Liputan6.com, Jakarta Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini menunjukkan stabilitas. Pada kuartal terakhir, ekonomi tumbuh dengan laju yang sesuai dengan target pemerintah. Menurut data Kementerian Keuangan yang dirilis pada 31 Oktober 2024, inflasi berada pada level rendah 1,6% dan diperkirakan hanya naik sebesar 0,2% akibat penyesuaian tarif PPN.
Chief Economist Bank Permata, Josua Pardede menekankan bahwa dampak kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat tidak signifikan.
Advertisement
“Kenaikan harga akibat PPN cenderung tidak signifikan terhadap daya beli mayoritas masyarakat karena insentif pemerintah seperti subsidi bahan pokok, bantuan sosial (bansos), dan pengurangan pajak bagi UMKM tetap diberikan. Selain itu, inflasi inti diproyeksikan tetap rendah karena pengendalian harga bahan pangan dan barang strategis, serta kebijakan fiskal yang mendukung daya beli,” jelasnya.
Joshua menjelaskan kenaikan tarif PPN yang diterapkan pemerintah diharapkan tidak akan memicu lonjakan inflasi yang signifikan.
“Pemerintah diperkirakan akan dapat mengendalikan inflasi dalam target 1,5–3,5% di tahun 2025, mengingat beberapa faktor berikut: pertama, meski tarif PPN dinaikkan menjadi 12%, pemerintah telah merancang kebijakan kompensasi seperti PPN dibebaskan untuk barang/jasa kebutuhan pokok dan berbagai insentif untuk UMKM, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan properti. Selain itu, tren inflasi terkendali setelah kenaikan PPN 11% pada tahun sebelumnya menunjukkan kemampuan pemerintah dalam mitigasi dampak inflasi melalui kebijakan subsidi dan insentif,” kata Joshua.
Di sisi lain, Deputi Gubernur BI Aida S Budiman turut menegaskan bahwa penetapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% pada Januari 2025 tidak membawa dampak yang signifikan terhadap inflasi.
“Hitungannya, ini mengakibatkan sekitar penambahan inflasi 0,2%. Tetapi apakah ini besar? Jawabannya, tidak. Karena hasil perhitungan kami dari proyeksinya, sekitar sedikit di atas dari 2,5 plus minus 1% dari target inflasi kita di 2025,” kata Aida dikutip dari Antara..
Bank Indonesia juga menyoroti bahwa konsumsi masyarakat tetap menjadi penggerak utama ekonomi. Konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh sebesar 4,9% pada 2024, menunjukkan daya beli yang relatif kuat meski ada penyesuaian tarif.
Dampak Terhadap Inflasi
Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo menyebutkan dampaknya terhadap inflasi yang bersifat sementara.
"Pada tiga bulan pertama memang ada dampak, tetapi masih dapat diatasi karena ekonomi kita bergerak, tidak statis. Harapannya, dampak kenaikan PPN kali ini juga bersifat temporer dan dapat dikendalikan," ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan stabilitas harga di lapangan.
"Pemerintah memiliki kewenangan melakukan operasi pasar jika terjadi kenaikan harga-harga tertentu. Maka yang terpenting adalah memastikan harga-harga tersebut benar-benar terkendali," tambahnya.
Selain itu, kenaikan PPN ke 12% juga dinilai sebagai langkah pemerintah yang moderat, mengingat inflasi saat ini masih terkendali. Dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan ini pun diyakini hanya berlangsung dalam jangka waktu pendek, sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi ekonomi masyarakat.
Kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas harga pangan dan energi turut berkontribusi pada inflasi yang rendah. Langkah ini telah dirancang untuk memastikan kelompok masyarakat menengah ke bawah tetap terlindungi dari dampak kebijakan tersebut.
Josua menambahkan, "Pemerintah memberikan insentif signifikan dalam bentuk pembebasan PPN pada beberapa sektor penting seperti kesehatan, pendidikan, transportasi umum, dan UMKM. Kebijakan ini membantu mempertahankan daya beli masyarakat secara keseluruhan, meskipun terjadi kenaikan tarif PPN."
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemberian stimulus mengedepankan keberpihakan terhadap masyarakat. Keberpihakan itu dapat dilihat dari penetapan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat banyak seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum tetap dibebaskan dari PPN (PPN 0%).
Adapun barang yang seharusnya membayar PPN 12% antara lain tepung terigu, gula untuk industri, dan Minyak Kita (dulu minyak curah) beban kenaikan PPN sebesar 1% akan dibayar oleh Pemerintah (DTP). Sedangkan penyesuaian tarif PPN akan dikenakan bagi barang dan jasa yang dikategorikan mewah, seperti kelompok makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan berstandar internasional yang berbiaya mahal.
Selain itu, Pemerintah juga memberikan stimulus dalam bentuk berbagai bantuan perlindungan sosial untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah (bantuan pangan, diskon listrik 50%, dll), serta insentif perpajakan seperti, perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5% untuk UMKM; Insentif PPh 21 DTP untuk industri pada karya; serta berbagai insentif PPN dengan total alokasi mencapai Rp265,6 T untuk tahun 2025.
“Insentif perpajakan 2025, mayoritas adalah dinikmati oleh rumah tangga, serta mendorong dunia usaha dan UMKM dalam bentuk insentif perpajakan. Meskipun ada undang-undang perpajakan dan tarif pajak, namun pemerintah tetap peka untuk mendorong barang, jasa dan pelaku ekonomi,” tutur Menkeu Sri Mulyani.
(*)
Advertisement