XL dan Axis Siap Gabung, Akan Memicu Perampingan Jumlah Operator?

Kominfo akui XL dan Axis sudah melapor soal rencana penggabungan. Apa kendala penggabungan operator?

oleh Denny Mahardy diperbarui 25 Jun 2013, 17:53 WIB

Indonesia termasuk sebagai negara yang memiliki pertumbuhan tercepat di industri seluler dunia. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat pertumbuhan pengguna selular di Indonesia rat-rata sebesar 31,9 persen tiap tahun.

Jumlah penyelenggara telekomunikasi di Indonesia yang berjumlah 10 operator dengan teknologi GSM dan CDMA juga menjadi yang terbanyak di dunia. Jumlah pemain yang banyak tersebut bagai dua mata pisau yang memberi dampak positif dan negatif.

Sisi positifnya adalah tarif layanan yang murah sebagai dampak dari kompetisi. Namun, sumber daya frekuensi untuk berkembang jadi terbatas sebagai efek negatif dari gemuknya jumlah operator telekomunikasi. Padahal, pasar pengguna layanan telekomunikasi sudah mencapai puncaknya dengan penetrasi 120 persen dan jangkauan mencapai 95 persen jumlah populasi penduduk.

Situasi tersebut mendorong isu penggabungan perusahaan melalui jalan merger, akuisisi, maupun konsolidasi operator menyeruak ke permukaan. Langkah itu diharapkan bisa menggabungkan kekuatan sekaligus jumlah operator yang beroperasi di Tanah Air.

Kabar soal PT XL Axiata Tbk akan mengambil alih PT Axis Telekom Indonesia jadi fokus perbincangan di ranah telekomunikasi di Indonesia. Sebab, transaksi penggabungan dua operator itu merupakan yang pertama terjadi di Tanah Air.

"Mereka sudah lapor soal rencana penggabungan (XL dan Axis). Kominfo tidak akan menghalangi soal itu, hanya saja nantinya masalah frekuensi dan blok kanal yang harus kita lihat," kata Dirjen Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kominfo, Muhammad Budi Setiawan kepada awak media di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (25/6/2013).

Ia juga menyebutkan bahwa jumlah ideal yang beroperasi di Indonesia cukup 4 operator saja. "Idealnya operator telekomunikasi cukup empat, tiga GSM dan satu CDMA. Buat apa banyak-banyak," ujar Budi lagi.

Tersandung Regulasi

Niat untuk menggabungkan dua operator menjadi satu ternyata harus berhadapan dengan Undang-Undang nomor 36 tahun 1999 yang bisa memasukkannya dalam praktek monopoli, kecuali kedua perusahaan tersebut mau untuk melakukan merger dan 'mematikan' salah satu perusahaannya.

Pelaksanaan merger pun dianggap sebagai batu sandungan karena pada Peraturan Pemerintah nomor 53 tahun 1999 yang tidak mengizinkan frekuensi dan block number dipindah-tangan. Dengan kata lain, meskipun sebuah perusahaan telah membeli perusahaan lainnya, mereka tetap tak bisa memiliki frekuensi dan block number milik perusahaan yang dibelinya.

"Ketika sebuah perusahaan melakukan merger maka pembeli hanya mendapat aset berupa gedung, karyawan, infrastruktur dan operator tanpa nomor. Sedangkan frekuensi dan block number harus dikembalikan kepada pemerintah, terus buat apa mereka beli perusahaan lain?," kata Alex J. Sinaga, Ketua Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia.

Alex juga mengakui bahwa aturan tersebut harus disesuaikan agar tetap sesuai dengan asas keadilan dan terlindungi payung hukum sesuai dengan UU 36 tahun 1999.

"Harusnya ada insentif atau kompensasi bagi perusahaan yang melakukan merger, seperti frekuensi dan block number-nya diberikan minimal sebagian kepada pembeli," ungkap Alex yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Telkomsel.

Hal tersebut ternyata mendapat respon dari pihak Kominfo sebagai regulator. Budi mengaku bahwa pihaknya akan berusaha untuk membuat proses merger di industri telekomunikasi Indonesia menguntungkan bagi semua pihak.

"Kami akan melakukan perubahan di sisi regulasi, mungkin nanti bentuknya Peraturan Menteri sesuai dengan kebutuhan kondisi yang sedang berlangsung saat ini. Biar proses mergernya tetap menarik," imbuh Budi. (den/gal/*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya