Ini kabar buruk bagi Anda para penggemar swike, makanan berbahan daging katak. Kabarnya, makanan dari bahan ini dapat menyebabkan kanker.
Pejabat kehutanan telah mengimbau dan menyatakan, makan daging katak dapat menyebabkan penyakit koktail eksotis, mulai dari kanker hingga gagal ginjal, stroke, dan lumpuh.
"Besarnya residu yang bandel dan beracun dari bahan kimia pertanian biomagnified dalam rantai makanan, terakumulasi dalam tubuh katak. Konsumsi terus menerus bisa memicu stroke, kanker, kelumpuhan, gagal ginjal, dan kelainan bentuk lainnya," kata penasihat tersebut, seperti dikutip dari ZeeNews, Senin (17/6/2013)
Selama bertahun-tahun, para Bullfrog dari India dan Jerdons, ada dua spesies yang paling banyak diburu dagingnya. Banyak restoran yang menjual dan memasaknya diam-diam di restoran dan di rumah. Padahal, kedua spesies ini hasil selundupan.
Seekor katak dijual dengan harga Rs 250 (Rp 42 ribu) dan hanya kaki bagian belakang yang gemuk yang dijadikan bahan masakan lalu dimakan.
Tapi di Goa, dengan semangat dan permintaan daging katak meningkat, orang-orang di sana hampir setiap tahun melakukan pemburuan. Padahal, jika ketahuan melakukan pemburuan tersebut, akan dikenakan denda sebesar Rs 25.000 (Rp 4,2 juta) dan dijatuhkan hukuman penjara selama tiga tahun, di bawah Undang-Undang Perlindungan Satwa Liar.
Departemen Kehutanan sekarang merasa, bahwa dengan denda tidak akan membuat yang berburu menjadi jera, semoga dengan peringatan bahwa katak jenis tersebut dapat menyebabkan orang terkena kanker, bisa menghentikan orang untuk membunuh dan memakan katak tersebut.
"Katak ini bahaya untuk kesehatan Anda. Karena katak menerima agrokimia, dan ada elemen kanker di dalamnya. Jadi, kami berharap bahwa orang menyadari akan hal tersebut," kata seorang pejabat satwa liar.
Miguel Braganza yang berasal dari Botanical Society of Goa, mengatakan bahwa peringatan mungkin saja dapat menghalangi orang untuk melakukan itu.
"Risiko kesehatan mungkin telah diperkuat untuk mencegah orang lain berhenti makan katak, karena tindakan hukuman tampaknya tidak berefek secara maksimal," kata Braganza.
(Adt/Abd)
Pejabat kehutanan telah mengimbau dan menyatakan, makan daging katak dapat menyebabkan penyakit koktail eksotis, mulai dari kanker hingga gagal ginjal, stroke, dan lumpuh.
"Besarnya residu yang bandel dan beracun dari bahan kimia pertanian biomagnified dalam rantai makanan, terakumulasi dalam tubuh katak. Konsumsi terus menerus bisa memicu stroke, kanker, kelumpuhan, gagal ginjal, dan kelainan bentuk lainnya," kata penasihat tersebut, seperti dikutip dari ZeeNews, Senin (17/6/2013)
Selama bertahun-tahun, para Bullfrog dari India dan Jerdons, ada dua spesies yang paling banyak diburu dagingnya. Banyak restoran yang menjual dan memasaknya diam-diam di restoran dan di rumah. Padahal, kedua spesies ini hasil selundupan.
Seekor katak dijual dengan harga Rs 250 (Rp 42 ribu) dan hanya kaki bagian belakang yang gemuk yang dijadikan bahan masakan lalu dimakan.
Tapi di Goa, dengan semangat dan permintaan daging katak meningkat, orang-orang di sana hampir setiap tahun melakukan pemburuan. Padahal, jika ketahuan melakukan pemburuan tersebut, akan dikenakan denda sebesar Rs 25.000 (Rp 4,2 juta) dan dijatuhkan hukuman penjara selama tiga tahun, di bawah Undang-Undang Perlindungan Satwa Liar.
Departemen Kehutanan sekarang merasa, bahwa dengan denda tidak akan membuat yang berburu menjadi jera, semoga dengan peringatan bahwa katak jenis tersebut dapat menyebabkan orang terkena kanker, bisa menghentikan orang untuk membunuh dan memakan katak tersebut.
"Katak ini bahaya untuk kesehatan Anda. Karena katak menerima agrokimia, dan ada elemen kanker di dalamnya. Jadi, kami berharap bahwa orang menyadari akan hal tersebut," kata seorang pejabat satwa liar.
Miguel Braganza yang berasal dari Botanical Society of Goa, mengatakan bahwa peringatan mungkin saja dapat menghalangi orang untuk melakukan itu.
"Risiko kesehatan mungkin telah diperkuat untuk mencegah orang lain berhenti makan katak, karena tindakan hukuman tampaknya tidak berefek secara maksimal," kata Braganza.
(Adt/Abd)