Dr. Sukidi: Al-Qur'an Harus Dibaca, Dipahami, dan Diamalkan dalam Kehidupan Sehari-hari

Lulusan Harvard University menerangkan bahwa Al-Qur'an diturunkan dalam dua tahap: pertama, dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia dalam satu paket utuh, dan kedua, secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW

oleh Muhamad Ridlo Diperbarui 18 Mar 2025, 13:22 WIB
Cendekiawan Muhammadiyah DR Sukidi, saat menjadi pemateri dalam Inspirasi Ramadhan, Takjilan Yuk!. (Istimewa)
Cendekiawan Muhammadiyah DR Sukidi, saat menjadi pemateri dalam Inspirasi Ramadhan, Takjilan Yuk!. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Cendekiawan Muhammadiyah Dr Sukidi mengupas makna mendalam dari turunnya Al-Qur'an dan bagaimana seharusnya umat Islam menyikapinya.

Dr Sukidi menjelaskan bahwa dalam tradisi Islam awal, Al-Quran belum berbentuk mushaf seperti saat ini, melainkan tersimpan dalam hati umat Islam melalui hafalan dan bacaan.

“Al-Quran dalam awal tradisi Islam itu tersimpan di dalam hati, belum ada dalam bentuk mushaf seperti saat ini tetapi lebih ke tradisi untuk membaca firman Tuhan,” ujarnya, saat menjadi pemateri program Inspirasi Ramadhan: Takjilan Yuk! episode spesial Nuzulul Quran, Senin (17/3/2025).

Lulusan Harvard University ini juga menerangkan bahwa Al-Quran diturunkan dalam dua tahap: pertama, dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia dalam satu paket utuh, dan kedua, secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril selama 23 tahun. Peristiwa ini dimulai dengan turunnya ayat pertama dalam Surah Al-‘Alaq.

Lebih jauh, Dr. Sukidi menekankan bahwa memahami Nuzulul Quran tidak cukup hanya dengan membaca, tetapi harus diiringi dengan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.

“Al-Quran adalah cahaya kehidupan. Tidak cukup hanya dibaca, tetapi harus diamalkan dalam keseharian,” pesannya, dalam episode ke-17 dengan tema 'Ramadhan, Saatnya Kita Mengaji'.


Esensi Ibadah

Ia juga mengingatkan bahwa esensi ibadah bukan hanya dalam bentuk ritual, tetapi juga dalam niat dan pengamalan nilai-nilai luhur.

“Ibadah juga harus diwujudkan dalam perilaku sehari-hari yang luhur dan mulia sesuai panduan Al-Quran dan kehidupan bernegara,” tambahnya.

Ia menekankan bahwa hal terpenting dalam ibadah adalah niat untuk mencari ridha Allah SWT, karena ibadah yang disertai motif lain akan kehilangan makna sejatinya.

Selain kajian keislaman, episode ini juga mengangkat kuliner khas Nusantara, Sate Padang, sebagai simbol keberagaman Indonesia. Seperti halnya bumbu dalam sate yang berpadu menjadi cita rasa khas, keberagaman suku dan agama di Indonesia juga harus dirawat agar menjadi kekuatan yang harmonis.

Dengan format yang ringan dan dekat dengan kehidupan anak muda, Takjilan Yuk! diharapkan menjadi tayangan yang menghibur sekaligus memberikan inspirasi selama bulan Ramadan.

Cendekiawan Muhammadiyah DR Sukidi, saat menjadi pemateri dalam Inspirasi Ramadhan, Takjilan Yuk!. (Istimewa)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya