak yang dipaksa bekerja keras dalam kondisi yang sangat buruk, bukti-bukti menunjukkan bahwa para pekerja ini ternyata mendapat perlakuan yang jauh lebih baik.

Mereka menikmati makanan bergizi yang mencakup daging, memiliki tempat tinggal yang layak untuk ukuran zaman itu, serta mendapatkan perawatan medis ketika mengalami cedera akibat pekerjaan. Bahkan, setelah meninggal dunia, mereka dimakamkan dengan hormat di dekat piramida yang mereka bangun, menunjukkan penghargaan yang tinggi atas kontribusi mereka.

 


Helm Bertanduk Viking

4. Helm Bertanduk Viking

Salah satu gambaran paling keliru tentang prajurit Viking adalah helm bertanduk mereka. Faktanya, tidak ada bukti arkeologis yang mendukung desain ini. Helm bertanduk yang populer sebenarnya adalah kreasi abad ke-19 untuk opera Richard Wagner berjudul Der Ring des Nibelungen.

Berbeda dengan gambaran populer yang sering kita lihat di film atau buku, helm Viking asli ternyata memiliki desain yang jauh lebih sederhana dan fungsional. Fokus utama para pembuat helm Viking adalah menciptakan perlengkapan tempur yang efektif di medan perang.

Oleh karena itu, helm Viking asli cenderung tidak memiliki ornamen-ornamen yang tidak praktis seperti tanduk, yang lebih sering kita lihat dalam karya fiksi. Desainnya yang minimalis memungkinkan para pemakainya memiliki mobilitas dan visibilitas yang baik saat bertempur.

5. Cleopatra Orang Mesir Asli

Meski sering digambarkan sebagai ratu Mesir asli, Cleopatra sebenarnya berasal dari dinasti Ptolemaik yang merupakan keturunan Yunani Makedonia. Dinasti ini berkuasa di Mesir setelah penaklukan Alexander Agung.

Meskipun memerintah Mesir, Cleopatra sebenarnya berasal dari keluarga Yunani Makedonia. Bahasa utama yang digunakan di kalangan bangsawan Ptolemaik adalah bahasa Yunani, yang mencerminkan akar budaya mereka.

Akan tetapi, Cleopatra menonjol sebagai salah satu dari sedikit penguasa Ptolemaik yang berusaha untuk mempelajari bahasa Mesir. Keputusan untuk mempelajari bahasa lokal ini menunjukkan keinginan Cleopatra untuk lebih dekat dengan rakyatnya dan memahami budaya Mesir secara mendalam. Dengan menguasai bahasa Mesir, Cleopatra berhasil membangun hubungan yang lebih kuat dengan rakyatnya.

 

Penulis: Ade Yofi Faidzun

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya