Liputan6.com, Berlin - Kesuksesan sering kali adalah kombinasi antara kemampuan untuk mengenali peluang yang ada dan berani melangkah. Kisah Yoga Ariadi Tranggono, diaspora Indonesia yang menetap di Jerman, mungkin mewakili ungkapan tersebut.
Saat fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) marak terjadi, Yoga memutuskan mengambil peluang untuk melanjutkan kariernya di Nuremberg. Bersama istri dan anaknya, dia berangkat pada Januari 2001.
Advertisement
"Seiring dengan berkurangnya bisnis telekomunikasi di Indonesia di awal reformasi, mereka tenggelam dan suasananya sudah berbau PHK. Kebetulan, ada lowongan yang mencari pakar telekomunikasi untuk ditempatkan di Jerman. Saya melamar dan kebetulan saya mendapat kesempatan itu," ujar Yoga kepada Liputan6.com pada Senin (23/12/2024).
Yoga merasakan betul perbedaan besar antara lingkungan kerja di Indonesia dan Jerman, termasuk dalam hal mekanisme PHK.
"Jauh perbedaannya antara Indonesia dan Jerman. Saya sendiri pernah (menyaksikan langsung proses PHK) pada tahun '98 di Indonesia … Waktu itu, para karyawan datang jauh-jauh ke kawasan MM2100 Cibitung pakai bus. Saat kami sampai di ruangan, kami duduk di satu cubicle yang isinya empat orang," tutur Yoga.
Pada masa itu, setiap karyawan memiliki telepon di mejanya dan sudah menjadi kebiasaan untuk mengecek telepon di pagi hari. Namun, pada hari itu, beberapa rekan Yoga mendapati telepon mereka mati.
"Ternyata, hari itu, orang-orang yang teleponnya mati itu dipecat. Divisi HRD bilang ke mereka bahwa mereka dipecat dan kalau mereka tidak terima maka akan diurus di pengadilan dan uang pesangon bisa jadi tidak bisa didapatkan," terang Yoga.
"Hal yang terjadi saat itu di Indonesia tidak mungkin terjadi di Jerman. Itu cara yang sama sekali tidak elegan. Di sini, PHK itu ada proses diskusinya bersama dengan dewan pekerja yang didukung oleh serikat buruh. Ada demokrasi di perusahaan … terjadi diskusi intensif, tawar-menawar dan mencari solusi."
Menurut Yoga, PHK di Jerman mengurangi posisi terkait, bukan individunya. Berdasarkan pengalamannya, ketika terjadi akuisisi di tempat kerjanya, beberapa posisi menjadi redundan dan karyawan yang terancam dipecat diberi kesempatan untuk bernegosiasi agar dipindahtugaskan ke posisi lain di perusahaan yang sama.
Proses PHK di Jerman tidak dilakukan secara mendadak. Secara hukum, kata Yoga, perusahaan harus memberi tahu selambat-lambatnya tiga bulan sebelum PHK dilakukan. Namun, biasanya perusahaan memberi pemberitahuan jauh lebih awal, antara sembilan bulan hingga satu tahun.
Yoga sendiri bukannya tidak pernah mengalami PHK. Pada tahun 2017, perusahaan tempatnya bekerja mengalami akuisisi yang menyebabkan banyak PHK.
"Saya salah satu orang yang terkena PHK. Namun, saya tidak menerima di-PHK dan bagusnya di Jerman selalu ada ruang negosiasi antara pemberi kerja, serikat buruh, dan dewan pekerja. Jadi, PHK adalah persetujuan kedua belah pihak dan tidak bisa terjadi tiba-tiba … Akhirnya, saya mendapat posisi baru sebagai programmer di departemen lain sehingga saya terhindar dari PHK," ungkap Yoga, yang setelah kejadian itu melanjutkan studi S2 di bidang software engineering.
Sejak Maret 2023, Yoga bekerja di bidang cyber security.
Punya Cukup Waktu untuk Keluarga
Pengalaman nyaris di-PHK membuka mata Yoga terhadap sistem demokrasi dan politik dalam lingkungan kerja di Jerman.
"Kalau perusahaan mengalami kesulitan akan ada diskusinya bersama dewan pekerja. Dewan pekerja memiliki kursi-kursi yang diisi oleh kelompok dari serikat buruh dan kelompok independen, tapi biasanya kelompok serikat buruh yang menang dan menguasai mayoritas kursi dewan pekerja di perusahaan tersebut. Jadi, dewan pekerja biasanya merujuk kepada serikat buruh," jelas Yoga, menambahkan bahwa sistem seperti ini sering ditemui di Eropa Barat, seperti Jerman dan Prancis.
"Anggota serikat buruh Jerman ini kuat sekali, terutama di bidang metal dan industri yang beranggotakan sekitar tiga juta buruh di seluruh penjuru Jerman."
Serikat buruh, ungkap Yoga, memberikan dukungan kepada pekerja, termasuk advokasi. Walaupun tidak ada masalah genting, diskusi antara serikat buruh dan pemberi kerja dilaksanakan secara rutin.
