Waspada Dampak Perubahan Skema Subsidi BBM

Skema subsidi BBM yang lama memiliki kelemahan berupa potensi distorsi yang besar karena sifatnya yang masih terbuka. Sementara itu, skema baru diharapkan lebih efektif

oleh Tira Santia diperbarui 10 Jan 2025, 15:00 WIB
Pengendara motor mengisi kendaraannya dengan BBM di salah satu SPBU, Jakarta, Selasa (15/3). Pertamina menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) umum Pertamax, Pertamax Plus, Pertamina Dex, dan Pertalite Rp 200 per liter. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menyebut perubahan skema subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebagai langkah strategis pemerintah untuk menyeimbangkan dua kepentingan utama.

Di satu sisi, menjaga stabilitas fiskal negara, dan di sisi lain, memastikan kelompok rentan tetap mendapatkan perlindungan subsidi.

“Skema baru ini adalah upaya mencari keseimbangan. Fiskal tetap terjaga, namun kelompok rentan tetap mendapat alokasi subsidi,” ujar Komaidi kepada Liputan6.com, Jumat (10/1/2025).

Potensi Perbaikan dan Tantangan Implementasi

Menurut Komaidi, skema subsidi BBM yang lama memiliki kelemahan berupa potensi distorsi yang besar karena sifatnya yang masih terbuka. Sementara itu, skema baru diharapkan lebih efektif dalam menyalurkan subsidi kepada kelompok yang benar-benar membutuhkan.

“Skema lama memungkinkan terjadinya distorsi yang besar. Secara teori, skema baru ini lebih baik, tapi implementasi di lapangan akan menghadapi tantangan dan dinamika tersendiri,” jelasnya.

Dampak terhadap Kelas Menengah

Komaidi juga menyoroti dampak kebijakan ini terhadap masyarakat kelas menengah. Kelompok ini, yang sebelumnya menikmati subsidi BBM, berpotensi kehilangan akses, sementara subsidi untuk kelas bawah tetap dipertahankan.

“Dampaknya akan terasa pada kelas menengah yang selama ini ikut menikmati subsidi. Mereka mungkin tidak lagi mendapatkan subsidi, sedangkan kelas bawah tetap terjaga alokasinya,” tambah Komaidi.

Kondisi ini dapat memengaruhi daya beli masyarakat, khususnya mereka yang selama ini bergantung pada subsidi untuk kebutuhan transportasi sehari-hari.

 


Prioritas untuk Transportasi Publik dan UMKM

Pertamax Green 95 sudah terpampang di SPBU Pertamina Jalan MT Haryono, Jakarta. Ini merupakan produk BBM campur bioetanol dengan tingkat RON 95. Foto: Liputan6.com/ Arief R

Komaidi juga menekankan pentingnya subsidi BBM untuk transportasi publik. Namun, ia mengingatkan bahwa transportasi online, seperti ojek online, tidak masuk dalam kategori transportasi umum menurut undang-undang.

“Transportasi publik seharusnya menjadi prioritas untuk mendapatkan subsidi. Namun, transportasi online seperti ojek online tidak termasuk transportasi umum dalam undang-undang,” katanya.

Selain itu, Komaidi menegaskan bahwa sektor UMKM dan industri kecil harus mendapatkan perhatian khusus untuk meminimalkan dampak negatif dari perubahan skema subsidi ini.

 


Pencabutan Bertahap yang Berhati-hati

Pertamina Patra Niaga memerluas uji coba pembatasan penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis Solar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Komaidi menambahkan, meskipun subsidi BBM tidak bisa dihapus sepenuhnya dalam waktu singkat, pencabutan bertahap harus dilakukan dengan perhitungan matang agar dampaknya terhadap perekonomian tidak merugikan.

“Jika subsidi BBM dicabut secara keseluruhan, dampaknya pada ekonomi akan sangat buruk. Oleh karena itu, prosesnya harus bertahap dan terukur,” tutupnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya