Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya menyoroti 48 pendidikan tinggi farmasi, karena lembaga itu tidak mencetak apoteker (non-apoteker), padahal lulusan pendidikan tinggi farmasi itu seharusnya menjadi apoteker.
"Sebenarnya ada 74 pendidikan tinggi farmasi di Indonesia, tapi umumnya mencetak sarjana strata 1 (S-1) dan hanya 26 pendidikan tinggi farmasi itu yang memiliki pendidikan profesi apoteker," kata Dekan Fakultas Farmasi Unair Surabaya Dr Umi Athiyah MS Apt di Surabaya, Kamis.
Didampingi panitia peringatan Tahun Emas Farmasi Unair (1963-2013) Prof Dr Mangestuti Agil MS Apt dan Andi Hermansyah MSc Apt, ia menjelaskan pihaknya akan membahas "nasib" ke-48 pendidikan farmasi non-apoteker itu dalam seminar di fakultas setempat pada 28 Juni.
"Untuk itu, panitia mendatangkan lima pemangku kepentingan dari Ditjen Dikti Kemdikbud, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI), Ditjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kemenkes, dan Komite Farmasi Nasional (KFN)," katanya.
Ia mengharapkan seminar yang dihadiri 100 peserta dari kalangan pendidikan tinggi farmasi, praktisi/apoteker, dan industri farmasi itu akan melahirkan kebijakan tentang 48 pendidikan tinggi non-apoteker.
"Rakernas IAI di Makassar pada 2010 sudah merumuskan standar apoteker, karena itu pendidikan tinggi farmasi diharuskan memiliki pendidikan profesi dan pendidikan tinggi farmasi yang tidak memilikinya harus mendorong mahasiswanya menempuh pendidikan profesi apoteker yang dimiliki 26 pendidikan tinggi farmasi itu," katanya.
Namun, ke-48 pendidikan tinggi farmasi yang belum memiliki pendidikan profesi apoteker diharusnya memilikinya sesuai persyaratan berupa fasilitas yang memenuhi standar apoteker itu. "Kalau tidak mampu, barangkali perlu kebijakan seperti di luar negeri bahwa pendidikan tinggi farmasi itu menghasilkan dua output yakni apoteker dan sarjana ilmu farmasi," katanya.
Menurut dia, apoteker bekerja di apotek dengan dukungan tenaga teknis kefarmasian dengan standar di bawah apoteker yakni asisten apoteker dan sarjana farmasi, namun sarjana ilmu farmasi dapat bekerja pada industri dan lembaga penelitian.
"Jadi, sarjana ilmu farmasi bukan apoteker, tapi dia menjadi peneliti farmasi yang bekerja pada industri dan lembaga penelitian. Selama ini, peneliti di industri farmasi berasal dari apoteker, tentu hal itu tidak boleh lagi, karena sarjana ilmu farmasi akan dicetak dengan standar tertentu," katanya.
Hingga Desember 2012, katanya, KFN masih mencatat adanya 45 ribu apoteker se-Indonesia, padahal kebutuhan ideal apoteker seharusnya ada satu apoteker untuk setiap 30 bed (kamar tidur) di rumah sakit.
Agenda peringatan Tahun Emas Farmasi Unair (1963-2013) antara lain Seminar Nasional, Seminar Internasional, Pelatihan Kultur Sel Kanker dan Aplikasinya, Refreshing Course dan Workshop, Airlangga Pharma Expo (APEX), Sarasehan Alumni FF-UA se-Indonesia, Alumni Sambang Kampus, Malam Reuni Akbar, Peluncuran Buku Tahun Emas, dan Jalan Sehat.
Selain itu, Penyuluhan Kepada Ibu-ibu PKK, Polwan, Keluarga Bhayangkari, Pelajar SMA/Sederajat, Kompetisi Segitiga Emas 2013, Pharmacist Counseling Competition, Program Kreativitas Mahasiswa, Ketangkasan dan Olahraga, Kompetisi Paduan Suara, Lomba Menghias Kampus, Pemilihan Duta Farmasi 2013, Airlangga Clinical Events (ACE), dan Seminar Inspirasi Bersama Tokoh Nasional.
"Fakultas Farmasi Unair sudah memiliki 3.825 alumni sejak berdiri pada tahun 1963. Alumni kami antara lain Deputi Kepala Badan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan, Direktur Perapotekan PT Kimia Farma, dan sejumlah industri farmasi, serta alumni yang belajar, mengajar, dan bekerja di luar negeri," kata Ketua V Panitia Tahun Emas Farmasi Unair Prof Dr Mangestuti Agil MS Apt.
"Sebenarnya ada 74 pendidikan tinggi farmasi di Indonesia, tapi umumnya mencetak sarjana strata 1 (S-1) dan hanya 26 pendidikan tinggi farmasi itu yang memiliki pendidikan profesi apoteker," kata Dekan Fakultas Farmasi Unair Surabaya Dr Umi Athiyah MS Apt di Surabaya, Kamis.
Didampingi panitia peringatan Tahun Emas Farmasi Unair (1963-2013) Prof Dr Mangestuti Agil MS Apt dan Andi Hermansyah MSc Apt, ia menjelaskan pihaknya akan membahas "nasib" ke-48 pendidikan farmasi non-apoteker itu dalam seminar di fakultas setempat pada 28 Juni.
"Untuk itu, panitia mendatangkan lima pemangku kepentingan dari Ditjen Dikti Kemdikbud, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI), Ditjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kemenkes, dan Komite Farmasi Nasional (KFN)," katanya.
Ia mengharapkan seminar yang dihadiri 100 peserta dari kalangan pendidikan tinggi farmasi, praktisi/apoteker, dan industri farmasi itu akan melahirkan kebijakan tentang 48 pendidikan tinggi non-apoteker.
"Rakernas IAI di Makassar pada 2010 sudah merumuskan standar apoteker, karena itu pendidikan tinggi farmasi diharuskan memiliki pendidikan profesi dan pendidikan tinggi farmasi yang tidak memilikinya harus mendorong mahasiswanya menempuh pendidikan profesi apoteker yang dimiliki 26 pendidikan tinggi farmasi itu," katanya.
Namun, ke-48 pendidikan tinggi farmasi yang belum memiliki pendidikan profesi apoteker diharusnya memilikinya sesuai persyaratan berupa fasilitas yang memenuhi standar apoteker itu. "Kalau tidak mampu, barangkali perlu kebijakan seperti di luar negeri bahwa pendidikan tinggi farmasi itu menghasilkan dua output yakni apoteker dan sarjana ilmu farmasi," katanya.
Menurut dia, apoteker bekerja di apotek dengan dukungan tenaga teknis kefarmasian dengan standar di bawah apoteker yakni asisten apoteker dan sarjana farmasi, namun sarjana ilmu farmasi dapat bekerja pada industri dan lembaga penelitian.
"Jadi, sarjana ilmu farmasi bukan apoteker, tapi dia menjadi peneliti farmasi yang bekerja pada industri dan lembaga penelitian. Selama ini, peneliti di industri farmasi berasal dari apoteker, tentu hal itu tidak boleh lagi, karena sarjana ilmu farmasi akan dicetak dengan standar tertentu," katanya.
Hingga Desember 2012, katanya, KFN masih mencatat adanya 45 ribu apoteker se-Indonesia, padahal kebutuhan ideal apoteker seharusnya ada satu apoteker untuk setiap 30 bed (kamar tidur) di rumah sakit.
Agenda peringatan Tahun Emas Farmasi Unair (1963-2013) antara lain Seminar Nasional, Seminar Internasional, Pelatihan Kultur Sel Kanker dan Aplikasinya, Refreshing Course dan Workshop, Airlangga Pharma Expo (APEX), Sarasehan Alumni FF-UA se-Indonesia, Alumni Sambang Kampus, Malam Reuni Akbar, Peluncuran Buku Tahun Emas, dan Jalan Sehat.
Selain itu, Penyuluhan Kepada Ibu-ibu PKK, Polwan, Keluarga Bhayangkari, Pelajar SMA/Sederajat, Kompetisi Segitiga Emas 2013, Pharmacist Counseling Competition, Program Kreativitas Mahasiswa, Ketangkasan dan Olahraga, Kompetisi Paduan Suara, Lomba Menghias Kampus, Pemilihan Duta Farmasi 2013, Airlangga Clinical Events (ACE), dan Seminar Inspirasi Bersama Tokoh Nasional.
"Fakultas Farmasi Unair sudah memiliki 3.825 alumni sejak berdiri pada tahun 1963. Alumni kami antara lain Deputi Kepala Badan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan, Direktur Perapotekan PT Kimia Farma, dan sejumlah industri farmasi, serta alumni yang belajar, mengajar, dan bekerja di luar negeri," kata Ketua V Panitia Tahun Emas Farmasi Unair Prof Dr Mangestuti Agil MS Apt.