Rame-rame Menampung Keluhan di Social Media

Banyaknya keluhan yang disampaikan di twitter, brand berlomba-lomba meluncurkan akun twitter yang mengkhususkan diri pada customer service.

oleh Liputan6 diperbarui 16 Agu 2013, 11:50 WIB
Citizen6, Jakarta: Apa yang Anda lakukan ketika menerima layanan buruk sebuah bank? Misalnya dengan mengadukannya via suara pembaca (yang entah kapan baru akan dimuat dan di-follow up). Mungkin ada dari Anda yang lebih suka menuliskannya dalam 140 karakter di akun Anda. Jika tweet keluhan tersebut kemudian di-retweet oleh banyak orang dan direspon oleh brand bersangkutan, bersyukurlah. Di-follow up? Belum tentu.

Terlahir dari banyaknya keluhan yang disampaikan di twitter, akhir-akhir ini brand seperti berlomba-lomba meluncurkan akun twitter yang mengkhususkan diri pada customer service. Terpisah dari akun utama yang lebih banyak menjadi media promosi dan informasi, keberadaan akun-akun ini seharusnya membantu pelanggan menyuarakan haknya.

Sayangnya, akun layanan tersebut bisa dikatakan belum maksimal dalam "memuaskan" pelanggan. Tidak hanya sekedar merespon dengan jawaban sesuai prosedur, seperti detail kejadian dan nomor pelanggan, tentunya pelanggan juga menuntut tindak lanjut pada perbaikan kualitas layanan.

Selain alasan kepraktisan (sebab yang biasanya menghubungi customer service officer via telepon hanya berurusan dengan nada tunggu atau suara lembut dari mesin yang menginfokan pelanggan berada dalam antrian), saya sendiri mengetikkan keluhan di akun pribadi saya ketika merasa terganggu dengan layanan dan sedikit banyak berharap brand tersebut "mendengarkan". Tak ubahnya sepucuk surat pembaca di jaman koran cetak berjaya.

Efek lainnya, ketika nge-tweet layanan buruk sebuah resto A misalnya. Secara tidak langsung akan menginfokan pada followers kalau resto A tidak direkomendasikan untuk dikunjungi.

Ketika sebuah brand memutuskan membuat akun khusus layanan pelanggan, sebaiknya brand tersebut juga menyiapkan prosedur tindak lanjut, sehingga akun yang dibuat tidak menjadi bahan tertawaan atau justru tempat sampah bagi puluhan pelanggan yang tidak puas. Selain responsif dalam menjawab keluhan, seyogyanya respon tersebut tidak menjadi basi, karena nantinya sebagai tindak lanjut penyelesaian keluhan.

Contoh lain, ketika sebuah akunlayanan taksi menerima keluhan dari pelanggan mengenai supir yang kasar misalnya, maka selain "menenangkan" pelanggan lewat twitter, operator taksi tersebut juga harus melakukan tindakan secara offline berupa pengecekan pada kasus di lapangan. Jika terbukti pengaduan tersebut benar, maka operator taksi yang dimaksud perlu meminta  maaf pada si pelanggan dan memberikan complimentary berupa free voucher misalnya.

Lalu, bagaimana dengan layanan yang ruang lingkupnya lebih luas, seperti operator telekomunikasi atau penyedia layanan internet jika keluhan terkait kualitas produk (misalnya kecepatan koneksi data)? Selain merespon dengan penjelasan kondisi terkini, bisa saja koneksi data terputus akibat faktor teknis yang sifatnya insidentil. Laporan masuk tidak semestinya hanya menumpuk dalam gudang data dan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Artinya, tim teknis harus siap melakukan perbaikan secara nyata agar mention yang masuk tidak selalu berisi masalah yang sama. Perlu juga diperhatikan, menjawab keluhan secara bijaksana, sehingga respon tidak dianggap sebagai bot atau auto reply. Dengan begitu pelanggan akan merasa lebih dihargai. (Nawang Wulan/Mar)

Nawang Wulan adalah praktisi social media yang menuliskan sebagian isi kepalanya di blog http://e-no.blogspot.com. Ia pun berharap blog-nya dapat bermanfaat bagi para pembaca. Nawang yang juga pewarta warga, dapat pula dihubungi lewat akun twitternya di @nagacentil.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas, Ramadan atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media, kuliner dan lainnya ke citizen6@liputan6.com


Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya