Liputan6.com, Jakarta: Penyelesaian konflik nasional dapat tercapai jika sudah ada rekonsiliasi di antara para elite politik. Sayangnya, saat ini, para elite masih terjebak dalam pertentangan pragmatis. Demikian ditegaskan Asisten Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Ilyas Yusuf, dalam seminar yang digelar oleh Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, di Jakarta, Kamis (18/1).
Pada seminar yang bertajuk Identifikasi Model Resolusi Konflik Sosial dan Nasional dalam Perspektif Masyarakat Partisipatif itu, Ilyas juga menegaskan, penyelesaian konflik harus dilaksanakan terpadu dan konprehensif.
Pada kesempatan yang sama, mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Munir mengatakan, pertentangan pragmatis itu menjurus pada upaya legitimasi politik sipil. Menurut Munir, hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Situasi seperti itu pernah terjadi saat pembubaran Konstituante pada tahun 1955.
Selain itu, tegas Munir, penyelesaian konflik model masa silam yang represif, telah terbukti menghasilkan kerugian sosial yang besar. Sayangnya, Munir mengaku, belum memiliki konsep baru untuk mengatasi konflik tersebut.
Sementara, saat ini, tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelesaian konflik masih sangat rendah dan cenderung tak dihargai oleh pemerintah. Hal tersebut tampak pada penyelesaian konflik Aceh. Di daerah Tanah Rencong itu, pemerintah hanya melakukan penyelesaian material, seperti pembukaan Pelabuhan Bebas Sabang dan pembukaan kembali jalur kereta api. Sedangkan luka akibat pembunuhan yang dilakukan oleh negara tak pernah diselesaikan dengan tuntas.(ICH/Bayu Sutiono dan Fahmi)
Pada seminar yang bertajuk Identifikasi Model Resolusi Konflik Sosial dan Nasional dalam Perspektif Masyarakat Partisipatif itu, Ilyas juga menegaskan, penyelesaian konflik harus dilaksanakan terpadu dan konprehensif.
Pada kesempatan yang sama, mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Munir mengatakan, pertentangan pragmatis itu menjurus pada upaya legitimasi politik sipil. Menurut Munir, hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Situasi seperti itu pernah terjadi saat pembubaran Konstituante pada tahun 1955.
Selain itu, tegas Munir, penyelesaian konflik model masa silam yang represif, telah terbukti menghasilkan kerugian sosial yang besar. Sayangnya, Munir mengaku, belum memiliki konsep baru untuk mengatasi konflik tersebut.
Sementara, saat ini, tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelesaian konflik masih sangat rendah dan cenderung tak dihargai oleh pemerintah. Hal tersebut tampak pada penyelesaian konflik Aceh. Di daerah Tanah Rencong itu, pemerintah hanya melakukan penyelesaian material, seperti pembukaan Pelabuhan Bebas Sabang dan pembukaan kembali jalur kereta api. Sedangkan luka akibat pembunuhan yang dilakukan oleh negara tak pernah diselesaikan dengan tuntas.(ICH/Bayu Sutiono dan Fahmi)