Bursa Saham Asia Lesu Sambut Akhir Pekan, Investor Cermati Data Ekonomi Jepang

Bursa saham Asia Pasifik tergelincir pada perdagangan Jumat, 10 Januari 2025. Investor mencermati data ekonomi Jepang.

oleh Agustina Melani diperbarui 10 Jan 2025, 09:12 WIB
Bursa saham Asia Pasifik melemah pada perdagangan Jumat, (10/1/2025). Hal ini seiring investor menilai gaji dan pengeluaran rumah tangga pada November dari Jepang. (Foto by AI)

Liputan6.com, Jakarta - Bursa saham Asia Pasifik melemah pada perdagangan Jumat, (10/1/2025). Koreksi bursa saham Asia di tengah investor menilai gaji dan pengeluaran rumah tangga pada November dari Jepang.

Mengutip CNBC, pengeluaran rumah tangga riil di Jepang turun 0,4 persen tahun ke tahun pada November, penurunan lebih rendah dibandingkan penurunan 0,6 persen yang diperkirakan oleh jajak pendapat Reuters kepada ekonom.

Penurunan itu juga lebih rendah dari penurunan 1,3 persen yang terlihat pada Oktober. Pendapatan riil rata-rata per rumah tangga mencapai 514.409 yen atau USD 3.252,98 pada November, naik 0,7 persen dari tahun sebelumnya.

Indeks Nikkei 225 di Jepang melemah 0,64 persen pada pembukaan perdagangan. Indeks Topix meroost 0,34 persen.

Sementara itu, indeks Kospi di Korea Selatan terpangkas 0,59 persen dan indeks Kosdaq susut 0,8 persen.

Indeks ASX 200 di Australia merosot 0,39 persen, setelah berada di wilayah positif pada awal sesi perdagangan. Indeks Hang Seng di Hong Kong pada level 19.320, menunjukkan pembukaan lebih kuat dibandingkan penutupan sebelumnya 19.240,89.

Bursa saham Amerika Serikat atau wall street tutup untuk menghormati pemakaman mantan Presiden AS Jimmy Carter. Namun, pelaku pasar akan cermati data tenaga kerja pada Jumat pekan ini di Amerika Serikat dengan angka penggajian nonpertanian untuk Desember.

Para ekonom memperkirakan Biro Statistik Tenaga Kerja pada hari Jumat pagi akan melaporkan kenaikan 155.000 dalam penggajian nonpertanian, turun dari kenaikan mengejutkan 227.000 pada November tetapi hampir sesuai dengan rata-rata empat bulan. Tingkat pengangguran diperkirakan akan tetap stabil pada 4,2%.


Penutupan IHSG pada 9 Januari 2025

IHSG ditutup pada level 7.220,88. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik arah ke zona merah pada perdagangan Kamis, 9 Januari 2025. Koreksi IHSG terjadi di tengah mayoritas sektor saham yang memerah.

Mengutip data RTI, IHSG melemah 0,22 persen ke posisi 7.064,58. Indeks LQ45 susut 0,05 persen ke posisi 821,39. Sebagian besar indeks saham acuan merosot.

Pada Kamis pekan ini, IHSG berada di level tertinggi 7.106,45 dan level terendah 7.062,09. Sebanyak 350 saham melemah dan 236 saham menguat. 211 saham diam di tempat. Total frekuensi perdagangan 1.159.049 kali dengan volume perdagangan 17,2 miliar saham. Nilai transaksi harian saham Rp 7,9 triliun. Posisi dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 16.195. Investor asing beli saham Rp 38,84 miliar. Sepanjang 2025, aksi jual saham oleh investor asing tercatat Rp 2,73 triliun.

Mayoritas sektor saham memerah. Sektor saham energi turun 1,01 persen, dan pimpin koreksi. Sektor saham basic susut 0,87 persen, sektor saham consumer nonsiklikal terpangkas 0,68 persen dan sektor saham consumer siklikal susut 0,92 persen.

Sementara itu, sektor saham kesehatan susut 0,14 persen, sektor saham teknologi turun 0,16 persen, sektor saham infrastruktur susut 0,17 persen dan sektor saham transportasi terperosok 0,41 persen.

Di sisi lain, sektor saham industri naik 0,49 persen, sektor saham keuangan mendaki 0,05 persen dan sektor saham properti bertambah 0,17 persen.


Apa Saja Sentimen IHSG?

Pengunjung tengah melintasi layar pergerakan saham di BEI, Jakarta, Senin (13/2). Pembukaan perdagangan bursa hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat menguat 0,57% atau 30,45 poin ke level 5.402,44. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Mengutip Antara, menurut kajian PT Pilarmas Investindo Sekuritas, bursa regional Asia cenderung bergerak melemah.

“pasar tampaknya merespon risalah The Fed yang menunjukkan akan ada perlambatan pelonggaran kebijakan moneter di tengah inflasi diprediksi masih berlanjut," demikian seperti dikutip.

Para pejabat The Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral Amerika Serikat (AS) khawatir tentang inflasi yang terus-menerus dan dampak potensial dari perubahan kebijakan perdagangan dan imigrasi di bawah pemerintahan Donald Trump yang akan datang.

“The Fed juga mengisyaratkan mungkin sudah mendekati titik di mana akan tepat untuk memperlambat laju pelonggaran kebijakan,” demikian seperti dikutip.

Selanjutnya, pasar juga memiliki pandangan terkait rilis data ekonomi China, yang mana harga konsumen di China naik hanya 0,1 persen pada Desember 2024, kenaikan terendah dalam sembilan bulan, sementara harga produsen terus mengalami kontraksi selama 27 bulan berturut-turut.

Data ini menyoroti tekanan deflasi yang berpotensi meningkat di China, meskipun ada langkah-langkah dukungan moneter dan fiskal yang sedang berlangsung.

Sentimen pasar semakin terbebani oleh laporan yang menunjukkan bahwa Donald Trump sedang mempertimbangkan untuk mengumumkan keadaan darurat ekonomi nasional untuk membenarkan tarif yang luas pada sekutu dan musuh

Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya