Penyebab Rendahnya Kualitas Daftar Pemilih Pemilu 2014

Kekhawatiran rendahnya kualitas daftar pemilih Pemilu 2014 dibanding sebelumnya kini mencuat.

oleh Rochmanuddin diperbarui 12 Jul 2013, 09:26 WIB
KPU telah mengumumkan Daftar Pemilih Sementara (DPS) pada 10 Juli kemarin. Namun, kekhawatiran rendahnya kualitas daftar pemilih Pemilu 2014 dibanding sebelumnya kini mencuat.

"Melihat proses penyusunan DPS yang telah ditetapkan kemarin, saya pesimis kualitas daftar pemilih Pemilu kita lebih baik dari pemilu sebelumnya. Bahkan, tidak mustahil karut-marut DPT (Daftar Pemilih Tetap) akan kembali terulang," ujar koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahuddin dalam pesan singkatnya, di Jakarta, Jumat (12/7/2013).

Menurut Said, ada 4 faktor yang menyebabkan kualitas DPS Pemilu 2014 sangat rendah. Pertama, Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang menjadi sumber data DPS terbukti berkualitas buruk. Pemutakhiran DPS dinilai tidak berjalan semestinya.

"Pemilih yang telah meninggal dunia, anak-anak, pemilih yang sudah berpindah tempat tinggal, di mana kesemua pemilih itu nyata-nyata telah berulangkali dicoret oleh PPS pada pelaksanaan pemilu-pemilu sebelumnya, ternyata masih saja muncul dalam DP4," bebernya.

Menurut Said, DP4 yang buruk ini bukan semata kesalahan pemerintah, sebab KPU turut bertanggungjawab. Merujuk Pasal 32 ayat 5 UU Pemilu, DP4 sesungguhnya data hasil sinkronisasi dari Data Agregat Kependudukan setiap kecamatan dan data WNI di luar negeri, yang pelaksanaannya dilakukan antara pemerintah dan KPU.

"Akibat proses sinkronisasi data yang tidak dilakukan secara optimal itulah DP4 menjadi bermasalah," kata Said.

Kedua, lanjut dia, sistem daftar pemilih (Sidalih) yang kerap dibanggakan KPU, terbukti gagal. Dari hasil pemantauan ditemukan, penyelenggara pemilu di tingkat bawah, seperti Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang diminta untuk memproses data oleh KPU Kabupaten atau kota, ternyata tidak disediakan sarana penunjang internet.

"Bagaimana mungkin petugas bisa bekerja optimal jika perangkatnya tidak disediakan? Andai pun PPS berinisiatif menggunakan jaringan internet milik pribadi atau coba memanfaatkan fasilitas warnet, misalnya, maka kerap muncul masalah pada sistem Sidalih KPU," paparnya.

Ketiga, tambah Said, ada kesan KPU seperti menyepelekan persoalan daftar pemilih. Karena UU Pemilu memperbolehkan pemilih menggunakan KTP untuk  memberikan suara apabila yang bersangkutan tidak terdaftar dalam DPT.

"Mungkin KPU berpikir, dengan adanya aturan itu, maka DPT bukan lagi perkara besar. Kalau DPT bermasalah, toh pemilih tetap bisa menggunakan hak suaranya, mungkin begitu rumus KPU," katanya.

Padahal, tegas Said, DPT sesungguhnya persoalan yang sangat serius. Karena dari besaran DPT-lah ditentukan berapa jumlah surat suara yang akan dicetak nantinya. Selembar saja surat suara dicetak tidak sesuai aturan, maka berpotensi pidana.

Keempat, sambung dia, tidak adanya penghargaan KPU kepada petugas di level bawah. Misalnya saja untuk ketua PPS di DKI Jakarta, KPU hanya memberikan honor Rp 500 ribu. Itu pun masih harus dipotong pajak. Sementara anggota PPS tentu mendapatkan honor yang lebih rendah.

"Padahal, beban kerja dan tanggung jawab PPS begitu besar dalam Pemilu. Untuk Pelaksanaan Pemilukada DKI Jakarta 2012 saja, mereka diberikan honor sekitar Rp 1 juta. Dengan honor yang tidak wajar bahkan bisa disebut tidak manusiawi itu, tentu sulit diharapkan PPS bisa bekerja dengan sungguh-sungguh dan optimal," tandas Said. (Mut/Ism)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya