Ketua Komisi Luar Negeri DPR, Mahfudz Sidiq, menilai penyadapan yang dilakukan pihak intelijen Inggris terhadap Presiden SBY dan akhirnya dimanfaatkan pemerintah Australia, menodai hubungan antara Indonesia dan Australia.
"Berita penyadapan terhadap komunikasi Presiden SBY saat pertemuan G-20 oleh pihak Australia menodai hubungan baik bilateral kedua negara," kata Mahfudz kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (29/7/2013).
Mahfudz menjelaskan, bila berita penyadapan itu benar adanya, maka Pemerintah Australia harus meminta maaf kepada Indonesia. Lantaran, seharusnya Inggris dan Australia tidak perlu ikut campur dalam kebijakan pemerintah Indonesia.
"Australia semestinya tidak ikut menikmati hasil sadapan tersebut karena bisa dipersepsi telah terjadi kerjasama intelejen inggris dan Australia terkait hal ini," jelas Wakil Sekjen PKS itu.
"Pada sisi lain kejadian ini menunjukkan bahwa keamanan komunikasi pejabat tinggi negara masih rentan diintersepsi."
Tak hanya itu, Mahfudz juga meminta kepada Lembaga Sandi Negara atau lembaga intelijen lainnya harus diperkuat dalam menjaga dan mengawal sistem komunikasi para pejabat negara Indonesia agar aman dari ancaman penyadapan yang dapat mencuri rahasia negara.
"Lembaga Sandi Negara harus memastikan bahwa sistem dan perangkat komunikasi pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara aman dan terkendali baik," tegasnya.
Media Australia memberitakan penyadapan Presiden SBY saat menghadiri KTT G20 di London, Inggris, April 2009 lalu. Fairfax Media yang membawahi The Age dan The Sydney Morning Herald melaporkan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd mengambil keuntungan dari penyadapan yang dilakukan agen intelijen Inggris.
"PM Kevin Rudd mendapat keuntungan dari kegiatan mata-mata Inggris terhadap Presiden SBY saat KTT G20 tahun 2009 di London," demikian kata sumber anonim dari intelijen Australia, seperti dimuat Sydney Morning Herald, 26 Juli 2013. (Ary/Ism)
"Berita penyadapan terhadap komunikasi Presiden SBY saat pertemuan G-20 oleh pihak Australia menodai hubungan baik bilateral kedua negara," kata Mahfudz kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (29/7/2013).
Mahfudz menjelaskan, bila berita penyadapan itu benar adanya, maka Pemerintah Australia harus meminta maaf kepada Indonesia. Lantaran, seharusnya Inggris dan Australia tidak perlu ikut campur dalam kebijakan pemerintah Indonesia.
"Australia semestinya tidak ikut menikmati hasil sadapan tersebut karena bisa dipersepsi telah terjadi kerjasama intelejen inggris dan Australia terkait hal ini," jelas Wakil Sekjen PKS itu.
"Pada sisi lain kejadian ini menunjukkan bahwa keamanan komunikasi pejabat tinggi negara masih rentan diintersepsi."
Tak hanya itu, Mahfudz juga meminta kepada Lembaga Sandi Negara atau lembaga intelijen lainnya harus diperkuat dalam menjaga dan mengawal sistem komunikasi para pejabat negara Indonesia agar aman dari ancaman penyadapan yang dapat mencuri rahasia negara.
"Lembaga Sandi Negara harus memastikan bahwa sistem dan perangkat komunikasi pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara aman dan terkendali baik," tegasnya.
Media Australia memberitakan penyadapan Presiden SBY saat menghadiri KTT G20 di London, Inggris, April 2009 lalu. Fairfax Media yang membawahi The Age dan The Sydney Morning Herald melaporkan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd mengambil keuntungan dari penyadapan yang dilakukan agen intelijen Inggris.
"PM Kevin Rudd mendapat keuntungan dari kegiatan mata-mata Inggris terhadap Presiden SBY saat KTT G20 tahun 2009 di London," demikian kata sumber anonim dari intelijen Australia, seperti dimuat Sydney Morning Herald, 26 Juli 2013. (Ary/Ism)