Dirjen Pajak Ngotot Asian Agri Lunasi Utang Pajak Rp 1,25 Triliun

Dirjen Pajak Fuad Rahmany menegaskan Grup Asian Agri harus tetap melunasi kewajiban utang pajak Rp 1,25 triliun dari 14 perusahaannya

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 15 Jul 2013, 18:13 WIB
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Fuad Rahmany menegaskan, Grup Asian Agri harus tetap melunasi kewajiban utang pajak senilai Rp 1,25 triliun dari 14 perusahaannya.

"Dia (Asian Agri) memang mengajukan keberatan. Tapi mereka sudah membayar pajak separuhnya," tutur dia singkat saat ditemui di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (15/7/2013).

Sebelumnya, 14 sayap usaha perusahaan pengolahan dan perkebunan kelapa sawit itu berniat mengajukan keberatan sesuai ketentuan yang berlaku. Rencananya perusahaan akan mengajukan keberatan kepada DJP paling lambat pada Agustus mendatang.

"Sesuai undang-undang, pengajuan keberatan itu maksimal dilakukan tiga bulan sejak SKP kita terima," ujar General Manager Asian Agri Freddy Widjaya.

Dalam mengajukan keberatan, Fuad menilai, Asian Agri mesti mengikuti proses yang berlaku. Jika pengadilan memutuskan perusahaan tersebut bersalah, maka Asian Agri terancam kena sanksi.

"Nanti kan ada proses keberatan, lalu mengajukan banding. Dan kalau kalah di pengadilan pajak, dia harus bayar (pajak) dan jika sudah bayar pun, bakal kena denda lagi keterlambatan," papar dia.

Namun ketika dikonfirmasi lebih jauh mengenai jumlah denda keterlambatan, Fuad enggan berkomentar dan langsung meninggalkan halaman kantor Kemenkeu.

Seperti diketahui, Grup Asian Agri telah bersikap kooperatif dengan setuju membayar pajak 14 perusahaannya seperti yang ditetapkan pemerintah melalui Surat Ketentuan Pajak (SKP) yang diterbitkan Direktorat Jendral Pajak (DJP) senilai Rp 1,25 triliun.

Namun Asian Agri mengajukan keberatan dengan mempermasalahkan periode pajak dari tahun 2002 hingga 2005, perseroan merasa telah melaksanakan kewajiban dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan membayar pajak.

Selain itu, Asian Agri juga akan mempertanyakan penetapan jumlah kekurangan pajak Rp 1,25 triliun. Besaran tersebut dinilai melebihi total keuntungan perusahaan periode 2002 hingga 2005 yang hanya sebesar Rp 1,24 triliun.

"Tidak ada negara manapun di dunia ini yang memungut pajak yang nilainya lebih dari 100% keuntungan perusahaan," jelas Freddy (Fik/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya