CSIS: Soal Kudeta, RI Lebih Beruntung daripada Mesir

Indonesia lebih beruntung lantaran pasca reformasi 1998 kondisi Indonesia berangsur normal dan tidak ada kudeta lagi.

oleh Riski Adam diperbarui 18 Jul 2013, 19:54 WIB
Presiden Mesir Mohammed Morsi digulingkan oleh militer dari kursi kepemimpinannya. Pemimpin dari Ikhwanul Muslimin itu juga dikabarkan ditahan oleh militer Mesir. Nasibnya serupa dengan Hosni Mubarak yang dilengserkan paksa 2011 lalu.

Menurut peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips Jusario Vermonte, gejolak demokrasi yang terjadi di Mesir hampir sama dengan fenomena gerakan reformasi 1998 di Indonesia. Karena gejolak perubahan dilakukan oleh anak-anak muda.

Namun, Indonesia lebih beruntung lantaran pasca reformasi 1998 kondisi Indonesia berangsur normal dan tidak ada kudeta lagi sampai saat ini.

Pascareformasi 1998, Indonesia melakukan pemilu terlebih dahulu, baru mengubah konstitusi atau mengamandemen. Hal itu berbeda dengan Mesir, di mana politisinya lebih mengutamakan mengubah konstitusi dulu baru menggelar pemilu.

"Indonesia sangat beruntung karena pascareformasi kita melakukan Pemilu 1999 terlebih dahulu, bukan mengubah konstitusi. Sehingga kita bisa berjalan berkesinambungan dalam pemerintahannya hingga saat ini," kata Philips dalam diskusi bertema 'Gejolak Timur Tengah dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia' di Megawati Institute, Jakarta, Kamis (18/7/2013).

Philips menilai langkah para politisi Mesir yang ingin mengubah konstitusi terlebih dahulu ketimbang memilih presidennya melalui pemilu akan sangat sulit dilakukan. "Karena mengubah konstitusi membutuhkan waktu yang panjang untuk menyamakan ideologi dalam sebuah konstitusi. Dan itu akan sangat sulit dilaksanakan daripada menggelar pemilu atau memilih presidennya terlebih dahulu," tuturnya.

Tak hanya itu, pola perpolitikan di Indonesia, menurut Philips, lebih dewasa ketimbang di Mesir. Lantaran para elit politik di Mesir tidak bisa melakukan negosiasi di antara para petinggi petinggi politik di negaranya, sehingga sulit menemukan pemikiran bersama dalam membangun negaranya ke depan.

"Masa depan pluralisme di Indonesia itu tidak perlu dikhawatirkan, karena budaya di Indonesia berbeda dengan yang di Mesir," tukas Philips. (Ein/Sss)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya