Menanti Langkah Konkret Presiden Prabowo Berantas Korupsi

Pidato dan kebijakan Prabowo perlu dibarengi dengan tindakan nyata.

oleh Tim News diperbarui 28 Des 2024, 14:53 WIB
Presiden Prabowo Subianto. (Foto: Dok. Instagram @prabowo)

Liputan6.com, Jakarta - Komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam memberantas korupsi di era kepemimpinannya patut dinantikan. Apalagi, Prabowo dalam pidatonya baru-baru ini menyatakan para koruptor dapat dimaafkan asalkan mengembalikan hasil korupsi kepada negara.

Dalam analisisnya, pengamat hukum Pieter C Zulkifli menyebut pidato dan kebijakan Prabowo perlu dibarengi dengan tindakan nyata. Mengingat korupsi di Indonesia bukan lagi soal individu, melainkan masalah sistemik yang menuntut reformasi mendasar.

"Tanpa keberanian dan konsistensi dari seorang kepala negara, pemberantasan korupsi akan terus menjadi sekadar omong kosong," kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu, 28 Desember 2024.

Di sisi lain, mantan Ketua Komusi III DPR RI itu menilai pernyataan Prabowo yang ingin memaafkan koruptor dengan syarat mengembalikan uang korupsinya kepada negara merupakan bagian dari strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara (asset recovery) sesuai dengan prinsip dalam UN Convention Against Corruption (UNCAC).

Tak hanya itu, Pieter Zulkifli menyinggung pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, yang mendukung gagasan tersebut dengan menyebutnya sebagai pendekatan restoratif. Penegakan hukum korupsi bahkan disebut harus membawa manfaat bagi ekonomi bangsa, bukan sekadar balas dendam.

Namun, Pieter Zulkifli mengakui sejauh ini langkah konkret Prabowo dalam pemberantasan korupsi masih dipertanyakan. Terlebih, dalam pidato pelantikannya dua bulan lalu, Prabowo mengakui adanya kebocoran anggaran negara, tetapi tindak lanjut atas komitmen tersebut belum terlihat nyata.

"Bahkan, komposisi kabinet yang ia bentuk turut menjadi bahan kritik. Beberapa nama di kabinetnya memiliki rekam jejak kasus korupsi, alih-alih pernah lolos dari jeratan hukum melalui celah pengadilan," kata dia.

Pieter Zulkifli menegaskan sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa peran Presiden sangat menentukan. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kata dia, kasus besar seperti skandal Bank Century tetap berjalan meskipun menyeret nama besannya, Aulia Pohan. 

"Pertanyaannya, apakah Prabowo akan membiarkan KPK melemah atau sebaliknya, dia akan menunjukkan komitmen nyata memperkuat Lembaga Antirasuah ini?" ucapnya.

Dia menyatakan korupsi di Indonesia sudah menjadi sistemik, melibatkan lingkaran kekuasaan, birokrasi, hingga hukum. Uang menjadi benang merah dalam perekrutan, promosi jabatan, hingga pengambilan kebijakan.

Hal ini juga yang menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Bahkan, hukum kerap tunduk pada kekuatan modal. Situasi ini menggambarkan betapa sulitnya memberantas korupsi tanpa reformasi menyeluruh. 

"Paralel dengan kondisi tersebut, masa depan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Hal ini tercermin dari penilaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang terus turun dan menjadi stagnan. Dalam survei terakhir Transparency International pada 2023, IPK Indonesia hanya berada di angka 34 dari skala 100," kata dia.

Pieter Zulkifli menuturkan skor IPK ini sama dengan skor pada 2014. Dia mencatat pelaku korupsi selama ini memiliki latar belakang politisi, baik dari unsur legislatif maupun eksekutif yang terdiri dari anggota DPR/DPRD, Menteri/Lembaga Negara, Gubernur, Walikota/Bupati sebesar 517 orang.

"Belum lagi para koruptor yang belum disentuh di kalangan sektor swasta. Kondisi ini memperjelas bahwa korupsi politik semakin subur di negeri ini," katanya.

Menurut Pieter Zulkfili, skeptis publik terhadap komitmen pemerintahan Prabowo dalam pemberantasan korupsi bukan tanpa alasan. Kabinet yang dipenuhi figur bermasalah serta absennya langkah tegas dalam dua bulan masa pemerintahan menjadi bukti awal bahwa retorika antikorupsi belum diterjemahkan ke dalam tindakan nyata.

"Bagaimanapun, pidato, dan kebijakan Prabowo perlu dibarengi dengan tindakan konkret," ujarnya.

Dia mengatakan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia ditentukan oleh sikap kekuasaan yang rendah hati, tegas, dan tidak pandang bulu dalam bertindak, serta tidak mengumbar janji.

"Sikap perilaku elite yang angkuh dan sombong, tidak mendengar aspirasi rakyat adalah awal dari gagalnya merumuskan sistem yang kuat untuk memberantas korupsi," katanya.

Pieter Zulkifli mengatakan sikap tegas kekuasaan terhadap koruptor akan mempercepat proses Indonesia menjadi negara maju. Sehingga, KPK dan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI harus mulai serius melakukan pengawasan terhadap sikap perilaku elite yang angkuh dan sombong dalam mendengar aspirasi rakyat. Sebab, patut diduga perilaku elite politik seperti itu memiliki kecenderungan korup.

 


Butuh Langkah Nyata

Dia berpandangan Prabowo memiliki kesempatan untuk mengubah narasi. Namun, tanpa keberanian dan konsistensi, pemberantasan korupsi akan terus menjadi sekadar omong kosong. Sebab, korupsi di Indonesia bukan hanya soal individu, melainkan masalah sistemik yang menuntut reformasi mendasar.

"Tanpa langkah nyata, lingkaran setan antara uang dan kekuasaan akan terus memengaruhi wajah politik Indonesia," katanya.

Pieter Zulkifli berharap Prabowo benar-benar memahami beratnya tanggung jawab seorang Kepala Negara. Jika tidak, kata dia. diprediksi dalam waktu kurang dari lima tahun, legitimasi kepemimpinannya bisa terancam oleh dinamika politik yang dibiarkan tumbuh liar.

"Indonesia butuh pemimpin yang berani, tegas, dan berpihak pada rakyat, bukan sekadar pidato di podium internasional," kata Pieter Zulkifli.

Infografis Prabowo Beri Kesempatan Koruptor Tobat. (Liputan6.com/Abdillah)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya