MK: Usut Hinaan Habib Rizieq FPI, SBY Harus Ngadu ke Polisi

Persoalan SBY versus FPI ini dinilai Akil hanya sebatas masalah personal.

oleh Oscar Ferri diperbarui 26 Jul 2013, 10:44 WIB
Pernyataan sinis Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab yang menyebut Presiden SBY pecundang dikecam banyak pihak. SBY pun diminta untuk memperkarakan hal ini. Namun karena Mahkamah Konstitusi pernah memutus menghapus Pasal Penghinaan Presiden pada 2006, maka untuk penindaklanjutan kasus ini dibutuhkan laporan dari SBY kepada pihak kepolisian.

"Iya (harus ada aduan dulu ke polisi). Jadi masuknya delik aduan biasa, baru diproses toh. Menggunakan Pasal 310 KUHP tentang Penghinaan," kata Ketua MK Akil Mochtar di kantornya, Jakarta, Jumat (26/7/2013).

"Contoh dulu Zainal Maarif mengadu ke Polda Metro Jaya. Kalau dulu kan begitu ngomong di sini hina Presiden, tanpa ada laporan, polisi bisa memproses. Sekarang harus mengisyaratkan adanya pengaduan dulu," jelasnya.

Mantan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar ini menegaskan, perlindungan terhadap seorang Presiden tetap ada. Namun layaknya warga negara Indonesia yang lain, Presiden harus melakukan pengaduan ke pihak kepolisian. Meskipun begitu, laporan dari Presiden tetap akan menjadi prioritas. Selain itu SBY juga bisa menggunakan momen ini untuk menilai kinerja kepolisian dalam memproses laporan dari warga negaranya.

"Dulu hanya disyaratkan tidak perlu adanya pengaduan. Nah kalau sekarang kan harus diperiksa, apa betul masuk delik penghinaan atau tidak. Benar tidak masuk unsur pidana. Sebenarnya untuk menguji juga bisa. Kalau Presiden mengadu kok cepat diproses, kenapa rakyat biasa tidak? Kan begitu bisa untuk menguji juga" ujarnya.

Persoalan SBY versus FPI ini dinilai Akil hanya sebatas masalah personal. Maka pengusutan kasus penghinaan ini akan diproses jika Presiden memang merasa terganggu dengan masalah ini. Berbeda misalnya, dengan rencana pembunuhan Presiden. Jika kasus seperti ini ditemukan, maka secara otomatis harus langsung diproses.

"Tapi kalau dihina, Presiden tidak marah, karena ini zaman demokrasi, kan repot toh. Apa betul Presidennya terhina atau itu cuma dari pembantu-pembantu Presidennya saja?" ucap Akil.

Pasal Penghinaan Presiden ini telah dihapus MK dengan pemohon Eggi Sudjana. Dalam pertimbangannya, MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan salah tafsir.

"Apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal dimaksud secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 dan pada suatu saat dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi, yang dijamin Pasal 28F UUD 1945," demikian bunyi putusan MK itu.

KUHP yang berlaku saat ini dibentuk pada 1830 oleh pemerintah Belanda dan dibawa ke Indonesia pada 1872. Pemerintah kolonial pun memberlakukan secara nasional pada 1918. (Ndy/Sss)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya