Banyak yang diuntungkan dari budaya mudik. Namun, ada juga yang tak beruntung. Seperti Sri, seorang pedagang jamu gendong keliling di lambung Kapal Ferry, yang menyeberangi Selat Sunda setiap harinya.
Kepada Liputan6.com, Selasa (6/8/2013), Sri menceritakan pengalamannya ketika jumlah penumpang melonjak tak mempengaruhi penjualannya. Ia mengaku pendapatannya justru berkurang.
Sri mengatakan, pembatasan truk-truk untuk menyeberangi Selat Sunda yang menjadi penyebabnya. Sebab langganan jamu tradisional yang digendongnya setiap hari adalah para sopir truk.
"Truk kan ndak masuk mas. Biasanya yang beli kan sopir truk. Lha ini truknya saja 1 kapal cuma 4, paling banter 5," kata Sri yang berusia 37 tahun.
Menurut dia, hanya para sopir truk yang menggemari jamu racikan tangannya. Sedangkan para penumpang lain, seperti pengendara roda dua, maupun empat umumnya tak suka dengan jamu. Para penumpang itu, kata Sri, lebih memilih makan atau minum di restoran kapal.
Perempuan bertubuh sintal yang bertempat tinggal di kawasan Balaraja itu menjelaskan, pada hari biasa dia bisa menjual sampai 2 gendongan jamu racikan tradisional berisi sekitar 8 botol besar. Uang yang bisa dibawa pulang pun berkisar Rp 200-300 per hari biasa.
Namun, pada musim mudik seperti ini. Meski telah mengikuti kapal pulang-pergi menyeberangi Selat Sunda selama 2 kali atau berarti 4 perjalanan, dirinya hanya bisa menjual 1 gendongan jamu. Keuntungan kotornya di masa mudik malah hanya bekisar Rp 150-200 saja.
Sri yang telah berjualan selama hampir 5 tahun mengaku pasrah, meski tetap harus bersenang-senang bersama keluarga di hari Lebaran. "Yaa Lillahita'ala saja," ucap Sri.
Menurut dia, tak banyak pilihan yang bisa dilakukannya selain berjualan jamu. Sebab dia mengaku hanya berpendidikan rendah, dan tak banyak memiliki keterampilan untuk mencari kerja lain. Selain itu, usianya yang tak lagi muda, tentu membuatnya kalah bersaing dengan tenaga kerja muda yang lebih produktif. (Tnt/Mut)
Kepada Liputan6.com, Selasa (6/8/2013), Sri menceritakan pengalamannya ketika jumlah penumpang melonjak tak mempengaruhi penjualannya. Ia mengaku pendapatannya justru berkurang.
Sri mengatakan, pembatasan truk-truk untuk menyeberangi Selat Sunda yang menjadi penyebabnya. Sebab langganan jamu tradisional yang digendongnya setiap hari adalah para sopir truk.
"Truk kan ndak masuk mas. Biasanya yang beli kan sopir truk. Lha ini truknya saja 1 kapal cuma 4, paling banter 5," kata Sri yang berusia 37 tahun.
Menurut dia, hanya para sopir truk yang menggemari jamu racikan tangannya. Sedangkan para penumpang lain, seperti pengendara roda dua, maupun empat umumnya tak suka dengan jamu. Para penumpang itu, kata Sri, lebih memilih makan atau minum di restoran kapal.
Perempuan bertubuh sintal yang bertempat tinggal di kawasan Balaraja itu menjelaskan, pada hari biasa dia bisa menjual sampai 2 gendongan jamu racikan tradisional berisi sekitar 8 botol besar. Uang yang bisa dibawa pulang pun berkisar Rp 200-300 per hari biasa.
Namun, pada musim mudik seperti ini. Meski telah mengikuti kapal pulang-pergi menyeberangi Selat Sunda selama 2 kali atau berarti 4 perjalanan, dirinya hanya bisa menjual 1 gendongan jamu. Keuntungan kotornya di masa mudik malah hanya bekisar Rp 150-200 saja.
Sri yang telah berjualan selama hampir 5 tahun mengaku pasrah, meski tetap harus bersenang-senang bersama keluarga di hari Lebaran. "Yaa Lillahita'ala saja," ucap Sri.
Menurut dia, tak banyak pilihan yang bisa dilakukannya selain berjualan jamu. Sebab dia mengaku hanya berpendidikan rendah, dan tak banyak memiliki keterampilan untuk mencari kerja lain. Selain itu, usianya yang tak lagi muda, tentu membuatnya kalah bersaing dengan tenaga kerja muda yang lebih produktif. (Tnt/Mut)