Kembangkan Shale Gas, Pertamina Dituding Rusak Lingkungan

Pengembangan shale gas oleh Pertamina dituding dapat merusak lingkungan dan merugikan kesehatan masyarakat.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 15 Jul 2013, 15:27 WIB
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan pengembangan shale gas yang dilakukan PT Pertamina (Persero) merupakan ancaman serius terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.

"Yang paling serius adalah dampak terhadap kualitas air tanah," jelas Pengkampanye Tambang dan Energi Walhi Pius Ginting dalam keterangan tertulisnya, Senin (15/7/2013).

Pius menjelaskan shale gas adalah gas alam non konvensional sebagian besar terdiri dari metan,  terdapat di reservoir pada batuan shale. Shale adalah batuan sedimen terbentuk dari pemadatan lumpur, liat dan batuan halus lainnya. Hal ini membuatnya sulit diekstraksi karena batuan shale sulit ditembus (non permeable).

Untuk ekstraksinya digunakan proses yang dikenal dengan peretakan (hydraulic fracture atau fracking). Fracking dilakukan pada pemboran dalam umumnya 1,5 kilometer (km) hingga 6 km ke dalam bumi, secara vertikal atau horizontal, dilakukan beserta injeksi air, bahan butiran seperti pasir proppant dan bahan kimia-kimia termasuk bahan yang dapat memicu kanker seperti benzene dan formaldehyde.

"Menggunakan tekanan tinggi untuk merekahkan shale dan memaksa gas keluar lewat pori-pori dalam batuan ke dalam sumur produksi," tutur Pius.

Selain itu, air limbah terkontaminasi dengan bahan kimia perekahan dan bahan polutan alami seperti logam berat, akan muncul ke permukaan. Setiap sumur produksi biasanya menurun setelah 18 bulan karena konsentrasi gas menurun. Akibatnya operator membuat lubang lain disekitar yang pertama.

Menurut Badan Energi Internasional (IEA) lapangan gas konvensional mungkin hanya perlu kurang dari satu sumur per 10 km persegi, tapi lapangan gas unkonvensional butuhkan lebih satu sumur per km² sehingga sangat sangat berpengaruh terhadap penduduk lokal dan lingkungan.

Pius melanjutkan, investasi shale gas menghambat pengembangan energi terbarukan. Dengan memulai eksplorasi shale gas, Pertamina dan perusahaan migas lain akan membuat Indonesia kian terkunci dan ketagihan pada energi fosil. Sementara itu, sektor energi Indonesia penyumbang emisi gas rumah kaca  terbesar kedua Indonesia karena mengandalkan energi fosil.

Target pemerintah untuk pengembangan energi terbarukan masih rendah kurang dari 10% pada 2025. Target ini pun kian sulit dicapai bila investasi justru dilakukan pada shale gas, bukan di energi terbarukan.

Ekstraksi shale gas membutuhkan air banyak, sehingga menimbulkan ancaman kekeringan daerah sekitarnya, terlebih pada musim kemarau. Setiap operasi fracking menggunakan  sekitar 15 juta liter air.

Air untuk sebuah sumur bisa setara dengan air untuk wilayah perkotaan seperti Jakarta untuk sekitar 1000 tahun. Proses fracking menggunakan sejumlah bahan kimia toksik. Industri migas biasa menyatakan cairan yang diinjeksikan umumnya terdiri 98%-99,5 % air. Bila standar sebuah  sumur shale gas membutuhkan 15 juta liter air, berarti bahan kimia berbahaya yang digunakan berton-ton.

"Cairan kimia fracking bisa terdiri dari 300 bahan. Dan 40% diantaranya dikenal mengganggu sistem hormonal, sepertiganya penyebab kanker, dan 60 % diantaranya dapat merusak otak dan sistem saraf," pungkasnya. (Pew/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya