Pembeli minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dari perusahaan perkebunan di Indonesia kini banyak yang mengalihkan pembeliannya ke Malaysia.
Menurut Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai Kementerian Keuangan menyatakan kondisi ini menyusul penetapan pajak ekspor Malaysia turun menjadi 0%.
Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengutip laporan penerimaan Ditjen Bea Cukai, Sabtu (6/7/2013), ekspor CPO Indonesia mengalami penurunan setiap bulan.
Ekspor CPO Indonesia pada Januari 2013 tercatat mencapai 2,05 juta ton, lalu pada Februari turun 14% menjadi 1,92 juta ton. Dan kembali merosot di Maret 2013 sebesar 11,4% menjadi 1,7 juta ton.
Dari laporan tersebut, ekspor CPO di bulan ketiga menyentuh level terendah sejak Oktober 2012 akibat beralihnya pembeli CPO ke Malaysia.
Negara tersebut memberlakukan pajak ekspor 0% pada Januari-Februari 2013 dalam rangka menurunkan stok CPO. Sedangkan pajak ekspor Maret-Mei dipatok 4,5%.
Sedangkan di India yang merupakan pembeli utama CPO mengenakan tarif impor CPO 2,5% sejak Januari 2013 untuk melindungi local oilseed growers.
Sementara itu, sejak Januari-April, tarif bea keluar CPO dari Indonesia terus mengalami peningkatan dari 7,5% di bulan pertama, lalu melonjak 9% di Februari serta 10,5% pada Maret dan April ini. Kemudian kembali dipangkas menjadi 9% pada Mei 2013 atau rata-rata tarif bea keluar 9,25%.
Sampai dengan 28 Juni 2013, penerimaan bea keluar mengalami penurunan sangat tajam hanya Rp 6,9 triliun atau 37% dari realisasi periode yang sama tahun lalu.
Sementara bila dibandingkan target proporsional untuk semester I yang seharusnya bisa meraih Rp 8,6 triliun, jumlah itu hanya mencapai 80,19%. Sedangkan terhadap target APBN-P 2013 sebesar Rp 17,61 triliun hanya sebesar 39,33%.
Penurunan penerimaan tersebut juga disebabkan karena harga internasional atas komoditas ekspor utama yang wajib kena bea keluar seperti CPO, turunan CPO dan bijih mineral.
Pada Januari-Juni 2012, rata-rata harga referensi CPO mencapai US$ 1.106,8 per metrik ton (MT) dengan rata-rata tarif bea keluar 17,1%. Sedangkan di periode yang sama 2013, harganya menyusut signifikan menjadi US$ 829 per MT dan rata-rata tarif bea keluar 9,25%. (Fik/Nur)
Menurut Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai Kementerian Keuangan menyatakan kondisi ini menyusul penetapan pajak ekspor Malaysia turun menjadi 0%.
Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengutip laporan penerimaan Ditjen Bea Cukai, Sabtu (6/7/2013), ekspor CPO Indonesia mengalami penurunan setiap bulan.
Ekspor CPO Indonesia pada Januari 2013 tercatat mencapai 2,05 juta ton, lalu pada Februari turun 14% menjadi 1,92 juta ton. Dan kembali merosot di Maret 2013 sebesar 11,4% menjadi 1,7 juta ton.
Dari laporan tersebut, ekspor CPO di bulan ketiga menyentuh level terendah sejak Oktober 2012 akibat beralihnya pembeli CPO ke Malaysia.
Negara tersebut memberlakukan pajak ekspor 0% pada Januari-Februari 2013 dalam rangka menurunkan stok CPO. Sedangkan pajak ekspor Maret-Mei dipatok 4,5%.
Sedangkan di India yang merupakan pembeli utama CPO mengenakan tarif impor CPO 2,5% sejak Januari 2013 untuk melindungi local oilseed growers.
Sementara itu, sejak Januari-April, tarif bea keluar CPO dari Indonesia terus mengalami peningkatan dari 7,5% di bulan pertama, lalu melonjak 9% di Februari serta 10,5% pada Maret dan April ini. Kemudian kembali dipangkas menjadi 9% pada Mei 2013 atau rata-rata tarif bea keluar 9,25%.
Sampai dengan 28 Juni 2013, penerimaan bea keluar mengalami penurunan sangat tajam hanya Rp 6,9 triliun atau 37% dari realisasi periode yang sama tahun lalu.
Sementara bila dibandingkan target proporsional untuk semester I yang seharusnya bisa meraih Rp 8,6 triliun, jumlah itu hanya mencapai 80,19%. Sedangkan terhadap target APBN-P 2013 sebesar Rp 17,61 triliun hanya sebesar 39,33%.
Penurunan penerimaan tersebut juga disebabkan karena harga internasional atas komoditas ekspor utama yang wajib kena bea keluar seperti CPO, turunan CPO dan bijih mineral.
Pada Januari-Juni 2012, rata-rata harga referensi CPO mencapai US$ 1.106,8 per metrik ton (MT) dengan rata-rata tarif bea keluar 17,1%. Sedangkan di periode yang sama 2013, harganya menyusut signifikan menjadi US$ 829 per MT dan rata-rata tarif bea keluar 9,25%. (Fik/Nur)