KAJS Tolak Keputusan Pemerintah soal Iuran PBI Rp 19 Ribu

Said Iqbal menegaskan, nilai iuran Rp 19 ribu itu menunjukan inkonsistensi pemerintah yang bersamaan menetapkan iuran jaminan kesehatan.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 22 Jul 2013, 06:59 WIB
Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) menolak keputusan pemerintah yang dipimpin Wakil Presiden Budiono tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang telah ditetapkan pemerintah sebesar Rp 19 ribu perorang untuk 86,4 juta orang.

Sekjen KAJS sekaligus Presiden KSPI, Said Iqbal menegaskan nilai iuran Rp 19 ribu itu menunjukan inkonsistensi pemerintah yang pada saat bersamaan menetapkan iuran jaminan kesehatan untuk buruh dan pengusaha sebesar 5 persen dari upah yaitu kira-kira sebesar Rp 60 ribu per orang (memakai UMP Jabodetabek).

"Jadi sikap pemerintah ini hanya ingin menarik dana masyarakat tapi melepaskan tangung jawab negara," tegas Iqbal dalam keterangan persnya yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Senin 21 Juli 2013 .

Oleh karena itu, KAJS menolak keputusan tersebut dan akan melakukan perlawanan secara hukum akibat bertentangan dengan konstitusi. Seperti UUD 1945, UU SJSN dan UU BPJS.

Jika telah diberlakukan, pihaknya mengancam akan melakukan aksi besar-besaran agar pemerintah menjalankan jaminan kesehatan sesuai perintah konstitusi.

"Karena, jumlah peserta PBI, bukan 86,4 juta orang tetapi harus 156 juta orang. Yaitu berasal dari 96,7 juta orang miskin dan tidak mampu berdasarkan data TNP2K (sekretariat Wakil Presiden) dan DJSN ditambah 45,5 juta orang peserta Jamkesda (data Kemenkes). Dan ditambah buruh yang berpenghasilan upah minimum harus dikategorikan sebagai PBI," ujar dia.

Selain itu, KAJS menolak pelaksanaan jaminan kesehatan secara bertahap untuk rakyat karena melanggar UU SJSN dan BPJS.

"Bahwa peserta Jamkesda wajib diintegrasikan kedalam peserta BPJS kesehatan, tidak boleh terpisah karena akan melanggar prinsip portabilitas," ungkap dia.

KAJS, sambungnya, menuntut iuran PBI sebesar Rp. 22.500 bukan Rp.19.000, karena tidak boleh alasan ketidakmampuan fiskal dijadikan alasan untuk mengurangi nilai iuran yang akan berimplikasi terhadap kualitas pelayanan kesehatan.

"Bahkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta nilai iuran sebesar Rp. 60 ribu per orang," tandas Said.* (Edo/Tnt)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya