Bos Rental Tewas Ditembak Oknum, Pemegang Senjata Api Diminta Dievaluasi

Penembakan warga sipil oleh oknum-oknum polisi dan TNI makin banyak. Ahli hukum Prof Dr Henry Indraguna SH meminta evaluasi penguasaan senjata api.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 08 Jan 2025, 19:00 WIB
Penembakan Bos Rental di Rest Area Tol Tangerang-Merak, Ini Mobil yang Dibawa Kabur (ist)

Liputan6.com, Semarang - Penembakan bos rental mobil di rest area km 45 ruas tol Tangerang-Merak semakin menambah daftar panjang penyimpangan penggunaan senjata api oleh aparatur negara. Kali ini pelakunya adalah anggota TNI AL. Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna SH MH menilai fenomena yang terjadi belakangan ini, baik oleh oknum polisi maupun TNI menunjukkan lemahnya kontrol penggunaan senjata api. "Baik polisi maupun tentara kan sudah memiliki Standar Operating Procedure (SOP), jika ada yang menyimpang dipastikan melanggar SOP tersebut. Dan tentunya harus mendapatkan sanksi tegas," kata Henry.

Menurutnya, tugas pengawasan dari POM TNI maupun Propam Polri memang lebih berat karena yang diawasi adalah dari kalangan internal mereka sendiri. Ia percaya profesionalitas dua lembaga ini untuk menegakkan disiplin anggotanya.  "Terbukti di beberapa kejadian, mereka sigap, memeriksa, bahkan menghukum pelakunya. Tradisi memberi sanksi keras dan tegas ini mutlak perlu ditingkatkan agar menambah efek jera dan aparatur pemegang senjata api tak main-main," katanya.

Pemeriksaan psikologi pemegang senjata api itu, sebaiknya memang dievaluasi tiap satu sampai tiga bulan sekali. Memang merepotkan namun akan memberi rasa aman kepada masyarakat dan memberikan evaluasi super ketat kepada anggota. 


Beda Persepsi Kedaruratan

Ahli hukum Prof Dr Henry Indraguna SH MH. Foto: liputan6.com/edhie prayitno ige 

Sementara itu menanggapi aksi saling bantah antara Agam, anak korban dan Kapolsek Cinangka, AKP Asep Iwan Kurniawan tentang permintaan pengawalan atau pendampingan, Prof Henry menyebut ada kemungkinan terjadi salah paham. "Versi Kapolsek, anak korban saat meminta pendampingan mengaku sebagai leasing. Sementara anak korban tidak menjelaskan soal itu," katanya.

Sebaiknya  masyarakat yang membutuhkan bantuan polisi,  menyampaikan informasi secara benar dan akurat serta mengikuti saran petugas kepolisian, karena menurutnya jika sudah melapor artinya sudah percaya bahwa yang menerima laporan bisa membantu.

"Saya bisa memaklumi, karena untuk operasi di luar jadwal patroli dan sifatnya tak terencana pasti membutuhkan konsultasi ke pimpinan. Polisi juga perlu memetakan dan mempelajari latar belakang kasusnya secara detail agar tak salah dalam mengambil tindakan. Tapi saya juga memahami bahwa anak korban atau pelapor ingin agar polisi bertindak cepat mumpung pelakunya diketahui posisinya," katanya.

Perbedaan pemahaman kedaruratan secara sosiologis di masyarakat dan kedaruratan secara keamanan oleh polisi, menurutnya, akan menimbulkan polemik dan kesalahpahaman. "Sama seperti membawa pasien korban kecelakaan ke rumah sakit. Pasien dan keluarganya secara psikologis ingin segera mendapatkan kamar untuk perawatan lanjutan dan istirahat. Sementara tim medis ketika sudah memeriksa dan mengambil tindakan tentu tak bisa terus menerus mendampingi. Sementara perawat butuh waktu menyiapkan kamar jika ada yang kosong," kata Henry.

Perbedaan pemahaman kedaruratan itu rawan menjadi konflik jika ada yang menunggangi. Yang paling penting adalah monitoring kondisi psikologis pemegang senjata api itu. "Harus diakui secara jujur, siapapun orangnya saat memegang senjata api, pasti rasa percaya dirinya akan meningkat. Nah bahayanya jika ia kemudian sedang ada masalah yang tak berhubungan dengan tugasnya. Disinilah titik rawan penyalahgunaan senjata api milik aparat tersebut," katanya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya