Jepang Diprediksi Punah Tahun 2720, Angka Kelahiran Terjun Bebas

Jika kondisi saat ini terus berlangsung, ini prediksi ilmuwan akan kepunahan penduduk Jepang.

oleh Ibrahim Hasan diperbarui 10 Jan 2025, 14:01 WIB
Jepang Diprediksi Punah Tahun 2720, Angka Kelahiran Terjun Bebas (Sumber: Pexels/Vlad Victoria)

Liputan6.com, Jakarta Di tengah dunia yang sibuk dengan masalah kelebihan penduduk, Jepang menghadapi ancaman yang jauh berbeda. Sebuah studi dari Pusat Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Lanjut Usia Universitas Tohoku memperkirakan Jepang akan menghadapi kepunahan pada tahun 2720. Prediksi ini didasarkan pada angka kelahiran rendah yang terus menurun sejak tahun 1970-an.

Dilansir Liputan6.com dari Daily Mail, Jumat (10/1/2025), professor Hiroshi Yoshida, yang memimpin penelitian ini, menjelaskan bahwa tren populasi Jepang yang menua menjadi pemicu utama. Berdasarkan simulasi yang dilakukan sejak 2012, teori kepunahan Jepang ini menyebut bahwa pada 2720 hanya akan ada satu anak di bawah usia 14 tahun.  

Penurunan jumlah penduduk Jepang tidak hanya memengaruhi struktur sosial, tetapi juga perekonomian negara. Pada tahun 2022, data menunjukkan hampir satu juta lebih kematian dibanding kelahiran. Pemerintah Jepang mulai mempertimbangkan untuk meningkatkan jumlah imigran sebagai solusi menghadapi kekurangan penduduk.

Selain itu, berbagai kebijakan telah diluncurkan untuk mengatasi angka kelahiran rendah, termasuk insentif finansial dan pelonggaran kebijakan imigrasi. Namun, Profesor Yoshida mengingatkan bahwa Jepang hanya memiliki waktu hingga tahun 2030 sebelum tren ini tak dapat diubah lagi.


Teori Kepunahan Jepang Bikin Heboh

Jepang Diprediksi Punah Tahun 2720, Angka Kelahiran Terjun Bebas (Sumber: Long Kg)

Profesor Hiroshi Yoshida memprediksi kepunahan Jepang berdasarkan data demografis yang dikumpulkan sejak 2012. "Jepang mungkin menjadi negara pertama yang punah karena angka kelahiran yang rendah," ungkap Yoshida kepada The Times. Ia menambahkan bahwa simulasi menunjukkan hanya satu anak di bawah usia 14 tahun yang tersisa pada 2720.

Jam Populasi Anak-Anak, sebuah situs yang mengukur tren demografis, mengonfirmasi estimasi tersebut. Situs ini berbasis data dari Kementerian Dalam Negeri Jepang, menunjukkan penurunan drastis anak-anak dalam beberapa dekade terakhir. Meski proyeksi ini bukan otoritatif, tujuan utama studi ini adalah meningkatkan kesadaran akan krisis demografi yang tengah berlangsung.

Para ahli menyebut tren ini sebagai “kiamat demografi.” Sementara negara lain menghadapi tantangan kelebihan penduduk, masyarakat Jepang justru berjuang melawan ancaman kepunahan.


Imigrasi Jadi Harapan Baru Hadapi Kekurangan Penduduk

Jepang Diprediksi Punah Tahun 2720, Angka Kelahiran Terjun Bebas (Sumber: Pexels/DSD)

Sebagai respons terhadap kekurangan penduduk, Jepang mulai melonggarkan kebijakan imigrasi. Pemerintah berharap dapat melipatgandakan jumlah pekerja asing pada tahun 2040. Langkah ini dianggap sebagai upaya penting untuk mengisi kekosongan tenaga kerja yang ditinggalkan generasi muda.

Jepang dikenal memiliki aturan imigrasi yang ketat selama bertahun-tahun. Namun, dengan tingkat kesuburan hanya 1,2 per wanita, kebijakan ini mulai diperlonggar untuk menarik lebih banyak imigran. Peningkatan jumlah imigran diharapkan dapat memperkuat perekonomian dan mendukung masyarakat lanjut usia.

Menurut laporan Newsweek, pemerintah juga mendorong pelibatan imigran dalam sektor vital seperti kesehatan dan teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa Jepang mulai membuka diri terhadap keberagaman demi menyelamatkan masa depan.


Penyebab Angka Kelahiran Jepang Rendah

Ryusuke Sekino, bayi laki-laki terkecil di dunia digendong oleh ibunya Toshiko Sekino didampingi sang suami Kohei Sekino di sebuah rumah sakit di Azumino, Prefektur Nagano, Jepang, Jumat (19/4). Sekino berhasil bertahan hidup setelah tujuh bulan menjalani perawatan intensif. (Kyodo News via AP)

Jumlah kelahiran di Jepang terus menurun sejak tahun 1970-an. Resesi ekonomi jangka panjang menjadi salah satu alasan utama. "Kaum muda tidak dapat menikah atau memiliki anak karena pendapatan yang rendah," ujar Yoshida.

Tren ini semakin diperparah dengan meningkatnya biaya hidup di kota-kota besar seperti Tokyo dan Osaka. Pasangan muda merasa enggan untuk memulai keluarga karena tekanan ekonomi yang berat. Selain itu, budaya kerja yang keras di Jepang turut menyulitkan perempuan untuk menjalani peran sebagai ibu.

Kementerian Luar Negeri Jepang memperingatkan bahwa jika tren ini berlanjut, populasi negara itu bisa anjlok menjadi 87 juta pada tahun 2070. Para ahli mendesak adanya reformasi kebijakan untuk menciptakan lingkungan yang lebih ramah keluarga.


Insentif Finansial dan Kampanye Kesadaran

Dua pesumo menggendong bayi yang menangis selama Festival Nakizumo atau kontes bayi menangis di kuil Kamegaike-Hachiman, Jepang, Minggu (14/5). Lebih dari 100 bayi mengikuti kontes menangis yang diyakini bisa membuat bayi sehat. (Toru YAMANAKA/AFP)

Pemerintah Jepang telah mengalokasikan dana 5,3 triliun yen atau setara Rp 542 triliun, untuk membantu pasangan memulai keluarga. Insentif ini termasuk bantuan tunai langsung dan subsidi pendidikan. Harapannya, insentif tersebut dapat mendorong lebih banyak kelahiran di negara tersebut.

Selain insentif, kampanye kesadaran mengenai pentingnya keluarga juga gencar dilakukan. "Kita harus menciptakan lingkungan di mana perempuan dan orang tua dapat bekerja," kata Yoshida. Ia menegaskan bahwa solusi jangka panjang harus melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Para politisi juga mulai menyadari bahwa kebijakan imigrasi saja tidak cukup. Kombinasi antara insentif lokal dan penerimaan imigran diharapkan menjadi kunci untuk membalikkan tren populasi menurun di Jepang.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya