Liputan6.com, Jakarta - Riya dan sum'ah merupakan dua sifat tercela yang sering dibahas dalam konteks keislaman, terutama terkait dengan niat dan amal ibadah. Meskipun keduanya memiliki kemiripan, terdapat perbedaan mendasar yang perlu dipahami.
Riya berasal dari kata Arab "ru'yah" yang berarti melihat. Secara istilah, riya didefinisikan sebagai melakukan suatu amal ibadah dengan tujuan agar dilihat dan dipuji oleh orang lain, bukan semata-mata karena Allah SWT. Seseorang yang melakukan riya cenderung memamerkan atau menampakkan amal ibadahnya agar mendapat pengakuan dan pujian dari manusia.
Advertisement
Sementara itu, sum'ah berasal dari kata "sami'a" yang artinya mendengar. Sum'ah merujuk pada perilaku seseorang yang membicarakan atau memberitahukan amal ibadah yang telah dilakukannya kepada orang lain, dengan harapan mendapat pujian atau pengakuan. Berbeda dengan riya yang berfokus pada tindakan memperlihatkan, sum'ah lebih menekankan pada aspek memperdengarkan atau menceritakan amal ibadah.
Kedua sifat ini sama-sama bertentangan dengan prinsip keikhlasan dalam beribadah. Islam mengajarkan bahwa setiap amal ibadah hendaknya dilakukan semata-mata karena Allah SWT, bukan untuk mendapatkan pujian atau pengakuan dari manusia. Baik riya maupun sum'ah dapat mengurangi atau bahkan menghapuskan pahala dari amal ibadah yang dilakukan.
Perbedaan Utama Riya dan Sum'ah
Meskipun riya dan sum'ah memiliki tujuan yang serupa yaitu mencari pujian atau pengakuan dari manusia, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara keduanya:
-
Cara Penyampaian:
- Riya: Lebih berfokus pada tindakan memperlihatkan atau memamerkan amal ibadah secara langsung.
- Sum'ah: Lebih menekankan pada aspek membicarakan atau memberitahukan amal ibadah yang telah dilakukan.
-
Waktu Terjadinya:
- Riya: Umumnya terjadi saat amal ibadah sedang dilakukan atau akan dilakukan.
- Sum'ah: Biasanya terjadi setelah amal ibadah selesai dilakukan.
-
Objek yang Dituju:
- Riya: Lebih menargetkan indera penglihatan orang lain.
- Sum'ah: Lebih menargetkan indera pendengaran orang lain.
-
Bentuk Ekspresi:
- Riya: Sering kali diekspresikan melalui gerakan tubuh, penampilan, atau tindakan yang dapat dilihat secara langsung.
- Sum'ah: Lebih sering diekspresikan melalui ucapan, cerita, atau pemberitahuan verbal.
-
Tingkat Kesadaran:
- Riya: Terkadang dilakukan secara sadar dan terencana.
- Sum'ah: Seringkali terjadi secara spontan atau tanpa disadari sepenuhnya.
Meskipun memiliki perbedaan, baik riya maupun sum'ah sama-sama dapat merusak keikhlasan dalam beribadah. Keduanya mencerminkan adanya keinginan untuk mendapatkan pengakuan atau pujian dari manusia, bukan semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Oleh karena itu, penting bagi setiap muslim untuk memahami perbedaan ini dan berusaha menghindari kedua sifat tersebut dalam menjalankan ibadah.
Advertisement
Dampak Negatif Riya dan Sum'ah
Riya dan sum'ah memiliki berbagai dampak negatif yang dapat mempengaruhi kehidupan spiritual, sosial, dan psikologis seseorang. Berikut ini adalah beberapa dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh kedua sifat tercela tersebut:
-
Mengurangi atau Menghapuskan Pahala Amal Ibadah
Dampak paling signifikan dari riya dan sum'ah adalah berkurangnya atau bahkan hilangnya pahala dari amal ibadah yang dilakukan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian." (QS. Al-Baqarah: 264)
-
Merusak Keikhlasan
Riya dan sum'ah bertentangan dengan prinsip keikhlasan dalam beribadah. Ketika seseorang melakukan ibadah dengan niat mendapatkan pujian atau pengakuan dari manusia, maka keikhlasannya menjadi rusak.
-
Menimbulkan Ketidakpuasan Batin
Orang yang terbiasa dengan riya dan sum'ah cenderung merasa tidak puas jika amal ibadahnya tidak mendapat pengakuan atau pujian dari orang lain. Hal ini dapat menimbulkan kekecewaan dan kegelisahan dalam diri.
-
Melemahkan Iman
Ketergantungan pada pujian dan pengakuan manusia dapat melemahkan iman seseorang. Fokus ibadah beralih dari mencari ridha Allah SWT menjadi mencari perhatian manusia.
-
Menimbulkan Sifat Munafik
Riya dan sum'ah dapat mendorong seseorang untuk bersikap munafik, di mana ia menampilkan diri sebagai orang yang saleh di depan umum, namun tidak demikian ketika sendirian.
-
Merusak Hubungan Sosial
Perilaku riya dan sum'ah dapat menimbulkan ketidaksukaan atau bahkan kebencian dari orang lain. Orang-orang cenderung tidak menyukai individu yang selalu memamerkan atau membicarakan amal ibadahnya.
-
Menghambat Pertumbuhan Spiritual
Fokus pada pujian manusia dapat menghambat pertumbuhan spiritual seseorang. Alih-alih berusaha meningkatkan kualitas ibadah dan hubungan dengan Allah SWT, seseorang justru terjebak dalam upaya mencari pengakuan dari manusia.
-
Menimbulkan Rasa Bersalah
Seiring waktu, pelaku riya dan sum'ah mungkin menyadari kesalahannya dan merasa bersalah. Hal ini dapat menimbulkan konflik batin dan menurunkan kepercayaan diri dalam beribadah.
-
Merusak Integritas Diri
Kebiasaan riya dan sum'ah dapat merusak integritas seseorang. Orang lain mungkin mulai meragukan ketulusan dan kejujuran dari setiap tindakan atau perkataan orang tersebut.
-
Menjauhkan dari Rahmat Allah
Riya dan sum'ah dapat menjadi penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan rahmat dan berkah dari Allah SWT. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:
"Aku adalah Yang Maha Cukup tidak memerlukan sekutu. Barangsiapa mengerjakan suatu amalan dengan menyekutukan Aku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya itu." (HR. Muslim)
Mengingat dampak negatif yang begitu besar, penting bagi setiap muslim untuk senantiasa menjaga niat dan keikhlasan dalam beribadah. Menghindari riya dan sum'ah bukan hanya akan meningkatkan kualitas ibadah, tetapi juga membawa ketenangan batin dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Contoh Riya dan Sum'ah dalam Kehidupan Sehari-hari
Untuk lebih memahami konsep riya dan sum'ah, berikut ini adalah beberapa contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari:
Contoh Riya:
-
Shalat
Seseorang dengan sengaja memperlama shalatnya atau melakukan gerakan yang berlebihan ketika ada orang lain yang melihat, namun ketika sendirian shalatnya cepat dan tidak sekhusyuk itu.
-
Sedekah
Memberikan sedekah dengan nominal besar di depan umum atau di media sosial, tetapi enggan bersedekah ketika tidak ada yang melihat atau mengetahui.
-
Penampilan
Mengenakan pakaian atau atribut keagamaan yang mencolok hanya ketika berada di lingkungan tertentu untuk mendapat pengakuan sebagai orang yang religius.
-
Membaca Al-Qur'an
Membaca Al-Qur'an dengan suara keras dan indah di tempat umum untuk mendapat pujian, namun jarang membacanya ketika sendirian.
-
Ibadah Haji/Umrah
Melakukan ibadah haji atau umrah dengan tujuan utama untuk mendapatkan gelar "haji" atau "hajjah" dan pengakuan sosial, bukan karena panggilan spiritual.
Contoh Sum'ah:
-
Menceritakan Amal
Seseorang yang selalu menceritakan kepada orang lain tentang ibadah malamnya, puasa sunnahnya, atau sedekah yang telah ia berikan.
-
Posting di Media Sosial
Memposting foto atau status di media sosial tentang kegiatan amal atau ibadah yang telah dilakukan, dengan harapan mendapat banyak "like" dan komentar pujian.
-
Menyebut-nyebut Bantuan
Sering menyebut-nyebut bantuan atau kebaikan yang telah diberikan kepada orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.
-
Membicarakan Prestasi Ibadah
Selalu membicarakan prestasi dalam hal ibadah, seperti berapa kali sudah khatam Al-Qur'an, berapa lama puasa, atau berapa banyak sedekah yang telah diberikan.
-
Menceritakan Pengalaman Spiritual
Sering menceritakan pengalaman spiritual atau mimpi-mimpi yang dianggap istimewa kepada orang lain untuk mendapat pengakuan sebagai orang yang dekat dengan Allah.
Penting untuk diingat bahwa tidak semua tindakan memperlihatkan atau membicarakan amal ibadah termasuk riya atau sum'ah. Niat dan konteks sangat menentukan. Misalnya, jika seseorang membagikan pengalaman ibadahnya dengan tujuan untuk menginspirasi atau mengajak orang lain berbuat baik, maka hal tersebut bisa jadi bukan termasuk riya atau sum'ah. Namun, tetap diperlukan kehati-hatian dan introspeksi diri untuk menjaga keikhlasan dalam beribadah.
Advertisement
Hukum Riya dan Sum'ah dalam Islam
Dalam ajaran Islam, riya dan sum'ah termasuk dalam kategori perbuatan yang sangat dilarang dan memiliki konsekuensi serius. Berikut ini adalah penjelasan mengenai hukum riya dan sum'ah dalam Islam:
1. Termasuk Syirik Kecil (Syirik Ashghar)
Riya dan sum'ah dikategorikan sebagai syirik kecil atau syirik ashghar. Meskipun tidak sampai mengeluarkan seseorang dari Islam seperti syirik besar, namun tetap merupakan dosa yang sangat berbahaya. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik kecil." Para sahabat bertanya, "Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Riya." (HR. Ahmad)
2. Menghapuskan Pahala Amal
Allah SWT dengan tegas menyatakan bahwa riya dapat menghapuskan pahala amal, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian." (QS. Al-Baqarah: 264)
3. Termasuk Sifat Orang Munafik
Riya dan sum'ah sering dikaitkan dengan sifat orang munafik. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (QS. An-Nisa: 142)
4. Mendapat Ancaman Keras
Rasulullah SAW memberikan peringatan keras terhadap pelaku riya dan sum'ah. Dalam sebuah hadits, beliau bersabda:
"Barangsiapa yang memperdengarkan (amalnya kepada orang lain), maka Allah akan memperdengarkan (aibnya). Dan barangsiapa yang beramal karena riya, maka Allah akan membuka (aibnya)." (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Dapat Berubah Menjadi Syirik Besar
Dalam beberapa kondisi, riya dan sum'ah dapat berubah menjadi syirik besar (syirik akbar) yang mengeluarkan seseorang dari Islam. Hal ini terjadi jika:
- Seseorang tidak pernah melakukan ibadah kecuali untuk dilihat manusia.
- Mayoritas amalannya didasari oleh riya atau sum'ah.
- Tujuan utama dalam beramal adalah semata-mata duniawi, tanpa sedikitpun mengharap ridha Allah.
6. Hukum Berbeda-beda Tergantung Kondisi
Para ulama menjelaskan bahwa hukum riya dan sum'ah dapat berbeda-beda tergantung pada kondisi dan tingkatannya:
- Haram: Jika riya menjadi tujuan utama dalam beramal.
- Makruh: Jika niat riya muncul di tengah-tengah amal, namun segera dihilangkan.
- Tidak Berdosa: Jika perasaan senang dipuji muncul setelah beramal tanpa diniatkan sebelumnya, asalkan tidak diikuti dengan sum'ah.
7. Kewajiban Bertaubat
Bagi siapa saja yang terlanjur melakukan riya atau sum'ah, wajib hukumnya untuk segera bertaubat kepada Allah SWT. Taubat dilakukan dengan menyesali perbuatan, bertekad untuk tidak mengulanginya, dan berusaha memperbaiki niat dalam beramal.
Mengingat beratnya hukum dan konsekuensi dari riya dan sum'ah, setiap muslim hendaknya senantiasa menjaga niat dan keikhlasan dalam beribadah. Introspeksi diri secara berkala dan memohon perlindungan Allah dari kedua sifat tercela ini menjadi sangat penting dalam upaya menjaga kemurnian ibadah.
Penyebab Munculnya Riya dan Sum'ah
Memahami penyebab munculnya riya dan sum'ah sangat penting untuk dapat menghindari dan mengatasinya. Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab timbulnya kedua sifat tercela tersebut:
-
Lemahnya Iman
Iman yang lemah membuat seseorang lebih mengutamakan penilaian manusia daripada penilaian Allah SWT. Ketika iman tidak kuat, seseorang cenderung mencari pengakuan dan pujian dari manusia sebagai bentuk validasi diri.
-
Cinta Dunia yang Berlebihan
Kecintaan yang berlebihan terhadap dunia, seperti harta, kedudukan, atau popularitas, dapat mendorong seseorang untuk melakukan riya dan sum'ah. Mereka berusaha mendapatkan pengakuan dan pujian melalui amal ibadah yang seharusnya dilakukan dengan ikhlas.
-
Kurangnya Pengetahuan Agama
Ketidakpahaman atau kurangnya pengetahuan tentang bahaya riya dan sum'ah serta pentingnya keikhlasan dalam beribadah dapat menyebabkan seseorang dengan mudah terjebak dalam kedua sifat ini.
-
Pengaruh Lingkungan
Lingkungan yang materialistis dan selalu menuntut pengakuan sosial dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan riya dan sum'ah. Tekanan untuk "terlihat baik" di mata masyarakat kadang mengalahkan niat yang tulus dalam beribadah.
-
Keinginan untuk Dihargai
Kebutuhan psikologis untuk dihargai dan diakui oleh orang lain terkadang mendorong seseorang untuk memamerkan atau menceritakan amal ibadahnya.
-
Rasa Bangga yang Berlebihan
Perasaan bangga yang berlebihan atas amal ibadah yang telah dilakukan dapat memunculkan keinginan untuk memperlihatkan atau memberitahukannya kepada orang lain.
-
Ketakutan akan Penilaian Negatif
Ketakutan dianggap tidak religius atau tidak saleh oleh masyarakat dapat mendorong seseorang untuk melakukan riya dan sum'ah sebagai bentuk "pembuktian diri".
-
Pengaruh Media Sosial
Era digital dan media sosial telah menciptakan budaya "pamer" yang dapat memicu riya dan sum'ah. Keinginan untuk mendapatkan "like" dan komentar positif sering kali mendorong orang untuk memposting aktivitas ibadah mereka.
-
Kurangnya Muhasabah (Introspeksi Diri)
Ketika seseorang jarang melakukan introspeksi diri, ia mungkin tidak menyadari bahwa tindakannya telah terjebak dalam riya atau sum'ah.
-
Persaingan dalam Kebaikan yang Tidak Sehat
Keinginan untuk terlihat lebih baik atau lebih saleh dari orang lain dapat mendorong seseorang untuk melakukan riya dan sum'ah.
-
Trauma atau Pengalaman Masa Lalu
Pengalaman negatif di masa lalu, seperti pernah dianggap tidak religius, dapat memicu seseorang untuk berlebihan dalam menunjukkan kesalehannya melalui riya dan sum'ah.
-
Kurangnya Kepercayaan Diri
Orang yang kurang percaya diri mungkin menggunakan riya dan sum'ah sebagai cara untuk meningkatkan citra diri mereka di mata orang lain.
Memahami penyebab-penyebab ini adalah langkah awal dalam mengatasi dan mencegah riya dan sum'ah. Dengan mengenali faktor-faktor pemicu, seseorang dapat lebih waspada dan mengambil langkah-langkah proaktif untuk menjaga keikhlasan dalam beribadah. Penting untuk selalu mengingatkan diri bahwa tujuan utama dari setiap ibadah adalah untuk mencari ridha Allah SWT, bukan pengakuan atau pujian dari manusia.
Advertisement
Cara Menghindari Riya dan Sum'ah
Menghindari riya dan sum'ah membutuhkan kesadaran dan upaya yang konsisten. Berikut ini adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghindari kedua sifat tercela tersebut:
-
Memperkuat Iman dan Tauhid
Fokus pada penguatan iman dan pemahaman tauhid. Sadari bahwa hanya Allah SWT yang layak disembah dan hanya kepada-Nya kita berharap balasan. Imam Al-Ghazali mengatakan, "Obat riya adalah tauhid."
-
Meluruskan Niat
Selalu periksa dan luruskan niat sebelum melakukan ibadah atau amal kebaikan. Niatkan semua perbuatan hanya untuk mencari ridha Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
-
Memperbanyak Amal Tersembunyi
Usahakan untuk memperbanyak amal yang tidak diketahui orang lain. Rasulullah SAW bersabda, "Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya," salah satunya adalah "seseorang yang bersedekah dengan tangan kanannya ia sembunyikan hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan tangan kanannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
-
Menghindari Pembicaraan tentang Amal Pribadi
Hindari membicarakan atau menceritakan amal ibadah yang telah dilakukan, kecuali jika ada kebutuhan yang mendesak atau untuk tujuan dakwah.
-
Belajar dari Teladan Salafus Salih
Pelajari dan teladani sikap para salafus salih (generasi terdahulu yang saleh) dalam menjaga keikhlasan. Mereka sering kali menyembunyikan amal kebaikan mereka.
-
Melakukan Muhasabah (Introspeksi Diri)
Lakukan evaluasi diri secara rutin. Periksa niat dan motivasi di balik setiap amal yang dilakukan. Umar bin Khattab ra. berkata, "Hisablah (evaluasi) diri kalian sebelum kalian dihisab."
-
Memohon Perlindungan Allah dari Riya dan Sum'ah
Perbanyak doa memohon perlindungan Allah dari riya dan sum'ah. Rasulullah SAW mengajarkan doa: "Allahumma innaa na'uudzu bika an nusyrika bika syai-an na'lamuhu, wa nastaghfiruka limaa laa na'lamu" (Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang kami ketahui, dan kami memohon ampunan-Mu dari apa yang tidak kami ketahui).
-
Menyadari Kefanaan Dunia
Renungkan bahwa pujian dan pengakuan manusia hanyalah sementara. Fokus pada kehidupan akhirat yang kekal. Allah SWT berfirman: "Katakanlah: 'Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.'" (QS. An-Nisa: 77)
-
Meningkatkan Ilmu Agama
Pelajari lebih dalam tentang konsep ikhlas, riya, dan sum'ah dalam Islam. Pemahaman yang baik akan membantu dalam menghindari kedua sifat tersebut.
-
Menjaga Lingkungan yang Positif
Bergaullah dengan orang-orang yang saleh dan memiliki pemahaman yang baik tentang keikhlasan. Lingkungan yang baik akan membantu menjaga diri dari riya dan sum'ah.
-
Berhati-hati dalam Penggunaan Media Sosial
Jika memposting tentang ibadah atau amal kebaikan di media sosial, pastikan niatnya adalah untuk dakwah atau memberi manfaat, bukan untuk pamer.
-
Fok us pada Proses, Bukan Hasil
Dalam beramal, fokuskan perhatian pada proses dan upaya untuk melakukan yang terbaik, bukan pada hasil atau pengakuan yang mungkin didapat. Allah SWT berfirman: "Dan katakanlah: 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.'" (QS. At-Taubah: 105)
-
Menghargai Privasi dalam Beribadah
Hormati privasi orang lain dalam beribadah dan jaga privasi ibadah diri sendiri. Tidak semua hal perlu diketahui atau diceritakan kepada orang lain.
-
Bersyukur atas Kesempatan Beribadah
Fokus pada rasa syukur atas kesempatan yang diberikan Allah untuk beribadah, bukan pada keinginan untuk dipuji atas ibadah tersebut.
Menghindari riya dan sum'ah adalah proses yang berkelanjutan dan membutuhkan kesabaran serta konsistensi. Setiap muslim hendaknya selalu berusaha untuk meningkatkan keikhlasan dalam beribadah dan senantiasa memohon pertolongan Allah SWT dalam menjaga kemurnian niat.
Pentingnya Ikhlas dalam Beribadah
Ikhlas merupakan inti dari setiap ibadah dalam Islam. Tanpa keikhlasan, amal ibadah bisa menjadi sia-sia dan tidak bernilai di sisi Allah SWT. Berikut ini adalah penjelasan mengenai pentingnya ikhlas dalam beribadah:
1. Definisi Ikhlas
Ikhlas secara bahasa berarti murni, bersih, atau tidak tercampur. Dalam konteks ibadah, ikhlas berarti melakukan suatu amal semata-mata karena Allah SWT, tanpa mengharapkan imbalan atau pujian dari manusia. Imam Al-Ghazali mendefinisikan ikhlas sebagai "pemurnian tujuan dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT dari segala noda (campuran tujuan lain)".
2. Ikhlas sebagai Syarat Diterimanya Amal
Allah SWT menjadikan keikhlasan sebagai salah satu syarat diterimanya amal ibadah. Firman-Nya dalam Al-Qur'an:
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. Al-Bayyinah: 5)
3. Ikhlas Meningkatkan Kualitas Ibadah
Ibadah yang dilakukan dengan ikhlas akan memiliki kualitas yang lebih tinggi. Seseorang yang ikhlas akan berusaha melakukan yang terbaik dalam ibadahnya, bukan untuk mendapat pujian manusia, tetapi untuk mencari ridha Allah SWT.
4. Ikhlas Membawa Ketenangan Hati
Ketika seseorang ikhlas dalam beribadah, ia akan merasakan ketenangan dan kepuasan batin. Ia tidak akan merasa kecewa jika amalnya tidak diketahui atau dihargai oleh orang lain, karena tujuan utamanya adalah Allah SWT.
5. Ikhlas Melindungi dari Riya dan Sum'ah
Keikhlasan menjadi benteng yang kuat dalam melindungi seseorang dari riya dan sum'ah. Orang yang ikhlas tidak akan tergoda untuk memamerkan atau menceritakan amal ibadahnya kepada orang lain.
6. Ikhlas Mendatangkan Pertolongan Allah
Allah SWT akan memberikan pertolongan dan kemudahan kepada orang-orang yang ikhlas. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman: "Ikhlas adalah salah satu rahasiaku yang Aku titipkan ke dalam hati hamba-hamba-Ku yang Aku cintai." (HR. Ad-Dailami)
7. Ikhlas Melipatgandakan Pahala
Amal yang dilakukan dengan ikhlas berpotensi mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Allah SWT berfirman: "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji." (QS. Al-Baqarah: 261)
8. Ikhlas Memudahkan Istiqamah
Keikhlasan membantu seseorang untuk istiqamah (konsisten) dalam beribadah. Ketika niat sudah murni karena Allah, seseorang akan lebih mudah untuk terus beribadah meskipun menghadapi berbagai tantangan.
9. Ikhlas Menjadi Kunci Keberhasilan Dakwah
Para da'i dan aktivis dakwah yang ikhlas akan lebih berpengaruh dan diterima oleh masyarakat. Keikhlasan mereka akan terpancar dalam setiap perkataan dan perbuatan, sehingga lebih mudah menyentuh hati orang-orang yang didakwahi.
10. Ikhlas Menjauhkan dari Sifat Munafik
Orang yang ikhlas akan terbebas dari sifat-sifat munafik. Ia tidak akan berpura-pura baik di hadapan manusia, karena tujuan utamanya adalah mendapatkan ridha Allah SWT.
11. Ikhlas Membebaskan dari Perbudakan Manusia
Keikhlasan membebaskan seseorang dari "perbudakan" terhadap penilaian dan pujian manusia. Ia akan merasa cukup dengan penilaian dan balasan dari Allah SWT.
12. Ikhlas Meningkatkan Fokus dalam Ibadah
Ketika seseorang ikhlas, ia akan lebih fokus dalam ibadahnya. Pikirannya tidak akan terganggu oleh keinginan untuk mendapatkan pengakuan atau pujian dari orang lain.
13. Ikhlas Membuka Pintu Keberkahan
Allah SWT akan memberikan keberkahan dalam kehidupan orang-orang yang ikhlas. Keberkahan ini bisa berupa ketenangan hati, kecukupan rezeki, atau kemudahan dalam urusan.
14. Ikhlas Meningkatkan Kualitas Hubungan dengan Allah
Keikhlasan akan memperdalam hubungan seorang hamba dengan Allah SWT. Ia akan merasakan kedekatan dan cinta yang lebih besar kepada Sang Pencipta.
15. Ikhlas Memurnikan Tujuan Hidup
Dengan ikhlas, seseorang akan memiliki tujuan hidup yang lebih jelas dan terarah, yaitu mencari ridha Allah SWT dalam setiap aspek kehidupannya.
Mengingat begitu pentingnya ikhlas dalam beribadah, setiap muslim hendaknya berusaha untuk selalu menjaga dan meningkatkan keikhlasan dalam setiap amal yang dilakukan. Ini bukan tugas yang mudah, tetapi dengan kesungguhan dan doa yang terus-menerus, insya Allah kita dapat mencapai tingkat keikhlasan yang tinggi dalam beribadah.
Advertisement
Tinjauan Psikologi tentang Riya dan Sum'ah
Meskipun riya dan sum'ah adalah konsep yang berakar pada ajaran Islam, fenomena ini juga dapat ditinjau dari perspektif psikologi. Berikut adalah beberapa aspek psikologis yang terkait dengan riya dan sum'ah:
1. Kebutuhan Akan Pengakuan Sosial
Dalam teori hierarki kebutuhan Maslow, kebutuhan akan penghargaan (esteem needs) adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Riya dan sum'ah dapat dilihat sebagai manifestasi dari kebutuhan ini yang tidak terpenuhi atau berlebihan. Orang yang melakukan riya atau sum'ah mungkin mencari validasi dan pengakuan dari lingkungan sosialnya.
2. Teori Presentasi Diri
Konsep "impression management" atau manajemen kesan dalam psikologi sosial berkaitan erat dengan riya dan sum'ah. Individu yang melakukan riya atau sum'ah sedang berusaha mengelola kesan yang ingin ditampilkan kepada orang lain, dalam hal ini kesan sebagai orang yang saleh atau religius.
3. Narsisisme
Riya dan sum'ah dapat dikaitkan dengan trait kepribadian narsisistik. Orang dengan kecenderungan narsisistik memiliki kebutuhan yang kuat untuk dikagumi dan diakui oleh orang lain, yang dapat mendorong mereka untuk memamerkan atau menceritakan amal ibadah mereka.
4. Kecemasan Sosial
Paradoksnya, riya dan sum'ah juga bisa muncul sebagai mekanisme pertahanan bagi orang yang mengalami kecemasan sosial. Mereka mungkin merasa perlu "membuktikan" kesalehan mereka untuk menghindari penilaian negatif dari orang lain.
5. Teori Atribusi
Dalam psikologi sosial, teori atribusi menjelaskan bagaimana individu menafsirkan perilaku mereka sendiri dan orang lain. Orang yang melakukan riya atau sum'ah mungkin cenderung melakukan atribusi eksternal, di mana mereka sangat mementingkan bagaimana orang lain menafsirkan perilaku mereka.
6. Konsep Diri dan Harga Diri
Riya dan sum'ah dapat dilihat sebagai upaya untuk meningkatkan konsep diri dan harga diri seseorang. Dengan memamerkan atau menceritakan amal ibadah, seseorang mungkin berharap untuk meningkatkan penilaian positif terhadap dirinya sendiri.
7. Teori Perbandingan Sosial
Teori ini menjelaskan bahwa individu cenderung membandingkan diri mereka dengan orang lain untuk mengevaluasi diri sendiri. Riya dan sum'ah bisa jadi merupakan hasil dari keinginan untuk "unggul" dalam perbandingan sosial dalam hal kesalehan atau religiusitas.
8. Cognitive Dissonance
Ketidaksesuaian antara niat internal (yang seharusnya ikhlas) dengan perilaku eksternal (yang ingin dipuji) dapat menimbulkan cognitive dissonance atau ketidaknyamanan psikologis. Ini mungkin menjelaskan mengapa orang yang melakukan riya atau sum'ah sering merasa tidak nyaman atau bersalah setelahnya.
9. Reinforcement dan Conditioning
Dari perspektif behaviorisme, riya dan sum'ah bisa dipahami sebagai perilaku yang diperkuat (reinforced) oleh pujian atau pengakuan sosial. Jika seseorang mendapatkan respons positif ketika memamerkan amal ibadahnya, perilaku ini mungkin akan cenderung diulang di masa depan.
10. Teori Perkembangan Moral
Dalam teori perkembangan moral Kohlberg, riya dan sum'ah bisa dilihat sebagai indikasi bahwa seseorang masih berada pada tahap perkembangan moral yang lebih rendah, di mana motivasi untuk berbuat baik masih didasarkan pada penilaian eksternal daripada prinsip moral internal.
11. Psikologi Transpersonal
Dalam konteks psikologi transpersonal, yang mempertimbangkan aspek spiritual manusia, riya dan sum'ah dapat dilihat sebagai hambatan dalam perjalanan spiritual seseorang menuju transendensi diri dan kesatuan dengan yang Ilahi.
12. Teori Attachment
Kecenderungan untuk melakukan riya atau sum'ah mungkin juga berkaitan dengan pola attachment seseorang. Individu dengan attachment yang tidak aman mungkin lebih cenderung mencari validasi eksternal, termasuk dalam hal ibadah dan kesalehan.
13. Psikologi Positif
Dari sudut pandang psikologi positif, fokus pada keikhlasan dan menghindari riya serta sum'ah dapat dilihat sebagai upaya untuk mencapai well-being dan flourishing yang lebih autentik, di mana seseorang menemukan makna dan kepuasan intrinsik dalam ibadah dan perbuatan baik.
14. Teori Motivasi
Dalam konteks teori motivasi, riya dan sum'ah dapat dilihat sebagai manifestasi dari motivasi ekstrinsik, di mana perilaku didorong oleh faktor-faktor eksternal seperti pujian atau pengakuan. Sebaliknya, keikhlasan lebih dekat dengan motivasi intrinsik, di mana perilaku didorong oleh kepuasan atau makna internal.
15. Psikologi Eksistensial
Dari perspektif psikologi eksistensial, kecenderungan untuk riya dan sum'ah bisa dilihat sebagai upaya untuk mengatasi kecemasan eksistensial, seperti ketakutan akan ketidakbermaknaan atau kematian. Dengan memamerkan kesalehan, seseorang mungkin mencoba untuk menegaskan nilai dan makna hidupnya.
Memahami aspek-aspek psikologis dari riya dan sum'ah dapat membantu dalam mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mengatasinya. Pendekatan holistik yang mempertimbangkan baik aspek spiritual maupun psikologis dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang fenomena ini dan cara mengatasinya.
FAQ Seputar Riya dan Sum'ah
Berikut ini adalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan seputar riya dan sum'ah, beserta jawabannya:
1. Apakah ada perbedaan tingkatan antara riya dan sum'ah?
Secara umum, riya dan sum'ah dianggap setara dalam hal tingkat keseriusannya sebagai sifat tercela. Namun, beberapa ulama berpendapat bahwa riya bisa jadi lebih berbahaya karena lebih sering terjadi dan lebih sulit dideteksi oleh pelakunya sendiri. Sum'ah, karena melibatkan tindakan aktif menceritakan amal, mungkin lebih mudah disadari dan dihindari.
2. Bagaimana jika saya merasa senang ketika amal ibadah saya diketahui orang lain?
Perasaan senang ketika amal ibadah diketahui orang lain tidak selalu berarti riya atau sum'ah. Jika perasaan ini muncul secara alami tanpa ada niat sebelumnya untuk dipuji, dan tidak diikuti dengan tindakan memamerkan atau menceritakannya, maka umumnya tidak dianggap sebagai riya atau sum'ah. Namun, tetap perlu waspada agar perasaan ini tidak berkembang menjadi keinginan untuk selalu dipuji.
3. Apakah memposting kegiatan amal atau ibadah di media sosial selalu termasuk riya atau sum'ah?
Tidak selalu. Niat dan tujuan di balik postingan tersebut sangat menentukan. Jika tujuannya adalah untuk menginspirasi orang lain, mengajak pada kebaikan, atau memberikan informasi yang bermanfaat, maka bisa jadi bukan termasuk riya atau sum'ah. Namun, jika tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan pujian atau pengakuan, maka bisa termasuk riya atau sum'ah.
4. Bagaimana cara membedakan antara niat berdakwah dan riya ketika membagikan pengetahuan agama?
Perbedaan utamanya terletak pada niat dan fokus. Jika fokusnya adalah pada manfaat yang akan diterima oleh orang lain dan keinginan untuk menyebarkan kebaikan, maka itu lebih condong ke arah dakwah. Namun, jika fokusnya lebih pada bagaimana orang akan memandang diri kita sebagai orang yang berilmu, maka itu lebih condong ke arah riya. Introspeksi diri dan evaluasi niat secara terus-menerus sangat penting dalam hal ini.
5. Apakah riya dan sum'ah hanya terkait dengan ibadah ritual saja?
Tidak, riya dan sum'ah bisa terjadi dalam berbagai bentuk amal kebaikan, tidak terbatas pada ibadah ritual saja. Ini bisa mencakup sedekah, menolong orang lain, atau bahkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan atau prestasi duniawi yang dilakukan dengan niat ibadah.
6. Bagaimana jika saya diminta untuk menceritakan pengalaman ibadah saya untuk keperluan edukasi?
Jika tujuannya adalah untuk edukasi atau memberikan manfaat kepada orang lain, dan bukan untuk memamerkan diri, maka umumnya hal ini diperbolehkan. Namun, tetap perlu berhati-hati dalam penyampaiannya, usahakan untuk tidak berlebihan dan tetap menjaga kerendahan hati.
7. Apakah mungkin untuk sepenuhnya terbebas dari riya dan sum'ah?
Secara praktis, sangat sulit untuk sepenuhnya terbebas dari riya dan sum'ah karena keduanya adalah godaan yang sangat halus. Namun, dengan usaha yang terus-menerus untuk meningkatkan keikhlasan dan kesadaran diri, seseorang dapat meminimalkan pengaruh riya dan sum'ah dalam amal ibadahnya.
8. Bagaimana cara menasihati seseorang yang terlihat melakukan riya atau sum'ah?
Jika Anda merasa perlu menasihati seseorang terkait hal ini, lakukanlah dengan bijaksana dan penuh kasih sayang. Hindari menuduh secara langsung, karena riya dan sum'ah berkaitan dengan niat yang hanya diketahui oleh Allah dan orang tersebut. Sebaiknya, berikan nasihat umum tentang pentingnya keikhlasan dan bahaya riya serta sum'ah.
9. Apakah ada doa khusus untuk berlindung dari riya dan sum'ah?
Ada beberapa doa yang bisa diamalkan, salah satunya adalah doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW: "Allahumma innaa na'uudzu bika an nusyrika bika syai-an na'lamuhu, wa nastaghfiruka limaa laa na'lamu" (Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang kami ketahui, dan kami memohon ampunan-Mu dari apa yang tidak kami ketahui).
10. Bagaimana jika riya atau sum'ah muncul di tengah-tengah ibadah?
Jika pikiran riya atau sum'ah muncul di tengah ibadah, segera usir pikiran tersebut dan kembalikan fokus pada niat ikhlas karena Allah. Jangan biarkan pikiran tersebut mengganggu ibadah yang sedang dilakukan. Setelah selesai beribadah, lakukan introspeksi diri dan perbaiki niat untuk ke depannya.
11. Apakah riya dan sum'ah bisa menjadi syirik besar?
Pada umumnya, riya dan sum'ah termasuk dalam kategori syirik kecil. Namun, dalam kondisi tertentu, jika seseorang benar-benar tidak pernah beribadah kecuali untuk dilihat manusia dan sama sekali tidak mengharapkan ridha Allah, maka ini bisa termasuk syirik besar. Namun, kasus seperti ini sangat jarang terjadi pada orang yang masih memiliki iman.
12. Bagaimana cara meningkatkan keikhlasan dalam beribadah?
Beberapa cara untuk meningkatkan keikhlasan antara lain: memperdalam pemahaman tentang tauhid, sering mengingat kematian dan hari akhir, melakukan muhasabah (introspeksi diri) secara rutin, memperbanyak ibadah yang tersembunyi, dan selalu memohon kepada Allah untuk diberikan keikhlasan.
13. Apakah anak-anak bisa terkena riya dan sum'ah?
Anak-anak, terutama yang sudah mulai memahami konsep pujian dan pengakuan sosial, bisa juga terkena riya dan sum'ah. Namun, karena pemahaman mereka masih terbatas, pendekatan dalam mengatasi hal ini harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan mereka. Fokus pada penanaman nilai-nilai keikhlasan sejak dini sangat penting.
14. Bagaimana cara mengatasi rasa bangga berlebihan setelah melakukan amal kebaikan?
Rasa bangga yang berlebihan setelah melakukan amal kebaikan bisa menjadi pintu masuk bagi riya dan sum'ah. Untuk mengatasinya, selalu ingat bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan adalah atas izin dan pertolongan Allah. Fokuskan diri pada rasa syukur kepada Allah, bukan pada kebanggan pribadi.
15. Apakah menerima penghargaan atas amal kebaikan termasuk riya?
Menerima penghargaan atas amal kebaikan tidak otomatis termasuk riya. Yang penting adalah niat awal ketika melakukan amal tersebut. Jika awalnya dilakukan dengan ikhlas karena Allah, maka menerima penghargaan sebagai bentuk apresiasi tidak apa-apa, selama tidak membuat kita menjadi sombong atau terlalu bangga diri.
Memahami berbagai aspek riya dan sum'ah melalui pertanyaan-pertanyaan umum ini dapat membantu kita untuk lebih waspada dan bijak dalam menjaga keikhlasan beribadah. Selalu ingat bahwa perjuangan melawan riya dan sum'ah adalah proses yang berkelanjutan dan membutuhkan kesadaran serta upaya yang konsisten.
Advertisement
Kesimpulan
Riya dan sum'ah merupakan dua sifat tercela yang sangat penting untuk diwaspadai oleh setiap muslim. Keduanya memiliki potensi besar untuk merusak keikhlasan dalam beribadah dan mengurangi atau bahkan menghapuskan pahala amal kebaikan yang dilakukan. Meskipun memiliki beberapa perbedaan, baik riya maupun sum'ah sama-sama berpusat pada keinginan untuk mendapatkan pujian atau pengakuan dari manusia, bukan semata-mata mengharap ridha Allah SWT.
Penting untuk dipahami bahwa riya dan sum'ah bukan hanya masalah spiritual, tetapi juga memiliki dimensi psikologis yang kompleks. Keduanya dapat berakar dari berbagai faktor seperti kebutuhan akan pengakuan sosial, kecemasan, atau bahkan upaya untuk meningkatkan harga diri. Memahami aspek psikologis ini dapat membantu kita dalam mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mengatasinya.
Menghindari riya dan sum'ah bukanlah tugas yang mudah. Ini membutuhkan kesadaran yang terus-menerus, introspeksi diri yang rutin, dan upaya yang konsisten untuk meluruskan niat dalam setiap amal ibadah. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan antara lain memperkuat pemahaman tauhid, memperbanyak amal tersembunyi, menghindari pembicaraan tentang amal pribadi, dan selalu memohon perlindungan Allah dari kedua sifat tercela ini.
Di sisi lain, penting juga untuk tidak terjebak dalam kecemasan berlebihan akan riya dan sum'ah hingga menghambat kita dalam melakukan kebaikan atau berdakwah. Ada kalanya membagikan pengalaman ibadah atau amal kebaikan bisa menjadi sarana dakwah dan inspirasi bagi orang lain, selama dilakukan dengan niat yang benar dan cara yang bijaksana.