PPN Naik ke 12%, Ekonom Jelaskan Pentingnya Insentif untuk Antisipasi Kenaikan Biaya Produksi

Dikutip dari Direktorat Jenderal Pajak, Pemerintah juga telah menyiapkan paket insentif ekonomi untuk kesejahteraan yang akan semakin melindungi kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Sektor Industri dan Padat Karya (PMK).

oleh Henny pada 28 Des 2024, 20:45 WIB
Ilustrasi biaya produksi. © (Ahsanjaya/pexels)

Liputan6.com, Jakarta Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% telah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Sebagian besar kekhawatiran mengarah pada dampaknya terhadap biaya produksi dan daya beli. Namun, apakah benar kenaikan ini semata-mata menjadi beban bagi sektor produksi? Atau justru memberikan manfaat jangka panjang bagi perekonomian Indonesia?

Secara umum, peningkatan PPN akan berdampak pada struktur biaya produksi, terutama bagi perusahaan yang menggunakan bahan baku dengan PPN 12%. Tetapi, pemerintah juga telah menyiapkan berbagai langkah mitigasi, seperti pengecualian pada sektor tertentu dan insentif bagi pelaku usaha kecil.

Dikutip dari Direktorat Jenderal Pajak, Pemerintah juga telah menyiapkan paket insentif ekonomi untuk kesejahteraan yang akan semakin melindungi kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Sektor Industri dan Padat Karya (PMK).

Stimulus untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) (perubahan PP 55 Tahun 2022) 

  • Masa berlaku bagi WP OP UMKM yang telah menggunakan tarif PPh Final 0,5% selama 7 tahun dan berakhir pada tahun 2024, diperpanjang untuk tahun 2025.
  • Bagi WP OP UMKM lainnya tetap dapat menggunakan PPh Final 0,5% selama 7 tahun sejak pertama kali terdaftar sesuai PP 55/2022.
  • UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun dibebaskan sepenuhnya dari kewajiban membayar PPh.

Dukungan untuk Sektor Industri dan Padat Karya (PMK)

  • Pekerja sektor padat karya dengan gaji hingga Rp10 juta per bulan akan mendapat insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP).
  • Bantuan 50% untuk Jaminan Kecelakaan Kerja sektor padat karya selama 6 (enam) bulan yang dibayar oleh BPJSTK.
  • Subsidi bunga 5% untuk pinjaman oleh perusahaan tekstil untuk revitalisasi mesin.

Insentif untuk Sektor Otomotif (PMK PPN DTP)

  • Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) mendapat berbagai insentif, termasuk PPN DTP 10% untuk KBLBB, PPnBM DTP 15% untuk KBLBB impor CBU dan CKD, serta bea masuk 0% untuk KBLBB CBU.
  • Kendaraan bermotor hybrid diberikan insentif berupa PPnBM DTP sebesar 3%.

"Sampai saat ini, pemerintah tidak berencana untuk menurunkan batasan omzet bagi pengusaha untuk menggunakan tarif PPh 0.5% maupun sebagai batasan untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP), dari Rp4,8 miliar per tahun menjadi Rp3,6 miliar per tahun," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti dalam keterangan tertulisnya.

Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ariyo Irhamna mengatakan kenaikan PPN menjadi 12% berpotensi memberikan dampak pada masyarakat kelas menengah dan bawah, terutama mereka yang mengonsumsi banyak barang dan jasa yang terkena PPN. Meski pemerintah telah menetapkan beberapa barang pokok dan jasa bebas PPN, dampak langsung terhadap masyarakat berpenghasilan rendah tetap akan terasa.