"Setiap dua tahun terjadi negosiasi antara pemberi kerja dan serikat buruh untuk meninjau kembali upah buruh. Karena itu, terjalin hubungan baik antara pemberi kerja dan pekerja," kata pria usia 53 tahun itu.
Salah satu contoh hasil diskusi tersebut adalah pekerja Jerman sekarang mendapat cuti yang lebih banyak.
"Peraturan kementerian tenaga kerja menyatakan bahwa libur cuti secara legal itu cuma sekitar 20 hari. Namun, dengan negosiasi serikat buruh ini, pada umumnya, karyawan-karyawan Jerman punya cuti 30 hari," terang Yoga. "Dialektika antara pekerja dan pemberi kerja yang dijembatani oleh pemerintah berjalan dengan baik."
Hal lainnya yang turut disyukuri Yoga adalah lingkungan kerja di Jerman memberinya work-life balance.
"Kehidupan di sini lebih manusiawi untuk membesarkan anak karena ada work-life balance. Jam kerja itu 35 jam seminggu dan bisa dilakukan di rumah. Kalau pun ke kantor, tidak terjebak di kemacetan yang parah. Jadi, kesempatan bertemu keluarga juga banyak," tutur ayah dari dua anak ini.
Mempererat Persaudaraan dengan Budaya
Menjadi bagian dari diaspora Indonesia, Yoga mengamati bahwa orang Indonesia cenderung berkelompok, khususnya berdasarkan agama.
"Saya dan teman-teman melihat kalau masyarakat Indonesia di luar negeri ini cenderung berkelompok menurut agamanya masing-masing … Akhirnya, tidak saling kenal," beber Yoga.
"Untuk menjembatani itu, kita bentuk satu wadah dengan domain budaya, di mana kita bisa saling kenal … Jadi, selain ada kelompok-kelompok berdasarkan agama dan sekarang juga ada kelompok yang berdasarkan budaya," ungkap Yoga yang menjadi salah satu pendiri lembaga swadaya masyarakat Indonesischer Kulturverein Franken (IKF).
IKF, yang didirikan pada tahun 2009, menjadi wadah bagi komunitas diaspora Indonesia di wilayah Franken (Kota Nuremberg dan sekitarnya) untuk berkumpul dan melaksanakan berbagai kegiatan. IKF menyelenggarakan acara besar, seperti Hari Indonesia, setiap tahunnya dan karena para anggota sudah saling mengenal dengan baik, pengorganisasian acara-acara menjadi lebih efisien dan tidak memakan waktu lama.
Selain menyelenggarakan acara-acara budaya, perhimpunan ini juga memiliki grup angklung yang sudah berdiri sejak 2011. Yoga yang hobi bermusik dan bisa memainkan bass, gitar, dan keyboard menjadi bagian dari band pengiring grup angklung.
"Karena grup kami satu-satunya di Kota Nuremberg, kami beberapa kali diundang oleh pemerintah Kota Nuremberg dan kota-kota dekat lainnya. Kami juga pernah berkolaborasi dengan klub tari hip-hop di salah satu festival seni yang diselenggarakan pemerintah kota," terang Yoga.
"Pemerintah Jerman ingin mempromosikan bahwa Jerman itu komunitas multikultur. Jadi, mereka menyelenggarakan festival-festival multibudaya seperti ini."
Advertisement
Mimpi Sejak SMA
Ternyata, berkuliah di Jerman adalah mimpi Yoga saat masih duduk di bangku SMA. Dia pernah mendaftar program beasiswa dengan harapan bisa mengenyam pendidikan di sana.
"Saat lulus SMA saya mendaftar program yang diinisiasi oleh mantan presiden almarhum Habibie untuk mengirimkan para lulusan SMA untuk kuliah S1 di berbagai negara maju," kisah Yoga.
"Saya sebenarnya berhasil mendapatkan beasiswanya. Namun, karena saat itu dana bantuannya dari Jepang, jadi 50 persen siswa yang lulus ujian kebanyakan dikirim ke Jepang. Saya juga rencananya akan dikirimkan ke Jepang. Karena berniat kuliah di Jerman, saya akhirnya mundur."
Yoga kemudian menempuh S1 di Institut Teknologi Bandung. Bagaimanapun, mimpinya untuk ke Jerman masih membara. Karena itu, Yoga menyempatkan diri kursus bahasa Jerman di tengah kuliahnya.
"Saya waktu di Bandung, menggunakan waktu luang untuk mengikuti kursus bahasa Jerman seminggu dua kali selama lima tahun. Jadi, Jerman sudah menjadi satu destinasi saya juga dan kebetulan kesempatannya juga datang," ungkap Yoga.
Yoga tidak menyesal dengan keputusannya mencoba peruntungan di Jerman.
"Saya tidak pikir panjang (soal pindah ke Jerman) karena pendapatan saya jauh meningkat. Kedua, Jerman itu negara modern yang mendukung teknologi tinggi … saya pindah tanpa pikir panjang banget," imbuhnya.