Selain pasar loak, ada juga pasar yang kerap menjadi sasaran pemburu barang bekas, yakni pasar antik. Di sinilah para kolektor lazimnya memperoleh barang bekas berkelas.
Harga bisa diatur, sebab memang tak ada ketentuan baku. Selagi penjual dan pembeli cocok, barang antik incaran sudah tentu bisa dibawa pulang.
Ida mungkin satu di antara banyak pecinta barang antik. Di kala senggang, ibu rumah tangga ini sering meluangkan waktu untuk menyambangi penjualan barang-barang lawas.
Ada kepuasan tersendiri bila Ida memperoleh barang antik, khususnya yang dari kristal, sebagai penambah hiasan rumahnya di kawasan Ngagel, Surabaya, Jawa Timur.
Selain kristal, Ida juga penyuka berbagai kain batik berusia puluhan hingga ratusan tahun. Barang antik memang memiliki kesan unik. Tak banyak orang rela menghabiskan waktu memburunya.
Hanya segelintir yang mau keluar masuk pasar atau pergi ke berbagai tempat untuk mencari barang idaman, seperti Sri Rosinawati Tjandra. Bersama suami, Sri pergi ke berbagai daerah dan negara untuk mengumpulkan beragam benda antik.
Antik, loak, tradisional, modern, atau pasar apa pun itu sejatinya adalah wadah interaksi sosial di sela pemenuhan kebutuhan naluri purba manusia.
Pasar Dupak Rukun memang pasar loak raksasa. Ada 2 ribuan kios di lahan sekitar 4 hektare ini. Barang bekas yang dijual nyaris lengkap.
Dari yang berukuran kecil seperti peniti hingga jangkar kapal besar. Dari beragam bentuk besi hingga potongan mobil, semua tersedia. Semua ada angkanya, semua ada harganya. Rata-rata para pedagang loak bisa mengantongi uang Rp 1,5 juta per hari.
Maka jangan heran, perputaran uang di Dupak Rukun begitu besar hingga mencapai miliaran rupiah. Berlangsung sepanjang hari, sepanjang pekan, sepanjang bulan, terus-menerus sepanjang tahun.
Abdul Jalil adalah salah satu pedagang yang beruntung. Penjual aneka besi ini bisa meraup pemasukan lebih dari Rp 300 juta setiap bulan atau sekitar Rp 10 juta sehari.
Mohamad Tauhid menjadi contoh betapa pentingnya keberadaan pasar loak. Kakek berusia 63 tahun ini adalah pelanggan setia Dupak Rukun.
Hampir tiap minggu Tauhid blusukan ke pasar loakan. Sebagai penjahit, Tauhid sangat terbantu sebab hampir semua peralatan kerjanya ada di sini.
Sesekali dia mendapat barang bagus dengan harga murah, tapi sekali waktu dia bisa pula tertimpa sial. Kesialan tak serta merta membuat pecinta pasar loak kapok. Itu seperti risiko yang justru membuat sensasi tersendiri di dunia para loak.
Cerita Tentang Pasar
Tentang areal yang tumbuh karena manusia memang selalu butuh apa pun selama hidup. Jauh sebelum uang dikenal, suku-suku di Mesopotamia, kini wilayah Irak, punya cara praktis yang disebut barter atau metode tukar barang.
Metode 6.000 tahun SM itu, periode yang diyakini sebagai awal mula peradaban, dipercaya sebagai awal sejarah hadirnya uang dan pasar.
Zaman bergerak. Pasar tradisonal tak lagi asing, begitu juga yang modern. Tapi keduanya tak selalu lengkap. Maka harus ada pasar lain meski barang yang dijual rongsokan atau bekas. Orang mengenal pasar model begini dengan istilah pasar loak.
Indonesia boleh saja bangga, sebab di Surabaya, Jawa Timur, Pasar Loak Dupak Rukun menjadi satu-satunya loakan terbesar di Asia Tenggara.
Berdiri pada tahun 1977, pasar ini hadir secara resmi sebab Menteri Dalam Negeri saat itu, Amir Mahmud yang punya gagasan.
Pemerintah sengaja membangun pasar loak untuk menampung para pedagang dari berbagai tempat di Surabaya, sekaligus memisahkan antara pedagang kaki lima dan para penjual besi tua. (Frd)
Harga bisa diatur, sebab memang tak ada ketentuan baku. Selagi penjual dan pembeli cocok, barang antik incaran sudah tentu bisa dibawa pulang.
Ida mungkin satu di antara banyak pecinta barang antik. Di kala senggang, ibu rumah tangga ini sering meluangkan waktu untuk menyambangi penjualan barang-barang lawas.
Ada kepuasan tersendiri bila Ida memperoleh barang antik, khususnya yang dari kristal, sebagai penambah hiasan rumahnya di kawasan Ngagel, Surabaya, Jawa Timur.
Selain kristal, Ida juga penyuka berbagai kain batik berusia puluhan hingga ratusan tahun. Barang antik memang memiliki kesan unik. Tak banyak orang rela menghabiskan waktu memburunya.
Hanya segelintir yang mau keluar masuk pasar atau pergi ke berbagai tempat untuk mencari barang idaman, seperti Sri Rosinawati Tjandra. Bersama suami, Sri pergi ke berbagai daerah dan negara untuk mengumpulkan beragam benda antik.
Antik, loak, tradisional, modern, atau pasar apa pun itu sejatinya adalah wadah interaksi sosial di sela pemenuhan kebutuhan naluri purba manusia.
Pasar Dupak Rukun memang pasar loak raksasa. Ada 2 ribuan kios di lahan sekitar 4 hektare ini. Barang bekas yang dijual nyaris lengkap.
Dari yang berukuran kecil seperti peniti hingga jangkar kapal besar. Dari beragam bentuk besi hingga potongan mobil, semua tersedia. Semua ada angkanya, semua ada harganya. Rata-rata para pedagang loak bisa mengantongi uang Rp 1,5 juta per hari.
Maka jangan heran, perputaran uang di Dupak Rukun begitu besar hingga mencapai miliaran rupiah. Berlangsung sepanjang hari, sepanjang pekan, sepanjang bulan, terus-menerus sepanjang tahun.
Abdul Jalil adalah salah satu pedagang yang beruntung. Penjual aneka besi ini bisa meraup pemasukan lebih dari Rp 300 juta setiap bulan atau sekitar Rp 10 juta sehari.
Mohamad Tauhid menjadi contoh betapa pentingnya keberadaan pasar loak. Kakek berusia 63 tahun ini adalah pelanggan setia Dupak Rukun.
Hampir tiap minggu Tauhid blusukan ke pasar loakan. Sebagai penjahit, Tauhid sangat terbantu sebab hampir semua peralatan kerjanya ada di sini.
Sesekali dia mendapat barang bagus dengan harga murah, tapi sekali waktu dia bisa pula tertimpa sial. Kesialan tak serta merta membuat pecinta pasar loak kapok. Itu seperti risiko yang justru membuat sensasi tersendiri di dunia para loak.
Cerita Tentang Pasar
Tentang areal yang tumbuh karena manusia memang selalu butuh apa pun selama hidup. Jauh sebelum uang dikenal, suku-suku di Mesopotamia, kini wilayah Irak, punya cara praktis yang disebut barter atau metode tukar barang.
Metode 6.000 tahun SM itu, periode yang diyakini sebagai awal mula peradaban, dipercaya sebagai awal sejarah hadirnya uang dan pasar.
Zaman bergerak. Pasar tradisonal tak lagi asing, begitu juga yang modern. Tapi keduanya tak selalu lengkap. Maka harus ada pasar lain meski barang yang dijual rongsokan atau bekas. Orang mengenal pasar model begini dengan istilah pasar loak.
Indonesia boleh saja bangga, sebab di Surabaya, Jawa Timur, Pasar Loak Dupak Rukun menjadi satu-satunya loakan terbesar di Asia Tenggara.
Berdiri pada tahun 1977, pasar ini hadir secara resmi sebab Menteri Dalam Negeri saat itu, Amir Mahmud yang punya gagasan.
Pemerintah sengaja membangun pasar loak untuk menampung para pedagang dari berbagai tempat di Surabaya, sekaligus memisahkan antara pedagang kaki lima dan para penjual besi tua. (Frd)