Transformasi Pasar Kerja: Tantangan dan Peluang di Era Gig Economy

Gig economy memungkinkan pekerja untuk bekerja dari mana saja tanpa terikat kontrak permanen. Bahkan, banyak karyawan yang memilih resign dari pekerjaan utama untuk menjadi pekerja gig atau freelancer, terutama dengan semakin populernya konsep Work from Anywhere (WFA).

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 08 Jan 2025, 15:00 WIB
Gig economy adalah peluang besar untuk mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada bagaimana negara dan masyarakat beradaptasi dengan perubahan tersebut. ilustrasi Gig Economy. (Foto by AI)

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena gig economy dan pekerja gig (gig worker) semakin marak di Indonesia, seiring dengan perkembangan teknologi, tren kerja fleksibel, dan meningkatnya jumlah penduduk usia muda. Meski membawa peluang besar, tren ini juga memunculkan tantangan, terutama dalam hal perlindungan sosial bagi para pekerja lepas atau kontrak.

“Fenomena gig economy dan gig worker sebenarnya bukan hal yang harus kita hindari, karena masyarakat kita memang menuju ke arah perubahan tersebut,” ujar Pengamat Ekonomi Celios Nailul Huda kepada Liputan6.com, Rabu (8/1/2025).

Menurut Huda, tren ini telah muncul jauh sebelum Presiden Jokowi menyinggungnya atau sebelum disahkannya UU Cipta Kerja (Ciptaker).

Pola kerja gig economy memungkinkan pekerja untuk bekerja dari mana saja tanpa terikat kontrak permanen. Bahkan, banyak karyawan yang memilih resign dari pekerjaan utama untuk menjadi pekerja gig atau freelancer, terutama dengan semakin populernya konsep Work from Anywhere (WFA).

UU Ciptaker dan Nasib Pekerja Gig

Namun, UU Cipta Kerja dinilai memberikan dampak negatif terhadap pekerja gig. Kebijakan ini mendorong lebih banyak pekerjaan kontrak atau freelance, tetapi tidak disertai dengan perlindungan sosial yang memadai.

“UU Ciptaker memperburuk nasib pekerja gig karena tidak memberikan kepastian perlindungan sosial, seperti kesehatan, keselamatan kerja, atau jaminan hari tua. Hal ini menjadi masalah besar mengingat jumlah pekerja gig akan terus meningkat di masa depan,” jelas Huda.

Dia menambahkan, respons yang tepat terhadap fenomena ini bukanlah dengan kewaspadaan berlebihan, melainkan dengan adaptasi. Pemerintah, pekerja gig, dan platform digital perlu bekerja sama untuk menciptakan ekosistem kerja yang lebih adil dan berkelanjutan.

 


Perlindungan Sosial yang Dibutuhkan

ilustrasi Gig Economy. (Foto by AI)

Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mendukung pekerja gig meliputi jaminan kesehatan seperti penyediaan akses layanan kesehatan yang terjangkau bagi pekerja lepas.

Keselamatan kerja seperti standar keamanan untuk pekerjaan yang berisiko tinggi, termasuk asuransi kecelakaan. Jaminan hari tua seperti program tabungan atau pensiun bagi pekerja yang tidak memiliki kontrak tetap.

“Pemerintah perlu mengambil langkah nyata, seperti memperluas cakupan program perlindungan sosial yang mencakup pekerja gig dan freelance. Di sisi lain, platform digital yang memfasilitasi pekerjaan ini juga harus berkontribusi dalam memberikan dukungan bagi para pekerja,” tegas Huda.

 


Masa Depan Gig Economy

Seiring meningkatnya jumlah pekerja gig, Indonesia harus bersiap menghadapi perubahan besar dalam pasar kerja. Fenomena ini bukan hanya tentang fleksibilitas kerja, tetapi juga tentang menciptakan keseimbangan antara kebebasan bekerja dan perlindungan sosial.

“Ke depan, pekerja gig akan menjadi bagian penting dari ekonomi kita. Maka, penting untuk membangun sistem yang adil dan inklusif, di mana semua pihak baik pekerja, perusahaan, maupun pemerintah memiliki peran yang jelas,” pungkasnya.

Gig economy adalah peluang besar untuk mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada bagaimana negara dan masyarakat beradaptasi dengan perubahan tersebut.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya