Laris Manis! Batik 'Canting Madura' Laku Rp 60 Juta per Bulan

Batik Madura kian diminati konsumen karena punya ciri khas warnanya terang. Melihat peluang bisnis ini, Rina Dodi menerjuni batik Madura.

oleh Siska Amelie F Deil diperbarui 05 Jun 2013, 20:37 WIB
Batik Madura kian diminati konsumen karena punya ciri khas warnanya terang. Melihat peluang bisnis ini, ibu beranak 4 bernama Rina Dodi akhirnya menerjuni batik Madura.

Rina melihat kosongnya produk batik tulis Madura di pasaran, sebagai peluang bisnis dan menjadi alasan dirinya beralih dari bisnis kebaya yang dirintisnya sejak tahun 1999. Dirinya mengaku sempat bolak balik Cirebon untuk belajar pembatikan.

Dengan menggunakan merek 'Canting Madura', kini Rina makin menekuni bisnis batik Madura, selain juga ada tujuan lain untuk memelihara peninggalan budaya tersebut.

"Tujuan saya sebenarnya ingin membina para pengrajin batik di desa-desa di Madura," ungkap Rina saat ditemui Liputan6.com di Pameran Interior & Craft di Jakarta Convention Center, Kamis (5/6/2013).

Wanita yang juga merupakan anggota Yayasan Batik Indonesia ini menganggap posisinya di bagian pelestarian dan pengembangan membuatnya semakin termotivasi membina para pengrajin batik di daerahnya.

Omzet

Dirinya tak ingat berapa modal yang ia habiskan untuk membangun bisnis batiknya. Tapi usaha yang dirintisnya sejak tahun 2001 itu bisa menghasilkan omzet hingga minimal Rp 30 juta per bulan.

"Omzetnya sekitar Rp 30 jutaan lebih lah, tapi bulan lalu kami dapat sampai Rp 60 jutaan," ungkap  wanita yang saat ini sudah mempekerjakan sekitar 20 pengrajin batik.

Produknya dijual dari kisaran harga Rp 175 ribu hingga Rp 12 juta. Mahalnya harga batik tersebut karena bahan dan tingkat kesulitan pembatikannya yang cukup tinggi.

"Batik yang Rp 12 juta baru nanti diluncurkan Juli, belum bisa sekarang-sekarang," katanya.

Batik yang menjadi produk unggulannya, sudah memasuki pasar luar negeri seperti Belanda, Amerika, Meksiko, dan Afrika Selatan. Sampai saat ini, konsumen dari Meksiko masih sering menghubunginya.

Walaupun sudah berjalan selama 12 tahun, Ibu empat anak ini mengaku bisnisnya bukan tanpa kendala. Kendala terbesar dalam bisnisnya adalah mendatangkan sutra dan benang dari China untuk kebutuhan produksi. Proses pembatikan sendiri makan waktu lama, 2 hingga 6 bulan.

Namun Rina tak pernah lelah berinovasi. Belakangan dirinya mengadopsi patron batik Belanda lama.

"Batik Belanda zaman dulu, saya contoh patronnya. Saya tuangkan jadi batik Madura," katanya.

Dia mengaku tak memiliki pesaing dalam menjalankan usahanya. Menurutnya, semua batik Indonesia bagus dan semuanya tergantung selera pembeli. (Igw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya