Liputan6.com, Jakarta: Sesuatu yang menonjolkan sensualitas selalu laku dijual. Diakui atau tidak, seks adalah komoditas yang memang laris sepanjang masa. Buktinya, pemilik tabloid atau majalah yang mengeksploitasi seks bak menjual kacang goreng. Padahal, beberapa tabloid nyaris tak memberikan informasi berarti, kecuali gambar-gambar pemancing syahwat.
Tak sulit mencari tabloid yang sering disebut jurnalisme kuning ini. Hampir setiap kios penjual koran menyediakan tabloid atau majalah yang menampilkan gambar buka paha tinggi-tinggi (bupati) dan sekitar wilayah dada (sekwilda). Sampul tabloid umumnya dipenuhi foto wanita berbusana "seadanya". Full color, pasti. Para pengelola tabloid tak pernah kesulitan mencari model yang berani tampil buka-bukaan. Biasanya, yang menjadi obyek adalah model pemula. Mereka rela berbusana minim untuk meraih popularitas.
Menurut Komeng, fotografer sebuah tabloid di Jakarta, baru-baru ini, para model biasanya ditawarkan oleh agen mereka. Kemudian, redaksi memilih model yang dinilai bertubuh proporsional. "Untuk [model] yang berpengalaman, kita cukup lihat aktivitasnya. Lalu kita garap," kata Komeng, tanpa merinci maksud perkataannya.
Setelah diseleksi, jadwal pemotretan ditentukan. Lokasinya bisa di mana saja, tergantung kesepakatan sang fotografer dengan model bersangkutan. Saat pengambilan gambar, sang model yang menentukan pose. Namun, tak jarang fotografer mengarahkan gaya tertentu, sesuai kebutuhan redaksi.
Honor para model besarnya beragam. Jumlahnya tergantung popularitas sang model dan oplag media massa tersebut. Kebanyakan dari mereka enggan menyebutkan upah yang diterima. Namun, beberapa pengelola media menyebutkan honor model berkisar antara Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu, untuk sekali pemotretan.
Buat sebagian orang, pose yang diperagakan tergolong berani. Namun, para model menilai masih dalam batas kewajaran. Bagi Nanda, misalnya. Menurut dia, yang dilakukannya adalah seni, bukan pornografi. "Tergantung orangnya, sih. Kalau masyarakat berpikir itu porno, berarti mereka berpikir negatif. Seharusnya masyarakat berpikir positif," kata Nanda.
Pendapat serupa juga dinyatakan model lain, Azza. Apalagi, menurut dia, selama ini belum ada aturan jelas tentang kriteria pornografi. "Kadang saya bingung, ini porno atau tidak?" kata Azza.
Menurut pengamat hukum pidana Rudy Satrio, peraturan tentang pornografi dalam media massa sebenarnya telah tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 281 tentang Pornografi dan UU Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999. Dalam aturan tersebut dicantumkan pula sanksi hukum bagi para model yang berpose melampaui batas. Selain KUHP dan UU Pokok Pers, saat ini pemerintah dan DPR tengah menggodok Rancangan UU Antipornografi dan Antipornoaksi. Tambahan aturan tersebut diharapkan mampu memerangi pornografi. Andai RUU ini disahkan, tinggal dilihat saja apakah yang berbau sensualitas tetap laris atau tidak.(ZAQ/Tim Derap Hukum)
Tak sulit mencari tabloid yang sering disebut jurnalisme kuning ini. Hampir setiap kios penjual koran menyediakan tabloid atau majalah yang menampilkan gambar buka paha tinggi-tinggi (bupati) dan sekitar wilayah dada (sekwilda). Sampul tabloid umumnya dipenuhi foto wanita berbusana "seadanya". Full color, pasti. Para pengelola tabloid tak pernah kesulitan mencari model yang berani tampil buka-bukaan. Biasanya, yang menjadi obyek adalah model pemula. Mereka rela berbusana minim untuk meraih popularitas.
Menurut Komeng, fotografer sebuah tabloid di Jakarta, baru-baru ini, para model biasanya ditawarkan oleh agen mereka. Kemudian, redaksi memilih model yang dinilai bertubuh proporsional. "Untuk [model] yang berpengalaman, kita cukup lihat aktivitasnya. Lalu kita garap," kata Komeng, tanpa merinci maksud perkataannya.
Setelah diseleksi, jadwal pemotretan ditentukan. Lokasinya bisa di mana saja, tergantung kesepakatan sang fotografer dengan model bersangkutan. Saat pengambilan gambar, sang model yang menentukan pose. Namun, tak jarang fotografer mengarahkan gaya tertentu, sesuai kebutuhan redaksi.
Honor para model besarnya beragam. Jumlahnya tergantung popularitas sang model dan oplag media massa tersebut. Kebanyakan dari mereka enggan menyebutkan upah yang diterima. Namun, beberapa pengelola media menyebutkan honor model berkisar antara Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu, untuk sekali pemotretan.
Buat sebagian orang, pose yang diperagakan tergolong berani. Namun, para model menilai masih dalam batas kewajaran. Bagi Nanda, misalnya. Menurut dia, yang dilakukannya adalah seni, bukan pornografi. "Tergantung orangnya, sih. Kalau masyarakat berpikir itu porno, berarti mereka berpikir negatif. Seharusnya masyarakat berpikir positif," kata Nanda.
Pendapat serupa juga dinyatakan model lain, Azza. Apalagi, menurut dia, selama ini belum ada aturan jelas tentang kriteria pornografi. "Kadang saya bingung, ini porno atau tidak?" kata Azza.
Menurut pengamat hukum pidana Rudy Satrio, peraturan tentang pornografi dalam media massa sebenarnya telah tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 281 tentang Pornografi dan UU Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999. Dalam aturan tersebut dicantumkan pula sanksi hukum bagi para model yang berpose melampaui batas. Selain KUHP dan UU Pokok Pers, saat ini pemerintah dan DPR tengah menggodok Rancangan UU Antipornografi dan Antipornoaksi. Tambahan aturan tersebut diharapkan mampu memerangi pornografi. Andai RUU ini disahkan, tinggal dilihat saja apakah yang berbau sensualitas tetap laris atau tidak.(ZAQ/Tim Derap Hukum)