"Tantangan utama adalah bagaimana insentif yang diberikan oleh pemerintah dapat diimplementasikan dengan efektif sehingga harga barang tetap terjangkau bagi masyarakat. Di lapangan, pemerintah juga harus memastikan stok barang tersedia dengan harga yang stabil. Distribusi dan pengawasan menjadi hal penting, mengingat ada beberapa oknum distributor atau retailer yang memanfaatkan situasi dengan menahan stok untuk kemudian menjualnya dengan harga lebih tinggi," kata Ariyo kepada Liputan6.com, Selasa (24/12/2024)

Ariyo meminta pemerintah untuk mengawal kebijakan ini secara ketat agar tidak semakin memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah. Apalagi di tengah situasi ekonomi yang sulit, termasuk maraknya PHK di berbagai sektor usaha, yang membuat kenaikan PPN ini semakin dirasakan berat oleh masyarakat kecil. 

"Harus ada upaya ekstra dari pemerintah untuk memastikan kebijakan ini tidak memicu lonjakan harga yang tidak terkendali, sehingga masyarakat miskin tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka tanpa beban yang lebih besar," tutur Ariyo.


Kenapa Kenaikan PPN Diperlukan?

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan untuk meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam situs resmi Kementerian Keuangan menyatakan, kenaikan PPN 12 adalah langkah penting untuk memperkuat penerimaan negara dengan tetap memperhatikan asas keadilan.

“Pemerintah terus berupaya menjaga daya beli masyarakat dan menstimulasi perekonomian melalui berbagai paket kebijakan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan, salah satunya dari sisi perpajakan,” kata Sri Mulyani.

Selain itu, PPN di Indonesia khususnya untuk bahan baku industri tidak memiliki pengaruh yang signifikan dan masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara anggota OECD yang rata-rata menerapkan tarif di sekitar 19%. Dengan kenaikan ini, Indonesia tetap berada dalam kisaran tarif PPN terendah di ASEAN. Hal ini memberikan ruang fiskal yang lebih luas untuk menopang belanja negara tanpa terlalu membebani masyarakat.


Mitigasi untuk Pelaku Usaha

Pemerintah juga memberikan perhatian kepada pelaku usaha melalui berbagai insentif. Menurut Kemenkeu, UMKM yang omzetnya di bawah Rp500 juta per tahun tetap bebas dari PPN. 

Selain itu, insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) juga diberikan untuk beberapa jenis barang strategis seperti minyak goreng curah "Kita", tepung terigu, dan gula industri, agar tidak mempengaruhi harga barang tersebut.

Kenaikan PPN telah mendapat perhatian dari berbagai pengamat ekonomi. Salah satunya Chief Economist Bank Permata Josua Pardede yang menilai bahwa kebijakan ini merupakan langkah strategis yang perlu disertai asas keadilan untuk meminimalkan beban bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

“Kebijakan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% dianggap sebagai langkah yang strategis namun penuh tantangan. Langkah ini juga diiringi asas keadilan, di mana barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, dan transportasi umum tetap bebas PPN, sehingga beban masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dapat diminimalkan,” kata Joshua.

Selain itu, Joshua juga menjelaskan pemerintah telah menyusun langkah kompensasi untuk melindungi kelompok rentan. 

“Pemerintah juga sudah menyiapkan paket kebijakan untuk mengompensasi kelompok rentan seperti insentif untuk UMKM, penghapusan pajak bagi usaha kecil, dan keringanan pajak lainnya. Diskon listrik untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, serta bantuan pangan bagi rumah tangga miskin. Jadi, kenaikan PPN menjadi 12% kemungkinan besar tidak akan berdampak signifikan pada daya beli masyarakat secara keseluruhan, karena pertama, skema tarif progresif yang menargetkan barang dan jasa mewah. Kedua, upaya pemerintah dalam memberikan insentif dan subsidi yang mengimbangi dampak kenaikan PPN. Ketiga, tren inflasi yang tetap rendah berkat pengendalian harga dan langkah-langkah kebijakan lainnya,” tambahnya.

Meskipun kenaikan PPN 12% membawa tantangan, langkah ini juga memiliki tujuan jangka panjang yang lebih besar. Dengan peningkatan penerimaan pajak, pemerintah dapat mendanai program-program strategis yang mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

 

(*)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya